WASHINGTON (Arrahmah.com) – Pejabat tinggi militer AS mengatakan mereka terlibat dalam “dialog rutin” dengan pemerintahan Trump untuk membahas opsi militer yang tersedia jika militer Suriah mengabaikan larangan tidak menggunakan senjata bom kimia saat menyerang Provinsi Idlib yang dikuasai pemberontak Suriah.
Jenderal Marinir Joseph Dunford, ketua Kepala Staf Gabungan, mengatakan pada Sabtu (8/9/2018) bahwa AS belum mengeluarkan keputusan untuk menyebarkan kekuatan militer sebagai tanggapan terhadap serangan kimia di Suriah di masa mendatang.
“Tetapi kami sedang berdialog, dialog rutin, dengan presiden untuk memastikan dia mengetahui dimana posisi kami jika senjata kimia digunakan,” katanya kepada sekelompok kecil wartawan selama perjalanan ke India.
Dunford mengatakan Trump menginginkan militer menyiapkan opsi militer jika militer Suriah menyerang Idlib dengan senjata bom kimia. Saat ditanya apa temuan intelijen AS soal senjata kimia ini, Dunford menjawab,”Saya tidak akan berkomentar mengenai informasi intelijen saat ini, baik soal informasi yang kami miliki dan informasi yang tidak kami miliki.”
Dunford kemudian menambahkan, “Dia mengharapkan kami memiliki opsi militer dan kami telah memberikan pembaruan kepadanya tentang pengembangan opsi militer tersebut.”
Presiden Suriah Bashar Asad telah mempersenjatai pasukannya dan pasukan sekutu di garis depan di barat laut, dan pesawat Rusia telah bergabung dengan pemboman pemberontak di sana meskipun ada keberatan dari Turki.
Pekan ini, seorang utusan AS mengatakan ada banyak bukti bahwa senjata kimia sedang dipersiapkan oleh pasukan pemerintah Suriah di Idlib.
Gedung Putih telah memperingatkan bahwa AS dan sekutunya akan merespon “dengan sigap” jika pasukan pemerintah menggunakan senjata kimia di Idlib.
Presiden Donald Trump telah dua kali memerintahkan serangan terbatas di Suriah atas dugaan penggunaan senjata kimia, pada April 2017 dan April 2018.
Pejabat tinggi militer Perancis juga mengatakan pekan lalu pasukannya siap melakukan serangan terhadap sasaran-sasaran Suriah jika senjata kimia digunakan di Idlib.
Idlib adalah benteng pemberontak besar terakhir yang tersisa dan serangan pemerintah bisa menjadi pertempuran menentukan terakhir dalam perang yang telah menewaskan lebih dari setengah juta orang dan memaksa 11 juta orang meninggalkan rumah mereka.
Presiden Turki, Iran dan Rusia pada hari Jumat gagal menyepakati gencatan senjata yang akan mencegah serangan.
Teheran dan Moskow telah membantu Asad mengubah jalan perangnya melawan oposisi, sementara Turki adalah pendukung oposisi terkemuka dan memiliki pasukan di negara itu.
Turki mengatakan pihaknya khawatir pembantaian terjadi dan tidak bisa menampung lebih banyak pengungsi yang membanjiri perbatasannya. (Althaf/arrahmah.com)