JEDDAH (Arrahmah.com) – Ketakutan akan konfrontasi militer baru di Libya tumbuh pada Senin (28/12/2020) setelah Turki mengeluarkan ancaman langsung kepada pasukan komandan timur Khalifa Haftar, seperti diungkap oleh Arab News.
Turki adalah pendukung utama Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) Libya di Tripoli, yang sedang diperangi oleh Tentara Nasional Libya (LNA) Haftar, didukung oleh Rusia, UEA, dan Mesir.
Pada kunjungan mendadak ke pasukan Turki di Tripoli hari Minggu (27/12), Menteri Pertahanan Hulusi Akar memperingatkan: “Penjahat perang ini, preman Haftar dan para pendukungnya harus tahu bahwa jika ada upaya untuk menyerang pasukan Turki, pasukan pembunuh Haftar akan dipandang sebagai target yang sah di mana saja.”
Kunjungan itu terjadi dua hari setelah Haftar mendesak para pejuangnya untuk mengusir pasukan Turki dari Libya.
“Tidak akan ada perdamaian dengan kehadiran penjajah di tanah kami,” katanya.
Akar diharapkan meluncurkan proyek kerja sama militer antara Tripoli dan Ankara. Pekan lalu, parlemen Turki mengadopsi mosi untuk memperpanjang penempatan pasukan di Libya selama 18 bulan.
“Pernyataan terbaru adalah ancaman samar menyusul ancaman awal dari Haftar ke pasukan Turki,” Oded Berkowitz, seorang analis keamanan, mengatakan kepada Arab News.
“Ini adalah serangan verbal… yang sedikit lebih agresif dari biasanya, karena seringkali ini tidak termasuk ancaman langsung ke LNA.”
Kyle Orton, seorang peneliti kebijakan Timur Tengah yang berbasis di Inggris, mengatakan ada sedikit alasan untuk meragukan bahwa Haftar bermaksud mencoba lagi untuk mengambil kendali atas semua Libya.
“Tapi tampaknya tidak mungkin upaya itu akan terjadi dalam waktu dekat mengingat kemunduran yang ditimbulkan awal tahun ini oleh Turki,” paparnya.
Menyusul perjanjian gencatan senjata yang ditandatangani pada bulan Oktober, GNA dan LNA diperkirakan untuk melakukan dialog politik yang disponsori PBB, menyiapkan panggung untuk pemilihan tahun depan untuk mengakhiri konflik yang telah berlangsung lama di Libya.
Turki mengirim penasihat militer, drone canggih, dan ribuan tentara bayaran Suriah ke GNA, dan mendirikan pangkalan militer besar di wilayah Al-Watiya di perbatasan Libya dengan Tunisia.
Pangkalan tersebut telah lama dikritik karena potensinya dalam menyediakan cadangan militer bagi operasi pengeboran minyak dan gas Turki yang kontroversial di Mediterania timur. (Althaf/arrahmah.com)