(Arrahmah.com) – Terorisme adalah sandaran yang diambil oleh Amerika dan berikutnya oleh Rusia untuk invasi-invasi brutalnya terhadap warga Suriah. Dilihat dari sudut skenario awal AS dan Barat, berusaha mengontrol arah peperangan di Suriah agar berada dalam perhitungan mereka. Satu strategi penting yang ingin dimainkan dengan merekonsolidasi pemerintahan Assad, dari segi militer. Harapan mereka untuk mempertontonkan sebuah pentas di mata dunia bahwa “rakyat” Suriah tengah melakukan “revolusi” untuk menjatuhkan Assad gagal dimainkan.
Amerika sedang berusaha memaksa semua pihak, termasuk warga Suriah agar menerima solusi busuk Amerika tersebut; yang telah diputuskan pada Konferensi Jenewa satu. Dunia menyaksikan kepalsuan dan kedustaan AS. Solusi busuk Amerika tersebut bertujuan untuk menciptakan rezim dengan wajah baru, sekularisme dengan bungkus muslim, seperti yang terjadi di Tunisia, Mesir dan negara lainnya. ini artinya, kita kembali ke titik semula dengan berhukum selain dengan hukum Islam; yaitu dengan kedustaan demokrasi. Akhirnya, diterapkan atas kita hukum-hukum buatan manusia yang lahir dari doktrin barat yaitu doktrin pemisahan agama dari kehidupan dengan kedustaan ide penentuan nasib sendiri oleh manusia. Dampaknya, ketidakadilan, kehidupan yang sempit, dan kesengsaraan kembali menimpa negara kita.
Amerika tidak ingin Bashar tumbang sebelum Amerika menemukan pengganti sejahat Bashar, yang melayani kepentingan-kepentingan Amerika dan menjaga pengaruh Amerika seperti yang dilakukan Bashar. Karena itu, Amerika memperpanjang rezim Bashar dengan sarana-sarana busuk dan dengan dukungan antek-anteknya, dengan tipudaya dan penyesatan. Amerika memerangi Islam dan umatnya di Syam, secara hard power dan soft power, all out. Jika hampir jatuh, Amerika mendukungnya secara regional dari Iran dan partainya di Lebanon dan para pengikut dari Irak. Jika tidak berfungsi, Amerika mengikat perjanjian internasional. Lalu Rusia mengekor berjalan di jalur Amerika, berperang untuk tujuan Amerika, dengan anggapan dari Putin bahwa dengan melayani Amerika di Suriah akan meredakan problem-problem perbatasan selatan Rusia seputar Ukraina. lalu Rusia berupaya menjegal Amerika sebisa mungkin.
Presiden Rusia Putin dan para koleganya di Moskow mengetahui secara persis bahwa permintaan AS dan Barat untuk segera menggelar gencatan senjata di Suriah tidak lebih dari upaya untuk memperpanjang sedikit napas yang masih tersisa dari kaum pejuang anti Assad. Dengan demikian, desakan untuk gencatan senjata itu merupakan strategi reposisi untuk kembali ke misi awal yang telah dicanangkan oleh AS dan Barat bersama kaum opsisi bersenjata di negeri itu: mendongkel Presiden Bashar Assad dari kursi kepresidenan.
Oleh karenanya, para pemimpin AS dan Barat terus melancarkan kritik atas apa yang mereka namakan sebagai “intervensi militer” Rusia atas Suriah yang kini telah semakin mengurung milisi anti pemerintah di Allepo. Dengan demikian, desakan gencatan senjata oleh AS dan Barat juga dapat bermakna mencegah agar milisi oposisi Suriah tidak disapu bersih oleh AU Rusia.
Lenyapnya kaum oposisi bersenjata di bumi Suriah akan membuyarkan seluruh skenario AS dan Barat untuk menjatuhkan Presiden Bashar Assad. Atau dengan kata lain, bagi AS dan Barat, kekalahan kaum oposisi sama artinya dengan hilangnya “kartu” yang selama ini mereka mainkan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa rakyat Suriah menginginkan pemimpin baru sebagai pengganti Assad. Dalam konteks inilah, sikap AS dan Barat yang bersikeras mendesak gencatan senjata di Suriah itu diletakkan.
Amerika menyiapkan gencatan senjata besar sejak memulai rangkaian gencatan senjata kecil. Mulai dari gencatan senjata Kofi pada 10/4/2012, gencatan senjata Lakhdar Brahimi, sampai ke gencatan senjata Barzah, gencatan senjata al-Qabun, kemudian gencatan senjata Kafraya dan Fu’ah di pedesaan Idlib utara, dan az-Zabadani dan Madhaya di pedesaan Damaskus. Kemudian gencatan senjata al-Wa’ar, Desember 2015, yang diberi ucapan selamat oleh presiden Amerika dan dia serukan untuk diperluas secara lebih besar. Seolah-olah pada saat itu Amerika telah merencanakan gencatan senjata besar sekarang ini. Saat itu Presiden Amerika mengomentari gencatan senjata al-Wa’ar: (… ini adalah model perjanjian gencatan senjata yang berlaku pada daerah-daerah itu sendiri. Obama mengatakan bahwa itu mungkin diterapkan di Suria pada tingkat yang lebih besar…) (Reuters, 9 Desember 2015)… Membatalkan gencatan senjata bukan hal baru dari aksi rezim diktator. Semua orang berakal mengetahui, melanggar perjanjian bagi rezim lebih ringan dari mengedipkan mata! Rezim telah melanggar semua perjanjian yang diikatnya.
Para perancang strategi di Washington luput mempertimbangkan sebuah kemungkinan yang justru dapat merusak skenario awal mereka: hadirnya militer Rusia di kancah perang Suriah. Tindakan militer yang AS dan sekutunya selama setahun lebih untuk menggempur kelompok ekstrem ternyata tidak efektif dibandingkan dengan operasi militer Rusia yang hanya membutuhkan waktu lima bulan menggiring sebagian elemen oposisi ke wilayah Allepo—sebagai salah satu lokasi di Suriah yang masih berada di tangan mereka.
Opini dunia menunjukkan bahwa Rusia dinilai jauh lebih sungguh-sungguh dan konsisten dalam membasmi “Kekuatan Islam di Suriah” dibanding AS dan sekutunya yang dianggap “setengah-setengah“. Para pemimpin AS dan sekutunya berada dalam posisi sulit untuk melawan kuatnya opini semacam ini. Dengan demikian, proxy war yang digelar AS di bumi Syam tidak saja mengalami pukulan telak di medan perang, tetapi juga tak berdaya dalam menghadapi opini publik.
Kondisi mutakhir peperangan di Suriah kini berada di luar kendali AS dan sekutunya. Rusia, pemerintah Assad, milisi pro pemerintah dan Iran praktis mengendalikan jalannya peperangan. Implementasi skenario AS dan sekutunya, termasuk Israel, mengalami jalan buntu.
Hal ini memperlihatkan problem serius di kalangan para pembuat kebijakan di Washington. Dinas rahasia AS, CIA, jelas punya peran penting dalam persoalan ini. Menilik arah dan jalannya peperangan di Suriah tampak bahwa berbagai faktor membuat strategi AS atas negeri itu liar. Skenario yang telah direncanakan tidak berjalan semulus yang dibayangkan. Banyak hal rupanya yang berada di luar perhitungan dan proyeksi CIA—sebagai sebuah dinas rahasia yang menjadi salah satu andalan utama bagi strategi luar negeri AS. Negara adidaya ternyata tidak selamanya digdaya.
Di tengah kondisi semacam itu, yang tersisa bagi AS dan Barat di Suriah hanya memprotes operasi militer Rusia dan mendesak pemberlakuan gencatan senjata. Mereka juga menyerukan agar segera dibuka kembali upaya perundingan antara kaum oposisi dengan pemerintah Suriah. Ini merupakan taktik perang lama yang mudah diterka: meminta perundingan karena terdesak secara militer. dan seruan ini hanya sekadar angin bertiup di sisi Putin. Tekad Rusia agaknya telah bulat: mendahului AS di tikungan unjuk kekuatan melenyapkan oposisi di Suriah.
Jika oposisi dapat dilenyapkan, maka skenario AS dan Barat untuk membawa persoalan Suriah ke meja perundingan dalam rangka mengupayakan transisi dan suksesi kepemimpinan di negeri ini agar sesuai keinginan aggressor AS, bisa gagal. Efektifitas operasi militer Rusia dalam mempersempit dan melemahkan kekuatan kaum oposisi Suriah, dengan demikian, akan menghilangkan alasan bagi AS dan Barat yang menuntut perundingan dengan mengikutsertakan kaum oposisi. Pertanyaannya adalah, jika oposisi lenyap dari bumi Suriah, dengan siapa Assad harus berunding?
Amerika dan para pengikutnya dan Rusia serta Barat seluruhnya lebih penakut untuk mengadakan sendiri perubahan yang mereka inginkan. Mereka lebih hina untuk menegakkan hukum sekuler dambaan mereka. Mereka ingin menghadirkan para pengkhianat yang menjadi antek mereka.
Program gencatan senjata bertujuan menghentikan pertempuran dan menekan pihak lain. dengan kata lain untuk menciptakan suasana menjelang akhir revolusi serta terjadi intervensi prosesi politik demi menghasilkan sistem sekuler demokrasi antek Amerika. Seakan revolusi Syam telah keluar dari perlawanan atas tirani penindas demi mencapai titik akhir perdamaiannya dan duduk berdampingan satu meja demi menjalankan solusi busuk Amerika. seakan revolusi Syam tidak memberikan kecintaan hati dan pemuda terbaiknya demi meninggikan kalimat Allah, dan seakan revolusi Syam tanpa penderitaan, tanpa pengusiran warga Syam, serta tanpa pencabikan atas kesucian dan kehormatan putri-putri Syam.
Siapapun yang berusaha memuaskan bos Amerika dan Rusia, tidak membela darah suci para syuhadâ serta penderitaan warga Syam berarti telah menyiapkan jiwa dan raganya untuk mendapat kemurkaan Allah SWT. Umat Islam masih memiliki ratusan juta para pejuang gagah berani. Sikap heroisme para pejuang yang bertumpu pada keimanan kepada Allah tidak bisa dikalahkan. Yang kita khawatirkan terhadap para pejuang di Suriah adalah makar dan konspirasi dari tokoh-tokoh misi Amerika.
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50)
Kekuatan sejati hanya akan diperoleh dengan berpegang teguh kepada Allah semata, dengan memohon bantuan dan pertolongan dari-Nya semata, dan terikat dengan syariah Allah saja dalam menyelesaikan seluruh problem. Islam telah menetapkan solusi yang tidak boleh ditolak. Solusi itu adalah penegakan Agama dengan tegaknya sistem Khilafah, sistem rabbani yang adil. Solusi yang ditetapkan oleh Islam itu bukanlah tegaknya sistem barat buatan manusia yang zalim tegak di atas demokrasi yang sesat dan menyesatkan, dan kapitalisme yang keji dan bengis.
Umar Syarifudin, Syabab Hizbut Tahrir Indonesia, Pengamat Timur Tengah.
(*/arrahmah.com)