WASHINGTON (Arrahmah.id) — Amerika Serikat (AS) akan menarik tentaranya dari Niger. Hal itu diumumkan Departemen Luar Negeri pada Jumat (19/4/2024). Saat ini, ada sekitar 1.000 tentara AS di Niger.
AS juga telah membangun pangkalan udara di kota gurun Agadez dengan biaya 100 juta dolar (Rp1,6 triliun) untuk penerbangan berawak dan tak berawak.
Keberadaan tentara AS di Niger adalah upaya untuk membantu pemerintah negara tersebut melawan kelompok pemberontak dan membantu tentara Prancis dalam melawan kelompok jihad yang terafiliasi dengan al Qaeda dan Islamic State (ISIS) di wilayah Sahel. Tapi setelah kudeta, Niger saat ini dikuasi militer dan negara tersebut beralih ke Rusia untuk mencari dukungan.
Perdana Menteri Niger Ali Lamine Zeine, dan Wakil Menteri Luar Negeri AS Kurt Campbell, sepakat bahwa kedua negara akan mulai merencanakan penarikan pasukan AS. Tidak ada batas waktu penarikan tersebut dan pembicaraan langkah selanjutnya akan dilakukan beberapa hari mendatang.
Dilansir Associated Press (20/4), delegasi AS untuk mengoordinasikan rincian proses penarikan akan segera diberangkatkan ke Niamey.
Pejabat senior Departemen Luar Negeri AS yang berbicara dengan syarat anonim, mengatakan bahwa junta militer Niger tidak mau ada pasukan asing di negaranya, termasuk AS. Kemitraan keamanan Niger dan AS juga dianggap telah berakhir untuk saat ini.
AS yang telah membangun pangkalan udara di Niger, dikenal sebagai Pangkalan Udara 201.
Sejak 2018, pangkalan ini digunakan untuk menyerang ISIS dan Jama’at Nusrat al-Islam wal Muslimin (JNIM), yang berafiliasi dengan al-Qaeda.
Dilansir Al Jazeera, AS terus menjaga komunikasi dengan junta dan Washington DC sedang menyelidiki beberapa lokasi di tempat lain di Afrika Barat untuk menempatkan pasukan drone-nya.
Keberadaan pasukan AS tidak disukai baik oleh junta atau masyarakat. Hilangnya akses ke pangkalan juga dinilai kemunduran besar sebab lokasi pangkalan itu strategis untuk operasi keamanan.
“Dalam jangka pendek, mereka (Pangkalan Udara 201) akan sulit digantikan,” kata Peter Pham, mantan utusan khusus AS untuk kawasan Sahel.
Pejabat Departemen Luar Negeri AS mengatakan, Niger ingin tetap melanjutkan kemitraan dengan AS. Niger juga ingin AS membedakan situasi saat ini dengan situasi yang terjadi dengan Prancis.
Dilansir CNN, meski begitu, Niger tampaknya akan tetap memaksa keluar militer AS dalam waktu satu tahun. Tapi AS akan berusaha mempertahankan kehadiran misi diplomatiknya dengan alasan demi hubungan baik antar negara.
Pasukan AS di benua Afrika telah menghadapi pukulan lain.
Pekan lalu, pejabat Chad mengancam akan membatalkan perjanjian SOFA yang mengizinkan pasukan AS dapat beroperasi di negara tersebut.
Ancaman tidak secara langsung memerintahkan militer AS untuk keluar dari Chad, tapi meminta pasukan AS menghentikan aktivitas di pangkalan Prancis di ibu kota N’Djamena. (hanoum/arrahmah.id)