Oleh: Sirikit Syah*
(Arrahmah.com) – Gonjang-ganjing pemberitaan mengenai dugaan adanya terorisme di Indonesia belakangan ini, berdampak luas. Tak hanya ranah agama dan politik yang terkena, bahkan dunia media massa pun terkena imbasnya. Ada institusi media yang sangat embedded dengan aparat seperti corong atau loudspeaker aparat. Ada juga institusi media lainnya yang bersikap sebaliknya, kritis dan skeptis terhadap pernyataan-pernyataan resmi aparat.
Ketika aparat kemuadian menggelandang Muhammad Jibriel dan menggerebek Arrahmah.com, publik terkesima. Namun cukup mengherankan, tak terdengar gerakan atau protes dari kalangan praktisi media, termasuk dari organisasi-organisasi yang selama ini gencar menyarnakan dan memperjuangkan kebebasan pers. Bisa jadi oleh sementara kalangan itu, Arrahmah.com tidak dianggap sebagai pers. Persis seperti awak atau pekerja infotaintment tidak dianggap sebagai jurnalis oleh organisasi IJTI dan AJI. Awak infotaintment kemudian masuk ke seksi wartawan hiburan di PWI.
Namun bukankah Prita juga bukan wartawan! Kepada Prita yang menulis di imel dan blog pribadi. Kita semua memberikan pembelaan atas nama kebebasan berpendapat. Demikian halnya, bukankah Arrahmah.com juga memiliki hak yang sama untuk berpendapat secara bebas? Terlepas Arrahmah.com ini tergolong pers atau bukan, bangsa Indonesia sudah terlanjur berkomitmen mendukung demokrasi, pilihan bebas, pendapat bebas.
Bila merujuk pada UU Pers no 40/1999, Arrahmah.com, tak pelak lagi tergolong pers, karena milsalnya yang menyiarkan informasi. Dan pers tidak selamanya ideal, bukan? Ada pers yang isinya cuma jualan alias promosi. Di media terhormat seperti Kompas atau Jawa Pos misalnya, rubrik Iptek diisi informasi promosi segala macam mobile phone, laptop dan lain-lain. Rubrik otomatif diisi perkenalan pada produk-produk terbaru. Rubrik lingkungan diisi dengan membeli rumah di real estate atau apartemen tertentu. Cara-cara seperti ini merupakan ciri dari media liberal atau kapitalis, yang tujuan akhirnya adalah konsumerisme.
Selain media yang banyak berjualan, tak sedikit pula media yang isinya propaganda politik. Setiap masa pemilu, bermunculan media-media partai dan semacam itu. Dulu ada majalah Amanat (PAN), Demokrat (PDIP) dan lain-lain. Sekarang ada Jurnal Nasional yang hanya berisi kabar baik tentang pemerintahan SBY atau partai Demokrat. Bahkan sampai sekarang masih ada Suara Karya dan Birawa media Partai Golkar. Ini negara demokrasi, mau membuat media apa saja silahkan. Pemerintah dilarang menyensor atau memberedel. Bila ada persoalan, pemerintah atau pihak yang keberatan dapat membawa media bersangkutan ke pengadilan dengan pasal-pasal yang dimungkinkan pelanggaran susila, penghasutan, mencemarkan nama baik, danlain-lain. Namun, tidak boleh ada pemberedelan pers di negeri ini. Itulah amanat UU Pers no 40/1999.
Apakah Arrahmah.com termasuk keluarga pers? Tidak sedikit jurnalis (diantaranya sebagian jurnalis Islam) menganggap situs itu bukan keluarga pers. Alasannya antara lain muatan situs yang hampir 100% tentang jihad, dan tulisan-tulisannya yang sangat one sided (sepihak). Tulisan semacam ini, tanpa ada konfirmasi dari objek yang ditulis, sangat lemah dAlam hal accuracy, balance, dan clarity. Tiga hal ini merupakan teori ABC, rumus dasar standar jurnalistik yang berlaku universal. Tanpa tiga hal ini, informasi menjadi tidak credible, sulit dipercaya.
Dalam pandangan saya, apa boleh buat, kadang-kadang memang institusi pers tidak memenuhi unsur ABC tersebut sehingga kurang terpercaya. Namun itu tidak membuatnya menjadi bukan pers.
Beberapa yellow paper yang beredar di jalan Jakarta, yang oleh Dewan Pers dianggap bukan pers, melainkan selebaran (berisi sadisme dan pornografi); sesungguhnya adalah produk pers juga, tetapi pers yang tidak credible. Ada pers berisi sadisme, pornografi, adapula pers berisi promosi produk konsumtif atau propaganda politik.
Maka, pers partisan adalah bentuk pers yang sah. Ini hanya salah satu dari serangkaian jenis pers menurut ideolooginya: pers perjuangan (pers bawah tanah), pers pembangunan, pers partisan, pers liberal, dan lain-lain. Pers partisan pastilah menyuarakan suara partai atau golongannya. Pers partisan mengandalkan jurnalisme yang berdasarkan idologi kepartaian. Ini banyak dianut oleh negara di Eropa Tengah dan Timur, terutama di Rusia sebelum demokrasi (USSR : Uni Soviet Socialist Republic).
Ciri jurnalisme partisan adalah :
- Menghimpun khlayak/publik untuk mendukung ideologinya
- Menafsirkan soal-soal umum dari sudut pandang partai
- Mengumpulkan dan menyebarkan informasi penafsiran beropini
- Gencar melakukan propaganda
Bila kita menganggap Arrahmah.com sebagai intitusi pers, pastilah golongannya adalah pers partisan. Ideologinya membela jihad Islam. Sejauh pers partisan ini tidak menyebarkan kabar bohong, tidak memfitnah, dan tidak menghasut melakukan tindakan kejahatan, sulit bagi pemerintah dan masyarakat untuk menolak kehadirannya.
Terlepas dari nuansa politik yang berkembang di seputar penangkapan Muhammad Jibriel, penggerebekan atas sebuah situs informasi ini mestinya patut kita pertanyakan. Boleh saja Jibriel ditangkap karena tuduhan kriminal tetapi situs informasi tidak boleh dihentikan siarannya begitu saja. Bila aparat tidak menemukan kesalahan apapun pada pemberitaan Arrahmah.com sesuai dengan UU (KUHP, UU Pers, UU ITE dll), aparat tak memiliki hak menghentikan siarannya. Bayangkan saja bila Goenawan Muhammad atau Dahlan Iskan ditangkap karena kasus kriminal, apakah Tempo atau Jawa Pos akan digeledah oleh polisi? Intinya: ada kecenderungan arah kepolisian secara sistematis untuk membungkam media yang menyuarakan Islam yang kita khawatirkan, perang melawan terorisme hanyalah selubung dari perang melawan Islam.
Penulis Hernani Sirikit. MA alias Sirikit Syah, Lecturer of Media Ethics and Law at Faculty of Law, Airlangga University in Surabaya (2010-sekarang), Editor, The Brunei Times, Brunei Darussalam (2006-2007)
Tulisan dipublikasikan Majalah Sabili September 2009
(*/arrahmah.com)