JAKARTA (Arrahmah.com) – Polisi telah menggeledah dan menyita alat-alat kerja di kantor Arrahmah.com, situs internet milik Mohammad Jibriel yang diduga sebagai penyalur dana Noordin M Top. Hal ini dinilai pengamat media Ibnu Hamad sama dengan melakukan pemberangusan terhadap sebuah media massa.
Menurut Ibnu, polisi seharusnya bisa memisahkan antara posisi Jibriel yang menjadi tersangka dengan media yang dimilikinya. “Jika tindakan tersebut dilihat dan dikaitkan dengan jurnalisme, maka hal itu sangat disayangkan,” ujarnya saat berbincang dengan INILAH.COM, di Jakarta, Sabtu (29/8).
Meskipun Jibriel merupakan orang yang diduga sebagai seorang “teroris”, namun belum berarti medianya juga media “teroris”. “Ini yang harus dipisahkan. Sebab ini terkait dengan kebebasan pers,” Ibnu beralasan.
Seseorang, lanjut Ibnu, katakanlah dia seorang teroris, namun tetap tidak bisa dikaitkan dengan media massa yang menghasilkan produk jurnalistik yang dimilikinya. Sehingga, tidak bisa serta merta dikatakan Arrahmah.com sebagai media teroris.
Jika memang Arrahmah.com merupakan media massa, maka hak media tersebut untuk menyampaikan pemberitaan yang diinginkannya. “Jadi harus benar-benar dilihat, apa kontennya terkait, mengajak atau kental dengan tindakan terorisme,” ujarnya.
Polisi, menurut dia, tidak bisa langsung menggeledah dan menyita alat-alat kerja di sana. Seandainya tidak menemukan indikasi jaringan atau terkait terorisme murni, petugas seharusnya melakukan beberapa tindakan sesuai dengan UU Pers.
Penggeledahan dan penyitaan barang-barang di sana, tentu akan menganggu kinerja Arrahmah.com. “Jadi, jika Arrahmah.com tidak terima, mereka bisa meminta bantuan kepada Dewan pers dan melakukan upaya hukum sesuai dengan UU pers yang berlaku,” tandas Ibnu Hamad.
“Sebab, bagaimanapun juga jika Arrahmah.com memang menghasilkan karya jurnalistik, maka kerja mereka sebagai media massa dilindungi oleh peraturan-peraturan seperti undang-undang pers,” jelas staf pengajar FISIP Universitas Indonesia ini. [inilahnews/arrahmah.com]