WASHINGTON (Arrahmah.id) — Amerika Serikat (AS) memberikan ancaman terhadap Arab Saudi terkait perjanjian pertahanan dan pengakuan negara Israel.
Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan mengatakan AS tidak akan mengadakan perjanjian pertahanan dengan Arab Saudi kecuali kerajaan tersebut mengakui negara Israel. Namun, Riyadh telah membuat perjanjian bahwa pengakuan tersebut bergantung pada persetujuan Israel untuk bekerja menuju pembentukan resmi negara Palestina merdeka.
Laporan media pekan lalu menunjukkan bahwa Washington dan Riyadh makin dekat untuk menandatangani pakta keamanan bilateral, bahkan ketika kemajuan menuju kesepakatan normalisasi Saudi-Israel masih terhenti.
Dilansir Reuters (5/5/2024), perjanjian tersebut akan membuat AS menjalin aliansi formal dengan Arab Saudi dan membantu program nuklir sipilnya sebagai imbalan jika Riyadh memutuskan hubungan ekonomi dengan China.
Berbicara di acara Financial Times di London akhir pekan lalu, Sullivan menegaskan bahwa kesepakatan tidak akan mungkin terjadi tanpa pengakuan Arab Saudi terhadap Israel.
“Visi terpadunya adalah pemahaman bilateral antara AS dan Arab Saudi yang dikombinasikan dengan normalisasi antara Israel dan Arab Saudi, dikombinasikan dengan langkah-langkah bermakna atas nama rakyat Palestina,” ujarnya, sebagaimana dikutip Russia Today.
“Semua itu harus bersatu… Anda tidak dapat memisahkan satu bagian dari bagian lainnya.”
Menjadi perantara kesepakatan normalisasi Saudi-Israel adalah tujuan utama kebijakan luar negeri mantan Presiden AS Donald Trump, yang melalui Perjanjian Abraham tahun 2020-nya menetapkan Bahrain, Maroko, Sudan, dan Uni Emirat Arab membuka hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Yerusalem Barat. Presiden AS Joe Biden terus mendorong kesepakatan tersebut, namun perang di Gaza telah membekukan negosiasi sejak Oktober lalu.
Kementerian Luar Negeri Saudi menyatakan pada Februari bahwa kerajaan tersebut tidak akan menjalin hubungan formal dengan Israel “kecuali jika negara Palestina merdeka diakui berdasarkan perbatasan tahun 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya, dan bahwa agresi Israel di Jalur Gaza dihentikan dan seluruh pendudukan Israel terhenti.
Kondisi yang dihadapi Riyadh tidak begitu baik di Yerusalem Barat, di mana Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah bersumpah untuk terus mengobarkan perang di Gaza sampai Israel mencapai “kemenangan total” atas Hamas.
Netanyahu juga bersikeras untuk menerapkan “kendali keamanan penuh Israel atas seluruh wilayah sebelah barat Sungai Yordan” ketika konflik akhirnya berakhir, sebuah gambaran yang mencakup Tepi Barat dan Gaza.
Menteri Luar Negeri Saudi Pangeran Faisal bin Farhan mengatakan pekan lalu bahwa Riyadh dan Washington memang “sangat dekat” dengan perjanjian pertahanan, namun menegaskan kembali bahwa “perlu ada jalan menuju negara Palestina” yang “kredibel dan tidak dapat diubah.” (hanoum/arrahmah.id)