WASHINGTON (Arrahmah.id) – Amerika Serikat telah memindahkan 11 tahanan Yaman dari pusat penahanan Teluk Guantanamo yang terkenal kejam ke Oman setelah menahan mereka selama lebih dari dua dekade tanpa dakwaan sebagai bagian dari apa yang disebut Washington sebagai “perang melawan teror”.
“Amerika Serikat menghargai kesediaan pemerintah Oman dan mitra-mitra lainnya untuk mendukung upaya-upaya AS yang sedang berlangsung yang difokuskan pada pengurangan populasi tahanan secara bertanggung jawab dan pada akhirnya menutup fasilitas Teluk Guantanamo,” Departemen Pertahanan AS mengatakan dalam sebuah pernyataan pada Senin malam, seperti dilansir Al Jazeera (7/1/2025).
Center for Constitutional Rights (CCR) yang berbasis di AS mengatakan bahwa di antara 11 tahanan yang dipindahkan ke Oman pekan ini, terdapat Sharqawi al-Hajj, yang telah berulang kali melakukan mogok makan dan dirawat di rumah sakit di Guantanamo untuk memprotes hukuman 21 tahun penjara yang diterimanya, yang terjadi setelah dua tahun penahanan dan penyiksaan oleh CIA.
“Pikiran kami bersama Tn. Al Hajj saat ia bertransisi ke dunia bebas setelah hampir 23 tahun dalam tahanan. Pembebasannya merupakan harapan bagi dia dan bagi kami,” kata Pardiss Kebriaei, seorang pengacara di CCR yang mewakili Al Hajj.
Kini hanya 15 tahanan yang tersisa di Guantanamo, turun dari puncaknya yang mencapai hampir 800 orang setelah serangan 11 September 2001 oleh al-Qaeda, ketika Presiden AS saat itu, George W. Bush, mendirikan kamp penjara Guantanamo untuk menahan para tersangka tanpa batas waktu dan tanpa dakwaan, serta tidak mengizinkan adanya gugatan hukum atas penahanan mereka.
Ratusan pria yang sebagian besar beragama Islam ditangkap dari berbagai negara sebagai bagian dari apa yang disebut AS sebagai “perang melawan teror”, yang juga melibatkan invasi AS ke Afghanistan dan Irak, serta operasi militer rahasia di berbagai tempat di dunia.
Kondisi di Teluk Guantanamo dan perlakuan terhadap para tahanan telah lama memicu protes dari kelompok-kelompok hak asasi manusia dan para ahli Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengutuk penjara tersebut sebagai tempat yang “tidak ada bandingannya”.
Menyambut pembebasan ke-11 tahanan tersebut, Amnesti Internasional mengatakan bahwa “fasilitas penahanan militer di Teluk Guantanamo merupakan noda yang mencolok dan sudah berlangsung lama dalam catatan hak asasi manusia Amerika Serikat”.
Dalam satu bulan terakhir, pihak berwenang AS telah membebaskan beberapa tahanan dari Guantanamo, termasuk warga negara Tunisia, Ridah bin Saleh al-Yazidi, yang telah ditahan di penjara tersebut sejak dibuka pada 2002 tanpa pernah didakwa. Yang juga dibebaskan adalah Mohammed Abdul Malik Bajabu yang ditangkap di Kenya pada 2007, dan dua pria Malaysia yang telah ditahan selama 18 tahun tanpa dakwaan.
Pemerintahan AS yang berturut-turut telah diminta untuk menutup Guantanamo atau, setidaknya, membebaskan semua tahanan yang tidak pernah didakwa melakukan kejahatan. Presiden Joe Biden yang akan habis masa jabatannya telah berjanji sebelum pemilihannya pada 2020 untuk mencoba menutup Guantanamo, tetapi tempat itu tetap beroperasi hanya beberapa minggu sebelum ia meninggalkan jabatannya. (haninmazaya/arrahmah.id)