Sidang Paripurna DPR Kamis, 6 Desember 2007 sepakat menempatkan Islam dan agama-agama lain posisinya dibawah Pancasila. Yang paling ‘ngotot’ menghendaki posisi demikian adalah Partai Golkar (PG), PKB Partai Demokrat dan PDIP.
Sejumlah fraksi meminta rumusan tersebut diubah, tetapi partai yang berkonspirasi tersebut tetap ngotot tidak mau mengubahnya. Sadar ada kekeliruan fatal dalam rumusan RUU Partai Politik (parpol) dalam hal asas dan ciri parpol, Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) menyampaikan keberatan atas bunyi ayat 3 yang berbunyi : Asas dan ciri Parpol sebagaimana termaktub dalam ketentuan ayat (1) dan (2) merupakan penjabaran dari Pancasila dan UUD 1945.
Fraksi PPP mengusulkan agar kata merupakan penjabaran diganti dengan selaras dan sejalan, tegas Ketua Fraksi PPP Lukman Hakim Saifuddin. Jika bunyinya seperti itu, lanjut Lukman, kalau Partai berasaskan Islam maka akan timbul pertanyaan Apa Islam merupakan penjabaran dari Pancasila dan UUD 1945?
Partai-partai yang mengkultuskan Pancasila seharusnya memiliki perasaan malu mengusung Pancasila. Perasaan malu ialah yang membedakan identitas manusia dan hewan, mayoritas bangsa ini sudah lama kehilangan perasaan malu, terutama para pemimpinnya yang tidak mampu merubah keadaan buruk menjadi baik untuk rakyat yang dipimpinnya, merekalah yang tidak memiliki perasaan malu.
Dijaman pemerintahan Orde Baru Pancasila dijadikan Asas Tunggal yang terbukti gagal total mengangkat martabat Bangsa ini dari Sabang sampai Merauke.
Interupsi Ketua F-PPP Lukman Hakim Saifuddin mendapat dukungan dari anggota fraksi Partai Bintang Reformasi (PBR), Bintang Pelopor Demokrasi (BPD), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai keadilan Sejahtera (PKS).
Akhirnya Sidang Paripurna yang dihadiri kurang dari 100 orang anggota DPR itu mengesahkan RUU Parpol untuk ditetapkan menjadi UUD. Keberatan fraksi PPP, PBR, BPD, PKS dan PAN hanya diakomodasi dengan membuat catatan adanya keberatan. Keberatan mereka dalam risalah penyusunan RUU Parpol, adapun rumusan ayat 3 tetap tidak mengalami perubahan.
Asas Parpol Pasal 9 ayat (3) tersebut bertentangan dengan ayat (2) yang bunyinya, “Partai Politik dapat mencantumkan citra tertentu yang mencerminkan cita-cita partai yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia 1945.” Asas Parpol Pasal 9 ayat (3) menjegal cita-cita partai Islam dan mayoritas bangsa ini untuk memberlakukan syariat Islam, inilah salah satu taktik dan strategi mereka yang berkonspirasi melanggengkan kekuasaan zalim yang ditimpakan kepada rakyat.
Pancasila tanpa dipayungi syariat Islam telah gagal total mensejahterakan bangsa ini. Mengesahkan dan menetapkan RUU Parpol tanpa dipayungi syariat Islam menjadi UUD, adalah pembodohan DPR terhadap rakyat yang diwakilinya.
Pancasila telah dikultuskan kesaktiannya oleh Golkar dan mereka yang alergi terhadap Islam, menebar kemusyrikan, mengundang malapetaka tiada tara untuk bangsa ini.
Umat Islam bersama dengan MUI dan Ormas-ormas Islam perlu menunjukkan sikap yang tegas agar memprotes DPR dan Pemerintah supaya mencabut dan meninjau kembali UUD Parpol dalam hal asas dan ciri parpol yang sudah diundangkan dan menukarnya dengan rumusan baru (contohnya antara lain) Pasal 9 ayat 3 yang bunyinya, “Asas dan ciri Parpol sebagaimana termaktub dalam ketentuan ayat (1) dan (2) dapat menggali kreatifitas pengamalan agama dengan konsekuen yang diyakini partai yang bersangkutan.”
Pengamalan Syariat Islam bukan ditujukan kepada pemeluk agama non Islam, masing-masing agama mengatur kehidupan pribadi dan masyarakat sesuai dengan peraturan agama yang diyakini pemeluknya. Pancasila dan Undang-Undang Dasar negara RI 1945 tanpa diarahkan/dibimbing dengan aturan agama (Syariat Islam) aktifitas kegiatan negara akan melenceng kepada perbuatan yang diharamkan agama. Ini sudah terbukti suburnya kebohongan, lenyapnya keadilan, merajalelanya kriminalitas dan bangkrutnya aset negara. Khusus untuk pemeluk agama Islam, tidak dibenarkan berpaling dari aturan kehidupan yang sudah ditetapkan Allah dan RasulNya.
Artinya : Hai orang-orang beriman taatlah kepada Allah dan rasulNya dan janganlah kamu berpaling dari padaNya, sedang kamu mendengar “perintah-perintahNya.” (QS. 8:20).
Ayat ini untuk mengarahkan, membimbing Pancasila dan UUD 1945 menjadi filter kegiatan yang dilakukan negara tidak bertentangan dengan Syariat Islam dan tidak berpaling dari padanya. Inilah jalan yang lurus menjadikan bangsa ini bermartabat. Bangsa ini penduduk muslimnya terbesar di dunia. Para pemimpinnya baik eksekutif maupun legislatif mayoritas menganut agama Islam, tapi mereka berpaling dari ajaran Allah dan RasulNya.
Disebabkan kesombongan dan kedurhakaan mereka, maka musibah yang berkepanjangan terus melanda negara ini. Begitu dahsyatnya musibah susul menyusul namun para pemimpin belum mau bertobat, bahkan mereka masih tergila-gila melihat fatamorgana dunia yang fana ini. Mereka menempatkan Syariat Islam di bawah Pancasila. Nauzubillah.
Apakah partai-partai yang arogan dan tidak tahu malu, yang sudah membutakan mata hatinya untuk mengakui kegagalan mereka, mengantarkan keadilan dan kemakmuran kepada rakyat yang dipimpinnya, perlukah kita pilih lagi pada Pemilu yang akan digelar tahun 2009 nanti?
Tak usah ye…da…da….
Rakyat harus sadar bahwa mereka yang melecehkan syariat Islam dialah biang kerok yang menyengsarakan rakyat. Mereka membuat hutang kepada bank dunia jaminannya negara dari Sabang sampai Merauke. Para pejabat negara berbahagia. Mantan Presiden yang notabene seorang Kiai sangat cenderung menjalin hubungan diplomatik dengan Israel yang nyata-nyata merampas tanah air Palestina. Umat Islam di Indonesia sangat prihatin atas kejahatan-kejahatan Israel yang brutal kepada bangsa Palestina. Mantan Presiden yang juga anak seorang Proklamator negeri ini punya hobi menjual aset-aset Negara. Presiden yang sedang berkuasa sekarang ini sangat alergi terhadap Syariat Islam. Partai yang dipimpin oleh orang no 2 di Negeri ini Pelopor pengusung asas Pancasila.
Masih pantaskah kita memilih tokoh-tokoh tersebut untuk menjadi presiden republik Indonesia dimasa yang akan datang?
Sewaktu negara ini memproklamirkan kemerdekaan, negara kita tidak mempunyai beban hutang kepada negara lain, bahkan negara lain yang sempat merusak kehidupan bangsa kita, mereka mempunyai hutang pampasan perang kepada negara kita. Pada saat yang sama negara kita dianugrahi Allah Yang Maha Esa kekayaan alam yang melimpah, yang tak terkira nilainya.
Kini sudah lebih dari 62 tahun Indonesia merdeka kurnia Allah yang maha Pemurah yang tak terkira nilainya itu, pada 62 tahun yang lalu masih perawan. Sekarang berpindah menjadi milik negara lain. Harta habis hutangpun tumbuh, beginilah nasib negara yang dikelola dengan hawa nafsu.
Sebagian anak bangsa yang berpendidikan sesuai dengan ilmu teknologi yang dimilikinya, mengabdikan dirinya untuk kepentingan dan kemajuan negara lain ditempat ia bekerja, disebabkan pemerintah tidak mampu menyediakan lapangan kerja, juga pemerintah tidak menghargai para ilmuwan anak bangsa yang perprestasi. Pemimpin yang ikhlas membangun negara mereka singkirkan.
Pintar atau bodohkah pemerintah yang selama 62 tahun mengatur negara ini dengan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang mencoret piagam Jakarta pada 18 Agustus 1945. Dekrit Presiden Soekarno tertanggal 5 Juli 1959 didalamnya menyebutkan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan konstitusi tersebut.
Presiden Soekarno rujuk pada piagam Jakarta hanya yang dipakai kerangkanya saja. Alhamdulillah Piagam Jakarta tidak jadi mati, sehingga penegakan Syariat Islam yang menjadi esensi dari piagam Jakarta merupakan perintah konstitusional yang harus ditaati oleh Pemerintah Negara Republik Indonesia. Yang terpenting ialah kewajiban mengamalkan syariat Islam dengan konsekuen bagi penganutnya.
Ibrahim Noer
Ketua Forjam Sumbar ( Forum Jama’ah Masjid Sumatra Barat)
The State of Islamic Media
http://www.arrahmah.com/
29 Desember 2007