WASHINGTON (Arrahmah.id) – Amerika Serikat telah memberlakukan pembatasan perjalanan pada pejabat Uganda setelah undang-undang anti-LGBTQ ditandatangani oleh Presiden Yoweri Museveni bulan lalu.
UU ini mendapat kecaman sebagai salah satu yang paling keras di dunia. Di antara ketentuan lainnya, UU ini menetapkan hukuman mati bagi seseorang yang dihukum karena homoseksualitas yang parah, sebuah pelanggaran yang mencakup penularan HIV melalui seks gay.
Selain itu, UU ini juga memberlakukan hukuman seumur hidup untuk hubungan sesama jenis dan hukuman 20 tahun karena mempromosikan homoseksualitas.
Dalam rilis singkat pada Jumat (16/6/2023), juru bicara Departemen Luar Negeri AS Matthew Miller mengatakan langkah-langkah itu sebagai tanggapan atas pelanggaran hak asasi manusia – “termasuk orang-orang LGBTQI+” – dan korupsi.
Presiden Uganda menyetujui undang-undang anti-LGBT baru yang ketat.
Lebih lanjut merujuk undang-undang tersebut, yang disebut Undang-Undang Anti-Homoseksualitas 2023, mengatakan “Departemen Luar Negeri juga telah memperbarui panduan perjalanannya kepada warga AS untuk menyoroti risiko bahwa orang-orang LGBTQI+, atau mereka yang dianggap sebagai LGBTQI+, dapat dituntut dan dikenakan pidana penjara seumur hidup atau pidana mati berdasarkan ketentuan undang-undang”.
“Amerika Serikat sangat mendukung rakyat Uganda dan tetap berkomitmen untuk memajukan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan mendasar di Uganda dan secara global,” kata Miller.
Pernyataan itu tidak menyebutkan pejabat mana yang akan dikenai pembatasan atau memberikan perincian lebih lanjut.
Homoseksualitas sudah ilegal di negara Afrika Timur yang konservatif dan sangat religius itu, dan para pengamat mengatakan kaum homoseksual menghadapi diskriminasi oleh pasukan keamanan.
Undang-undang tersebut selanjutnya memberlakukan denda untuk media dan organisasi non-pemerintah yang dengan sengaja mempromosikan aktivitas LGBTQ.
Presiden AS Joe Biden bulan lalu menyebut langkah terbaru pemerintah Uganda sebagai “pelanggaran tragis hak asasi manusia universal” dan mengancam pemotongan bantuan dan sanksi lainnya. Menteri Luar Negeri Antony Blinken mengatakan bulan lalu pemerintah akan mempertimbangkan pembatasan visa terhadap pejabat Uganda.
AS termasuk di antara beberapa negara yang memotong bantuan ke Uganda pada 2014 karena undang-undang anti-LGBTQ sebelumnya. Undang-undang itu kemudian dibatalkan karena alasan prosedural.
Beberapa negara Barat dan pakar PBB mengutuk undang-undang tersebut.
Pada Maret, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell mengatakan undang-undang tersebut “bertentangan dengan hukum hak asasi manusia internasional dan kewajiban Uganda di bawah Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Rakyat, termasuk komitmen pada martabat dan non-diskriminasi, dan larangan kekejaman, hukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat.”
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga mengatakan undang-undang itu “sangat memprihatinkan”. (zarahamala/arrahmah.id)