Oleh : Ustadz Irfan S Awwas dan Tim Ahli Majelis Mujahidin
(Arrahmah.com) – Pada mulanya adalah sebuah opini berjudul: “Membantah Penyesatan Irfan S Awwas yang disebarkan oleh Situs Arrahmah.com,” yang dipublikasikan di blog millahibrahim.wordpress.com. Penulis opini Abu Sulaiman Al-Arkhabily, tertanggal 2 Dzul Qa’dah 1434 H / 08 September 2013. Belakangan diketahui, Abu Sulaiman Al-Arkhabily adalah Aman Abdurrahman, nama asli Oman Rochman kelahiran Cimalaka Sumedang 5 Januari 1972.
Sejak 2004, tercatat sebagai narapidana kasus teroris, dan dihukum 7 tahun penjara. Aman Abdurrahman dikenal oleh pengikutnya sebagai singa tauhid yang konsisten dan dengan tegas serta berani menentang sistem syirik demokrasi dan meluruskan syubhat-syubhat syirik demokrasi. Kini Aman diisolasi di penjara thaghut Kembang Kuning, Nusakambangan.
Bagaimana seorang narapidana bisa mengirim tulisan dan menjadi komentator di sejumlah situs online, tidak jelas. Tapi alhamdulillah, dalam kondisi terzalimi masih dapat memublikasikan pikiran dan pemahamannya untuk dikonsumsi halayak ramai. Sebenarnya, kurang bijaksana menanggapi opini seorang pesakitan, berada di tempat yang serba terbatas, tertekan dan jauh dari informasi. Sebagai aktivis yang pernah merasakan getirnya penjara rezim Soeharto selama 13 tahun, tentu dapat memahami hal demikian.
Sebagian pembaca menyarankan untuk tidak merespons, karena pemahamannya tentang demokrasi masih demokrasi primitif ala Yunani kuno. Sementara praktik demokrasi modern, bahkan mengadopsi ajaran agama sehingga ada yang berpikir: Jika musuh Islam menggunakan demokrasi untuk menghancurkan Islam, mengapa kita tidak menggunakan demokrasi untuk memenangkan Islam dan menistakan demokrasi sendiri?
Tapi sebagian besar pembaca menyarankan untuk direspons sebagai penghargaan atas jerih payahnya memforsir pemikiran sekadar melabelkan tuduhan penyebar kesesatan pada Irfan S Awwas, dengan alasan:
“Pandangan Majelis Mujahidin mengatakan demokrasi dibagi dua. Demokrasi sebagai ideologi dan demokrasi sebagai mekanisme. Kemudian pembelaan Irfan S Awwas terhadap keislaman dua musuh besar Islam yaitu Taufiq Kemas dan Megawati yang sangat anti Islam lagi pimpinan partai sekuler sosialis Marhaen (PDIP), di mana Irfan mengukuhkan keislaman keduanya sebagaimana yang dimuat oleh arrahmah.com dan bahkan Irfan S Awwas menyayangkan keluarga Taufiq Kemas yang tidak memberikan kesempatan tetangga menshalatkannya,” tulis Aman.
Nampak jelas, Aman Abdurrahman kesulitan membedakan antara prinsip dan strategi, antara ideologi dan cara; sebagaimana dia juga kebingungan mengimplementasikan antara tauhid dan ilmu tauhid, jihad dan fiqhul jihad. Karena itu, penting dijelaskan agar para penentang Syari’at Islam tidak mendiskreditkan Majelis Mujahidin menggunakan ilusi Aman Abdurrahman di atas. Begitupun, orang yang sepaham dengan Aman, tidak angkuh dan tidak merasa benar dalam kesesatan berpikir.
Majelis Mujahidin tidak membagi demokrasi menjadi dua bagian, tapi meninjau demokrasi dari dua sudut pandang. Demokrasi sebagai ideologi dan demokrasi sebagai mekanisme perjuangan. Ketika demokrasi mengadopsi ajaran Islam dalam menjalankan misinya, dan mengklaimnya sebagai milik demokrasi, umat Islam harus cerdas melawannya. Umat Islam dapat menggembosi demokrasi, bahwa musyawarah bukan milik demokrasi. Memilih pemimpin melalui pemilihan umum, mengambil keputusan melalui voting, bukan milik demokrasi melainkan milik Islam yang dicuri demokrasi. Itulah strategi dan cara menaklukan lawan yang kita baca dalam fakta sejarah Islam.
Maka hendaknya disadari, bahwa mengadili paham dan vonis sesat terhadap sesama Muslim berdasarkan persepsi atau pemahaman pribadi adalah kesesatan juga. Tuduhan sesat yang dialamatkan pada siapa saja yang berbeda pendapat dengannya, berangkat dari apriori dan gaya berfikir safsathah, yaitu menggunakan dalil-dalil agama secara manipulatif, membungkus kebathilan dengan Al-Qur’an dan Hadits disesuaikan dengan seleranya sendiri.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا (103) الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا (104)
“Wahai Muhammad, katakanlah: “Apakah Kami belum menjelaskan kepada kalian tentang orang-orang yang paling rugi usahanya?” Orang-orang yang paling rugi usahanya adalah orang-orang yang selama hidup di dunia melakukan perbuatan sesat, tetapi mereka mengira bahwa yang dia lakukan itu perbuatan benar.” [Al Kahfi, 18: 103-104]
Ideologi Takfir
Sebagai institusi yang berorientasi ke arah penegakan Syari’at Islam di lembaga negara, maka sangat penting bagi Majelis Mujahidin untuk mengantisipasi penyebaran kesesatan berkedok dakwah tauhid oleh para ‘muwahhid’. Apologi sesat para penyebar kesesatan ini bukan sekadar wacana, tapi telah menjadi kiblat pemikiran sekaligus prilaku keagamaan yang mengundang permusuhan sesama gerakan Islam.
Menggunakan kaidah takfir, ‘tidak mengafirkan orang kafir adalah kafir’ sebagai senjata menuding siapa saja yang tidak sepaham dengannya. Doktrin ashlul iman atau hal-hal yang dianggap pokok dalam iman, dijadikan alasan seenaknya mengafirkan orang lain. Darimana mereka mengadopsi kaidah takfir seperti itu, apakah dari qaul ulama atau implementasi perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam? Tidak seorangpun dari 4 imam mazhab dalam Islam yang mengafirkan seorang Muslim secara gegabah, bahkan tidak mengafirkan mereka yang meyakini Qur’an sebagai makhluk. Apalagi pada orang yang tidak pernah mengatakan demikian. Sekadar seseorang beda pendapat dengan kita dalam urusan apapun tidak ada hak untuk mengafirkan yang bersangkutan.
Karena itu, tidak mengafirkan orang yang kalian anggap kafir, tidak kafir. Tapi tidak mengafirkan mereka yang dikatakan kafir oleh Allah dan Rasul-Nya adalah kafir. Manusia tidak punya otoritas memvonis kafir siapapun berdasarkan pemahaman atau persepsinya sendiri.
Seorang mufassir dari Mauritania, Syeikh Asy-Syinqithi ketika menafsirkan Qs. Al-Baqarah ayat 9:
يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ (9)
“Dengan pernyataan semacam itu, orang-orang munafik telah mendurhakai Allah dan mengelabui orang-orang beriman, namun mereka tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya hanya mengelabui dirinya sendiri.” [Al-Baqarah, 2: 9]
Syeikh Asy-Syinqithi menjelaskan, bahwa Abdullah bin Ubay yang sudah sangat dikenal oleh para sahabat sebagai munafiq, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menyatakan Abdullah bin Ubay bukan Muslim. Jika seorang Rasul saja tidak berani mengatakan Abdullah bin Ubay kafir sekalipun tanda-tandanya secara umum diketahui sahabat, tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak gegabah.
Tuduhan kelompok penyebar kesesatan (pengkafir) terhadap sesama Muslim hanyalah apologi sesat dan menyesatkan orang-orang awam. Tampaknya, seolah-olah punya dalil dari Al-Qur’an dengan sederet omongan ulama tapi kosong dari hujjah yang shahih yang berasal dari praktek riil Rasulullah dan para sahabatnya.
Jika kelompok takfir ini berkeras kepala dengan pendiriannya yang menyimpang dari Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah dan para ulama salaf yang shalih, maka kelompok ini tidak beda dengan kaum Yahudi dan Nasrani seperti yang tersebut pada firman Allah:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا نُؤْمِنُ بِمَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا وَيَكْفُرُونَ بِمَا وَرَاءَهُ وَهُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا لِمَا مَعَهُمْ قُلْ فَلِمَ تَقْتُلُونَ أَنْبِيَاءَ اللَّهِ مِنْ قَبْلُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (91)
“Wahai Bani Israil, ingatlah ketika Allah berfirman: “Berimanlah kalian kepada Al-Qur’an yang telah Allah turunkan kepada Muhammad.” Mereka menjawab: “Kami, kaum Yahudi telah beriman kepada Taurat yang diturunkan kepada kami.” Kaum Yahudi kafir kepada Al-Qur’an, padahal Al-Qur’an itu adalah kitab yang benar yang mengakui kebenaran kitab Taurat dan Injil yang ada pada mereka. Wahai Muhammad, katakanlah: “Wahai kaum Yahudi, mengapa dahulu kalian membunuh para nabi Bani Israil, jika kalian benar-benar beriman kepada kitab suci kalian?” [Al-Baqarah, 2: 91]
Untuk penjelasan tambahan, patutlah kita simak keterangan Ibnu Taimiyah ketika menafsirkan surah Al-Kautsar ayat terakhir, beliau berkata sebagai berikut:
Tanda dan ciri paling kuat orang yang memusuhi dan membenci sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seseorang yang ketika mendengar orang lain berhujjah dengan Sunnah Rasulullah ia bersikap menyepelekan dan menjauhi. Orang itu bersikap demikian karena rasa benci kepada sunnah Rasul dan menjauhinya. Manakah sikap permusuhan kepada Rasulullah yang lebih besar dari sikap yang semacam itu?
Begitu juga dengan orang yang lebih mengutamakan pendapat-pendapat orang lain dan ilmu pengetahuan manusia daripada Al-Qur’an dan Sunnah. Orang tersebut bersikap demikian kepada Al-Qur’an dan Sunnah karena dia memusuhi Rasulullah. Bahkan ada orang-orang yang melupakan ayat-ayat al-Qur’an yang dihafalnya tapi sibuk menghafal qaul fulan dan fulan. Ada pula sikap permusuhan dan perolokannya lebih besar dari hal ini adalah orang yang mengingkari al-Qur’an dan menganggapnya sebagai kumpulan dongeng-dongeng masa lalu serta sihir. Sikap semacam ini merupakan kebinasaan yang sangat besar. Setiap orang yang memusuhi Rasulullah akan mendapatkan bencana sebanding dengan sikap permusuhannya kepada beliau. [Tafsir Surah Al-Kautsar, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, 16/527-528]
Dari uraian Ibnu Taimiyah ini, kita dapat memahami bahwa orang yang mengikuti pendapat ulama atau syaikh sebagai pedoman dalam beragama dan mengabaikan Al-Qur’an atau Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka orang semacam ini termasuk musuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Misalnya, mengkafirkan orang Islam yang tidak sejalan dengan pendapatnya, menghalalkan darah orang Islam di luar kelompoknya, menghalalkan merampok harta orang yang bukan kelompoknya, adalah termasuk golongan orang yang memusuhi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka lebih mengutamakan qaul fulan dan fulan dengan mengabaikan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Begitu juga orang yang mengatakan kita harus mendahulukan tauhid, atau aqidah daripada syari’ah, padahal Al-Qur’an dan Hadits tidak menyatakan demikian. Maka orang semacam ini termasuk golongan yang memusuhi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sekalipun Ahli Sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa orang yang mengatakan Al-Qur’an itu makhluk adalah kafir. Namun mereka tidak pernah memvonis kafir terhadap nama-nama tertentu dari kelompok yang berfaham seperti ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Imam Ahmad mengkafirkan sekte Jahmiyah yang mengingkari nama-nama Allah dan sifat-sifatNya. Sebab faham seperti ini bertentangan secara jelas dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sekalipun demikian, beliau tidak pernah mengkafirkan oknum-oknum tertentu dari kelompok Jahmiyah ini.
Banyak penguasa, ketika itu yang mengikuti pendapat golongan Jahmiyah dan mengajak manusia mengikuti pendapat mereka, bahkan menyiksa orang yang menolaknya. Golongan Jahmiyah mengkafirkan orang-orang yang tidak mengikuti pendapat mereka. Sekalipun demikian, Imam Ahmad tetap bersikap kasih sayang terhadap para penguasa yang mengikuti pendapat mereka dan memohonkan ampun untuk mereka. Karena beliau menyadari bahwa mereka ini hanya sekedar menyalahi ajaran Rasulullah bukan mengingkari agama yang dibawa oleh Rasulullah. Para penguasa itu mengikuti penafsirannya sendiri, tetapi salah. Mereka hanya taqlid kepada orang-orang yang mereka ikuti.
Memvonis kafir seorang Muslim ada syarat dan parameter tertentu. Dan pengkafiran itu tidak boleh dengan menyebutkan nama-nama tertentu. Memvonis kafir secara umum itu dibolehkan, tetapi bila menyebut nama-nama tertentu haruslah memenuhi syarat dan patokannya yang shahih. Imam Ahmad dan mayoritas imam hanya berani menyebut secara umum tetapi tidak berani menunjuk orang tertentu sebagai kafir dari orang-orang yang mempunyai pendapat yang sesat.
Contoh lain adalah sikap Imam Asy-Syafi’i terhadap Hafs Al-Fard yang menyatakan Al-Qur’an adalah makhluk. Beliau berkata: Pendapat yang mengatakan Al-Qur’an itu makhluk adalah kufur. Tetapi Imam Syafi’i tidak menghukumi Hafs sebagai orang kafir karena pendapatnya itu. Sebab Imam Syafi’i tidak mendapatkan alasan yang kuat untuk mengkafirkan orang yang berpendapat demikian. Jika Imam Syafi’i berpendapat orang semcam itu sudah murtad, tentu beliau sudah membunuhnya. Di dalam tulisan-tulisannya Imam Syafi’i menyatakan dengan terus terang bahwa kesaksian pengikut hawa nafsu dan shalat di belakang mereka hukumnya sah.
Ibnu Taimiyah sepakat dengan metode yang digunakan oleh para ulama ini. Ketika beliau menghadapi cobaan berkaitan dengan pendapat golongan Jahmiyah yang beranggapan Allah itu menyatu dalam diri makhluk dan mengingkari keberadaan Allah di atas ‘Arsy, beliau berkata:
أنا لو وافقتكم كنت كافراً ، لأني أعلم أن قولكم كفر ، وأنتم عندي لا تكفرون ، لأنكم جهال .
“Jika saya menyepakati pendapat kalian saya menjadi kafir, karena perkataan kalian itu merupakan ucapan kufur. Sekalipun demikian, saya berpendapat kalian ini tidak dapat dikatakan sebagai orang kafir. Sebab kalian mengikuti pendapat itu karena kebodohan.”
Ibnu Taimiyah menyampaikan pernyataanya di hadapan para ulama, para qadhi, para syaikh dan penguasa-penguasa mereka.
Apologi Penyebar Kesesatan
Dalam catatan sejarah modern, ideologi takfir yang kemudian dikenal dengan Jama’ah Takfir wal Hijrah di Mesir, muncul setelah Jamal Abdul Naser meninggal tahun 1970, didirikan oleh Musthafa Syukri atau Syukri Ahmad Musthafa, lahir tahun 1942 di Asiyuth. Kelompok ini mengikuti manhaj Khawarij dalam mengkafirkan orang Islam yang melakukan perbuatan maksiat.
Pada masa rezim Abdul Naser dia dipenjarakan dari tahun 1965 sampai Jamal Abdul Naser meninggal. Setelah bebas dia mengembangkan pemikirannya dan mendapatkan pengikut di tengah masyarakat Mesir pada umumnya dan kalangan kampus khususnya.
Jama’ah Takfir wal Hijrah mengkafirkan para penguasa tanpa peduli terhadap persyaratan pengkafiran orang Islam. Mereka dikafirkan lantaran tidak menjalankan hukum Allah. Mereka juga mengkafirkan rakyat yang beragama Islam karena ridha menerima hukum yang dijalankan penguasanya. Mereka juga mengkafirkan para ulama yang tidak mengkafirkan penguasa tersebut.
Kemudian mereka mengasingkan diri dari masyarakat Islam yang dianggap jahiliyah, baik secara fisik maupun mental. Hal ini mereka wujudkan dengan menjauhi masjid-masjid yang biasa digunakan kaum Muslimin karena dianggap sebagai tempat-tempat ibadah kaum jahiliyah (masjid dhirar). Mereka juga secara ketat melakukan penerapan standar minimal bagi keislaman seseorang. Mereka membuat patokan sendiri tentang keimanan, kekafiran dan lain sebagainya yang menyalahi manhaj Ahli Sunnah wal Jama’ah. Mereka mengambil sumber-sumber dan dalil-dalil yang berbeda dengan Ahli Sunnah wal Jama’ah.
Jama’ah Takfir wal Hijrah kemudian berkolaborasi dengan seorang tokoh sosialis kiri yang dipimpin oleh Ali Shabri. Semasa pemerintahan Jamal Abdul Naser Ali Shabri merupakan tokoh pendukungnya. Ketika Anwar Sadat berkuasa Ali Shabri disingkirkan dan dipenjarakan. Ali Shabri menentang Anwar Sadat karena politiknya yang pro Barat dan AS.
Nampaknya, karena kepentingan yang sama terjadi kolaborasi antara sosialis kiri pimpinan Ali Shabri dengan Jama’ah Takfir wal Hijrah. Kelompok sosialis Mesir tidak dapat bergerak dengan benderanya sendiri, tapi berkoalisi dengan Jama’ah Takfir wal Hijrah. Jama’ah inilah yang melakukan penyemprotan dengan bahan kimia terhadap perempuan yang tidak berjilbab, sehingga menimbulkan kemarahan rakyat Mesir. Mereka juga berusaha merusak masjid yang dianggap dhirar. Padahal mereka tidak pernah bisa membedakan, apakah dhirar nama sebuah masjid ataukah fungsi masjid. Jama’ah ini ditumpas habis setelah pembunuhan Sadat pada tahun 1981.
Dan ideologi takfir inilah yang menginspirasi sejumlah gerakan Islam yang muncul akhir-akhir ini di Indonesia, termasuk group Aman Abdurrahman yang berkedok dakwah tauhid. Untuk membenarkan prilaku kasar mereka itu, Jama’ah Takfir wal Hijrah berlindung di balik ayat:
… إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ …
[Al-An’aam, 6: 57, Yusuf, 12: 40 & 67]
Di masa lalu, ayat ini digunakan oleh kelompok khawarij untuk menentang Khalifah Ali bin Abi Thalib yang menerima perjanjian damai dengan sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhum ajma’in.
Diriwayatkan dari Ali bahwa ketika beliau berdiri di atas mimbar di Kufah untuk berkhutbah, lalu seorang khawarij di sudut masjid menyela: “Tidak ada hukum kecuali milik Allah.”
Lalu Ali memutus khutbahnya kemudian menjawab:
كَلِمَةُ حَقٍّ يُرَادُ بِهَا بَاطِلٌ ، أَمَا إنَّ لَهُمْ عِنْدَنَا ثَلَاثًا أَنْ لَا نَمْنَعَهُمْ حَقَّهُمْ مِنْ الْفَيْءِ مَا كَانَتْ أَيْدِيهِمْ مَعَ أَيْدِينَا ، وَلَا نَمْنَعَهُمْ مَسَاجِدَ اللهِ أَنْ يَذْكُرُوا فِيهَا اسْمَهُ ، وَلَا نُقَاتِلَهُمْ حَتَّى يُقَاتِلُونَا .
“Kata-kata yang benar tetapi digunakan untuk tujuan yang bathil. Menurut kami, kaum Khawarij mempunya tiga pilihan yaitu: “Kami tidak akan menghalangi mereka untuk mendapatkan fai’ selama mereka turut berjuang bersama kami. Mereka tidak kami larang untuk datang ke masjid-masjid Allah untuk berdzikir, dan kami tidak akan memerangi mereka sebelum mereka memerangi kami.” [Jami’ Lathaif at-Tafsir, 16/102]
Perhatikan, pernyataan Khalifah Ali bin Abi Thalib terhadap golongan khawarij. Khalifah sekaliber Ali saja tidak mengkafirkan golongan khawarij, karena mereka masih mau shalat.
Mengapa di zaman sekarang masih ada kelompok yang begitu enteng mengkafirkan orang Islam, yang masih mengucapkan kalimat syahadat dan shalat? Jika mereka tidak sombong dengan paham sesatnya, seharusnya mereka mengambil pelajaran dari peristiwa di atas dan bertaubat dari kelancangannya selama ini.
Selain terinspirasi dengan ideologi takfir, group Aman Abdurrahman juga digerakkan oleh keyakinan adanya kategorisasi iman. Padahal, pembagian iman menjadi iman al-mustahab, iman al-wajib dan ashlul iman seperti yang dilakukan Abdul Qadir Abdul Aziz di dalam kitab “Al–Jami‘ Fi Thalabil ‘Ilmi Asy-Syarif” sama sekali tidak memiliki rujukan ulama salaf.
Misalnya, Abdul Qadir mengatakan bahwa, seorang hakim Muslim yang menghukumi pemabuk dengan hukuman 6 bulan penjara dikategorikan kafir karena tidak menghukumi dengan hukum cambuk (sesuai syari’ah) sebagaimana ayat و من لم يحكم بما انزل الله. Sengaja meninggalkan hukum Allah, meninggalkan shalat, mencela Allah dan Rasul-Nya termasuk keluar dari ashlul iman (pokok-pokok iman), sehingga pelakunya dihukumi kafir (kafir mu’ayyan). Pernyataan ini dapat dibaca dalam kitab terjemahan serial Al–Jami‘ Fi Thalabil ‘Ilmi Asy-Syarif “Iman dan Kufur”, hal. 235-236, Qaidun Group, jazerabooks.com.
Kitab Tauhid Aqidah Ath-Thahawiyah tidak memperkenalkan pembagian yang dipopulerkan oleh Abdul Qadir itu. Karena itu pembagian seperti ini adalah bid’ah. Barangkali juga susupan dari kelompok Syi’ah. Pembagian iman seperti ini menjadi doktrin kelompok takfir mudah mengkafirkan orang Islam, sebagaimana terjadi pada Jama’ah Takfir wal Hijrah di Mesir.
Al-Qur’an mengelompokan manusia dengan predikat kafir, fasiq, zalim.
… وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (44)
“Siapa saja yang tidak mau menetapkan dan melaksanakan hukum sesuai syari’at yang Allah turunkan kepada Nabi-Nya, mereka itu adalah orang-orang kafir.”
… وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (45)
“Siapa saja yang tidak mau menetapkan hukuman setimpal dalam perkara pembunuhan dan penganiayaan sesuai syari’at yang Allah turunkan kepada Nabi-Nya, maka mereka itu adalah orang-orang zhalim.”
… وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (47)
“Siapa saja yang tidak mau melaksanakan hukum sesuai syari’at yang Allah turunkan kepada Nabi-Nya, mereka itulah orang-orang yang durhaka kepada Allah.”
[Al-Maaidah, 5: 44, 45 & 47]
Orang-orang yang menggunakan tiga ayat di atas secara apriori sebagai dalil untuk mengkafirkan orang lain yang tidak sependapat dengan pahamnya yang sesat, wajib memperhatikan ayat di bawah ini:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ (49)
“Wahai Muhammad, hendaklah kamu mengadili perkara kaum Yahudi dan Nasrani dengan syari’at yang Allah turunkan dalam Al-Qur’an. Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya kamu tidak terpedaya oleh mereka, sehingga kamu meninggalkan sebagian syari’at yang Allah turunkan kepadamu. Jika mereka meninggalkan sebagian syari’at itu, ketahuilah bahwa Allah berkehendak menimpakan adzab kepada mereka karena dosa-dosa mereka. Sebagian besar manusia itu benar-benar durhaka kepada Allah.” [Al-Maaidah, 4: 49]
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ هَلْ تَنْقِمُونَ مِنَّا إِلَّا أَنْ آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلُ وَأَنَّ أَكْثَرَكُمْ فَاسِقُونَ (59)
“Wahai Muhammad, katakanlah kepada kaum Yahudi dan Nasrani: “Apakah kalian dendam kepada kami, kaum muslim karena kami beriman kepada Allah dan Al-Qur’an yang diturunkan kepada kami serta beriman kepada Taurat dan Injil yang diturunkan kepada nabi-nabi dahulu?” Wahai kaum mukmin, sebagian besar kaum Yahudi dan Nasrani adalah orang-orang durhaka terhadap agama kalian.” [Al-Maaidah, 4: 59]
Pada dua ayat di atas, Allah tidak menghukumi kafir orang-orang yang tidak menjalankan hukum-Nya, tetapi hanya menetapkan sebagai orang fasik. Oleh karena itu, orang-orang yang dengan gegabah menafsirkan sesuai selera hawa nafsunya apakah mereka merasa lebih pintar dari Allah, atau merasa lebih berhak memvonis seseorang kafir daripada Allah sendiri? Mereka yang berbuat demikian mendapatkan peringatan keras dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seperti sabdanya berikut ini:
مَنْ فَسَّرَ الْقُرْآنَ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ .
“Barang siapa menafsirkan Al-Qur’an dengan pikirannya semata sekalipun benar tetap salah.”
مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمِ ، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ .
“Siapa yang berbicara tentang Al-Qur’an tanpa ilmu hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.”
Dan Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata:
أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي، وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي ، لَوْ قُلْتُ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِي .
“Langit mana yang akan menaungi aku dan bumi mana yang akan aku jadikan tempat berpijak jika aku menafsirkan Al-Qur’an dengan pikiranku semata-mata.” [Tafsir Ats-Tsauri, 1/6]
Imam Ahmad memfatwakan orang yang menafsirkan Qur’an dengan pikirannya sendiri maka dia sesat. Al-Quran harus dipahami berdasarkan keterangan Qur’an sendiri, keterangan Rasul dan praktik sahabat. Apa yang disebarluaskan group Amaniyun, tidak satupun menyebutkan praktik rasul tentang ayat itu, kecuali membawa qaul ulama.
Ibnu Abbas mengingatkan agar orang tidak mengambil omongan ulama dengan meninggalkan ketetapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seperti kisah di bawah ini:
Kata Ibnu Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan haji Tamattu’ tetapi Urwah bin Zubair mengatakan Abu Bakar dan Umar melarang melakukan haji Tamattu’. Lalu Ibnu Abbas menjawab: Apa kata Urwah? Orang itu berkata: Abu Bakar dan Umar melarang melakukan haji Tamattu’. Lalu Ibnu Abbas berkata:
أَرَاهُمْ سَيَهْلِكُونَ ، أَقُولُ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَيَقُولُ : نَهَى أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ .
“Orang-orang itu akan binasa. Aku mengatakan Nabi berbuat demikian, tetapi dia mengatakan Abu Bakar dan Umar melarang yang demikian itu.” [HR. Ahmad, 5/228]
Maksud Ibnu Abbas, menentang atau menolak perbuatan Nabi dengan berdalih pada pendapat Abu Bakar atau Umar adalah perbuatan yang menghancurkan Islam. Oleh karena itu, siapapun tidak boleh berpendapat atau berbuat sesuatu yang menyalahi Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam hal mengkafirkan seorang Muslim, tidak pernah dilakukan oleh Nabi ataupun sahabat kecuali Muslim yang bersangkutan jelas-jelas kafir kepada Islam seperti Musailamah Al-Kadzdzab.
Ibnul Qayyim menyatakan pada kitab Al-Qashidah An-Nuniyah, Al-Kafiyah Asy-Syafiyah fil Intishar lil Firqah An-Najiyah, 1/161:
اَلْكُفْرُ حَقُّ اللهِ ثُمَّ رَسُوْلِهِ *** بِالنَّصِّ يُثْبِتُ لاَ بِقَوْلِ فُلاَنِ
مَنْ كَانَ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ وَعَبْدُهُ *** قَدْ كَفَّرَاهُ فَذَاكَ ذُوْ الْكُفْرَانِ
Memvonis seseorang itu kafir hanyalah hak Allah kemudian Rasul-Nya,
dengan dalil yang pasti bukan berdasar perkataan fulan.
Barangsiapa yang sudah Allah dan RasulNya tetapkan kekafirannya, mereka itulah yang disebut kafir.
Yang tegas disebut kafir oleh Allah adalah kaum Yahudi, Nasrani dan kaum musyrik. Sedangkan orang yang masih mengakui dua kalimat syahadat, melakukan shalat, puasa, zakat dan haji tidak boleh kita vonis sebagai orang kafir.
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ (6)
“Orang-orang kafir dari kaum Yahudi, kaum Nasrani, dan kaum musyrik benar-benar akan masuk neraka Jahanam. Mereka kekal di dalamnya. Mereka adalah manusia yang paling jahat.” [Al-Bayyinah, 98: 6]
Rasulullah mengingatkan dengan keras kepada setiap muslim dengan sabdanya:
مَنْ قَالَ لأَخِيهِ يَا كَافِرُ ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا .
“Siapa yang memanggil sesama muslim: Wahai orang kafir, maka perkataan kafirnya itu bisa jadi mengenai lawannya atau kembali kepada dirinya.” [HR. Ahmad]
Khalifah ‘Umar bin Khaththab berkata:
إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِأَنَّهُمْ أَقْبَلُوْا عَلَى كُتُبِ عُلَمَائِهِمْ وَأَسَاقَفَتِهِمْ ، وَتَرَكُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيْلَ حَتَّى دُرِسَا وَذَهَبَ مَا فِيْهِمَا مِنَ الْعِلْمِ .
Wahai kaum muslim, hancurnya umat-umat sebelum kalian, karena mereka sibuk membaca kitab-kitab ulama dan pastur mereka, tetapi meninggalkan Taurat dan Injil, sehingga ilmu yang ada pada kedua Kitab ini lenyap. [HR. Abu Nashr]
Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan berkata:
لَاتَتْرُكُوا الْقُرْآنَ وَتَأْخُذُوْا أَقْوَالَ الْعُلَمَاءِ ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِأَخْذِهِمْ أَقْوَالَ أَسَاقَفَتِهِمْ وَتَرْكِهِمْ كِتَابَ اللهِ .
Wahai kaum muslim, janganlah kalian tinggalkan Al-Qur’an, lalu kalian ikuti omongan-omongan ulama. Karena hancurnya umat-umat beragama sebelum kalian disebabkan mereka mengikuti omongan para pendeta mereka dan meninggalkan Kitabullah.
Sikap apriori dan buruk sangka yang selama ini membelenggu pemahaman kelompok takfiriyun Aman Abdurrahman, berangkat dari berfikir safsathah, yaitu memanipulasi dalil-dalil agama, membungkus kebathilan dengan Al-Qur’an dan Hadits disesuaikan dengan seleranya sendiri.
Semoga ujian penjara, dengan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala dapat mendewasakan dan meningkatkan kualitas pemahaman mereka, sehingga tidak gampang mengadili dan memvonis saudara Muslim berdasarkan ilusi dan persepsi sendiri. Energi keshalihan setiap Mujahid mestinya disinergikan untuk melawan musuh Islam, bukan mencari sensasi dengan mengorek aib orang lain, membantah pemikiran yang berbeda dan hanya membenarkan paham sendiri.
Wallahu a’lam bis shawab…
Jogjakarta, 12 September 2013
(Ukasyah/majelismujahidin.com/arrahmah.com)