DAMASKUS (Arrahmah.is) — Amerika Serikat mencabut hadiah $10 juta (sekitar Rp161 juta) yang diberlakukan untuk penangkapan Ahmad asy Syaraa atau Abu Muhammed al Jaulani, pemimpin kelompok perlawanan Suriah yang menggulingkan Presiden Suriah Bashar al Assad dari kekuasaan awal bulan ini.
Keputusan untuk membatalkan hadiah sebagai imbalan untuk menangkap Syaraa, pemimpin Hai’ah Tahrir Syam (HTS), adalah “keputusan kebijakan” yang dibuat ketika Washington memulai keterlibatannya dengan kelompok perlawanan tersebut, kata Barbara A. Leaf, asisten menteri luar negeri untuk urusan timur dekat, dalam pengarahan virtual kepada wartawan pada Jumat (20/12/2024).
Leaf mengatakan, seperti dilansir VOA (21/12), Syaraa telah berkomitmen terhadap permintaan Washington agar kelompoknya tidak lagi menimbulkan ancaman di dalam atau di luar Suriah, termasuk terhadap AS dan mitra mereka di kawasan.
“Jadi berdasarkan diskusi kami, saya mengatakan kepadanya bahwa kami tidak akan memberlakukan imbalan Rewards for Justice (Imbalan untuk Keadilan) yang telah berlaku selama beberapa tahun,” kata diplomat terkemuka Amerika untuk urusan Timur Tengah.
Leaf dan dua pejabat Amerika lainnya, Penasihat Senior Daniel Rubinstein, yang kini bertugas memimpin keterlibatan departemen tersebut di Suriah, dan Roger Carstens, utusan presiden untuk urusan penyanderaan, bertemu di Damaskus pada Jumat dengan al Jaulani dan perwakilan Suriah pasca-Assad lainnya, termasuk aktivis masyarakat sipil.
Keterlibatan tersebut menyusul pertemuan akhir pekan lalu di Aqaba, Yordania, di mana para pejabat Amerika, Arab dan Turki menyepakati serangkaian “prinsip transisi” untuk Suriah.
“Kami menyambut baik pesan-pesan positif, dan kami akan mengupayakan kemajuan dalam prinsip dan tindakan ini, bukan hanya sekedar kata-kata,” kata Leaf.
“Kami sepenuhnya mendukung proses politik yang dipimpin dan dimiliki oleh Suriah yang menghasilkan pemerintahan yang inklusif dan representatif, yang menghormati hak-hak semua warga Suriah, termasuk perempuan dan komunitas etnis dan agama yang beragam di Suriah.”
Pertemuan di Damaskus terjadi ketika negara-negara Barat termasuk Inggris, Prancis, Jerman dan Swiss secara bertahap membangun saluran dengan pemerintah baru Suriah di bawah Perdana Menteri sementara Mohammed al-Bashir. Qatar dan Turki sedang dalam proses membuka kembali kedutaan mereka di Suriah.
Sejak 1979, Amerika telah menetapkan Suriah sebagai Negara Sponsor Terorisme. Pengakuan Washington terhadap pemerintahan baru di Damaskus dapat mengarah pada pencabutan sanksi luas yang telah melumpuhkan perekonomian Suriah.
Leaf menolak untuk menguraikan lebih lanjut mengenai diskusi mengenai pencabutan sanksi, dan hanya mengatakan bahwa prioritas Syaraa “berakar pada upaya membawa Suriah menuju pemulihan ekonomi.” Hingga saat ini, HTS masih ada dalam daftar kelompok teroris asing yang ditetapkan oleh Amerika Serikat.
Dia menggarisbawahi bahwa Iran tidak akan memiliki peran apa pun, setelah jatuhnya Assad, yang pernah menjadi sekutu kuat Teheran. Kehadiran Iran selama perang saudara di Suriah adalah yang paling bersifat predator dan destruktif, katanya.
Memastikan bahwa Suriah tidak terjerumus ke dalam kekacauan dan menjadi tempat berkembang biaknya teror merupakan perhatian utama Gedung Putih. Beberapa hari setelah penggulingan Assad, Presiden Amerika Joe Biden memerintahkan lebih dari 70 serangan udara terhadap sasaran kelompok militan Islamic State (ISIS) di negara tersebut. (hanoum/arrahmah.id)