WASHINGTON (Arrahmah.com) – Amerika Serikat kemarin (29/6/2019) mendesak Myanmar untuk segera mengakhiri pemadaman data seluler di dua negara bagian negara tersebut, dengan mengatakan pemulihan layanan akan membantu memberikan transparansi pada apa yang pemerintah katakan sebagai tindakan penegakan hukum untuk mencegah kerusuhan.
Morgan Ortagus, juru bicara Departemen Luar Negeri, mengatakan Amerika Serikat “sangat prihatin” dengan penutupan data yang telah membatasi komunikasi berbasis internet bagi sebanyak 1 juta orang di negara bagian Rakhine dan Chin.
Pada Senin (24/6), Yanghee Lee, pelapor khusus PBB yang memantau hak asasi manusia di Myanmar, mengatakan militer Myanmar sedang melakukan “operasi pembersihan” terhadap pemberontak Tentara Arakan (AA) di daerah-daerah yang dijadikan target. Dia mengatakan dia khawatir pasukan melakukan “pelanggaran HAM berat” terhadap warga sipil di bawah kedok penutupan ini.
Tentara Arakan, sebuah kelompok pemberontakan yang memperjuangkan otonomi yang lebih besar bagi negara bagian Rakhine, merekrut mayoritas etnis Rakhine yang beragama Buddha di negara bagian itu.
Dalam sebuah pernyataan, Ortagus mengatakan layanan internet harus dipulihkan “tanpa penundaan”.
“Dimulainya kembali layanan akan membantu memfasilitasi transparansi dan pertanggungjawaban atas apa yang diklaim pemerintah adalah tindakan penegakan hukum yang bertujuan mencegah pecahnya kekerasan lebih lanjut di daerah yang terkena dampak,” kata Ortagus.
Seorang operator telekomunikasi Myanmar terkemuka, Telenor Group, mengatakan pada 22 Juni bahwa Kementerian Transportasi dan Komunikasi telah memerintahkan penutupan sementara layanan internet di Myanmar barat, dengan dalih “mengganggu perdamaian dan penggunaan internet untuk mengoordinasikan kegiatan ilegal.”
Seorang jurubicara militer mengatakan tentara tidak memiliki informasi tentang penutupan itu dan menyangkal hal itu.
Negara bagian Rakhine menjadi berita utama dunia pada tahun 2017 ketika militer Myanmar, menanggapi serangan gerilyawan ARSA, melancarkan tindakan keras yang mendorong sekitar 730.000 Muslim minoritas Rohingya untuk melarikan diri ke Bangladesh. (Althaf/arrahmah.com)