Oleh : Abu Fikri (Aktivis Gerakan Revivalis Indonesia)
(Arrahmah.com) – Menarik mencermati berita dirilisnya dua “teroris” oleh Departemen Keuangan AS menjelang diselenggarakannya forum APEC di Bali. Sebelumnya 5 bulan yang lalu digelar forum Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) tanggal 7-19 April 2013 di Hotel JW Marriot dan Sheraton Surabaya yang dihadiri kurang lebih delegasi 21 negara. Pada forum itu Indonesia didaulat sebagai tuan rumah dan dianggap negara paling sukses menjalankan proyek “war on terrorism” dengan strategi soft powernya (deradikalisasi ala BNPT). Di tengah menonjolnya pendekatan militer oleh berbagai negara yang lain. Meski pernyataan itu sebenarnya sarat dengan nuansa klise diplomatis. Terbukti faktanya justru Densus 88 sebagai organ tunggal terdepan “war on terrorisme” banyak melakukan “ekstra judicial killing” dan “ekstra judicial action”. Dan di tengah serentetan kasus yang diklaim sebagai kasus “terorisme” mulai dari kasus Tulungagung, bom “Ekayana”, penembakan polisi di Pondok Aren, dan rentetan beberapa kasus penembakan polisi.
Dan menjelang berakhirnya pagelaran kontes Miss World 2013 sampai dengan tanggal 28 September 2013. Yang berhasil berjalan lancar meski terdapat pernik-pernik aksi-aksi protes massa oleh berbagai elemen umat termasuk ormas-ormas Islam seperti FPI, FUI, MMI, HTI dll yang belum mampu membuat jera Obama datang lagi ke Bali-Indonesia. Sebagaimana diketahui, sekitar tanggal 5-8 Oktober 2013, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Pacific Economic Coorporation (APEC Summit) akan digelar di Kawasan semenanjung Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali. Rencananya, Obama juga akan hadir.
Rilis oleh Obama melalui Departemen Keuangan Amerika Serikat (US Department Of The Treasury) terhadap dua nama yang diklaim sebagai “teroris” dari Indonesia, penuh dengan “rekayasa”. Dua nama itu adalah Ustadz Said Ahmad Sungkar dan Ustadz Afif Abdul Madjid. Release itu seolah-olah menjadi signal “rekayasa” bagi agen-agen AS di Indonesia di antaranya Densus 88 dan BNPT untuk memastikan jaminan keamanan kedatangan Obama di Bali pada Oktober bulan depan.
Situasi Ekonomi Global
Kemunculan APEC didorong oleh kondisi krisis dan kemandekan ekonomi yang terjadi di Amerika dan Eropa yang merembet juga akhirnya ke kawasan Asia Pasifik secara bertubi-tubi. Krisis yang terjadi tahun 1950an, baru terulang kembali pada tahun 1970-1980an. Berlanjut krisis yang terjadi pada tahun 2000, kemudian disusul oleh beberapa krisis di tahun 2004 dan 2008. Meski pada awalnya negara-negara berkembang yang sebagian besar terletak di kawasan Asia Pasifik menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil dengan populasi kelas menengah yang besar terus bertambah. Situasi penuh krisis berbagai negara itu kemudian didefinisikan sebagai :”The Great Uncertainty” di mana negara-negara di dunia semakin terhubung, sumber daya alam semakin mahal dan langka serta peran pemerintah yang semakin besar dalam pengelolaan pasar.
Untuk itu, kerja sama yang solid dalam suatu kawasan menjadi sangat penting dalam mempertahankan pertumbuhan ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat di negara-negara dalam kawasan tersebut. Inilah klaim alasan yang digunakan oleh negara-negara Amerika dan Eropa mendorong perlunya dibentuk forum negara-negara kawasan termasuk di Asia Pasifik. Tanpa mencoba mengkritisi bahwa sesungguhnya forum APEC adalah sebuah upaya membentuk dan menciptakan ketergantungan ekonomi yang berimplikasi ketergantungan secara politik negara-negara berkembang terutama di kawasan Asia Pasifik kepada negara-negara penjajah (kafir muharriban fi’lan). Selain ketergantungan ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang diklaim terus meningkat pada faktanya tidak serta merta meningkatkan tingkat kemakmuran masyarakat. Tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi hanyalah bentuk euforia kemakmuran semu untuk menutupi jurang kesenjangan antara si kaya dan si miskin yang sangat tajam. Menutupi jumlah kemiskinan yang relatif besar. Menutupi jumlah pengangguran yang tinggi. Menutupi kebobrokan sosial budaya buah implikasi kehidupan ekonomi yang konsumtif dan hedonis. Menutupi liberalisasi kehidupan politik pragmatis yang penuh dengan permainan “politik uang”.
APEC Alat Hegemoni Kapitalis
APEC yang diharapkan menjadi garda terdepan pertumbuhan ekonomi sesungguhnya mengindikasikan sebuah permainan dengan harapan kosong. Karena logika pertumbuhan ekonomi tidak relevan dengan tingkat kemakmuran masyarakat. Meski sebagaimana yang digembor-gemborkan bahwa kekuatan Indonesia sebagai ekonomi terbesar ke-16 di dunia yang didukung oleh 45 juta orang dari kelas menengah, di mana 53% populasinya terdapat di kota yang dapat berkontribusi terhadap 74% GDP nasional. Selain itu, Indonesia memiliki 55 juta tenaga kerja terampil yang mampu menciptakan kesempatan sebesar US$0,5 triliun untuk pasar konsumen, pertanian, perikanan dan pendidikan.
Akan tetapi kenyataannya penuh dengan ironis antara lain :
Pertama, Tingkat kemiskinan pada 2014 diperkirakan sekitar sembilan hingga 11 persen. Tingginya tingkat kemiskinan karena tingginya inflasi dibanding dengan pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Armida S Alisjahbana di Jakarta, Senin (16/9/2013). Tingginya tingkat kemiskinan itu masih jauh dengan target angka kemiskinan MDGs (The Millineum Development Goals) yang dicanangkan pemerintah RI di bawah 7,55 persen. Angka kemiskinan secara nasional versi Badan Pusat Statistik (BPS) yakni jika biaya pengeluaran seseorang mencapai Rp 259.520 di tahun 2012. Prosentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional yakni 15,10 persen di tahun 1990 dan 12,49 persen di tahun 2011. Jika biaya pengeluaran seseorang dirubah mengikuti standart World Bank sekitar Rp 500.000,- maka jumlah penduduk miskin menjadi sekitar 100 juta orang.
Kedua, sementara terkait dengan angka kelaparan, tingkat konsumsi yang mencapai minimum yakni 1.400 kilo kalori per kapita per hari pada tahun 1990 atau 17 persen, dan tahun 2011 yakni 14,65 persen, masih jauh dari target MDGs 8,50 persen tahun 2015.
Ketiga, rekomendasi ABAC (APEC Business Advisory Council) terhadap Indonesia sebagai tuan rumah sekaligus sebagai pemimpin APEC menjelang pertemuan APEC di Bali bulan depan antara lain : terciptanya stabilitas politik, perluasan tingkat pendidikan bagi masyarakat, kepastian hukum, dan pembangunan infrastruktur. Rekomendasi tersebut penuh dengan tujuan politis terselubung. Karena seluruh konten rekomendasi ABAC berorientasi pada tetap menjadikan Indonesia sebagai daerah pasar dengan jumlah penduduk yang besar sekitar 240 juta. Tetap menjadikan Indonesia sebagai negara yang harus tunduk pada komitment perjanjian perdagangan internasional versi WTO (World Trade Organization).
Rekomendasi ABAC, legitimasi intervensi
Dengan mengusung tema besar “Towards Resilience and Growth: Reshaping Priorities for Global Economy”, Indonesia didaulat sebagai tuan rumah dan ketua APEC. Ini adalah bentuk pengukuhan Indonesia sebagai pintu masuk intervensi politis dan ekonomi oleh negara-negara maju yang notabene “kafir muharriban fi’lan”. Bentuk intervensi itu nampak pada pandangan yang akan disampaikan oleh ABAC di forum APEC bulan depan antara lain :
Pertama, rekomendasi perlu diciptakannya pandangan tentang rantai nilai global (global value chain) sehingga mendorong negara tertentu sebagai competitive advantage merupakan bentuk kooptasi dan dominasi oleh negara-negara kafir muharriban fi’lan. Dimana pada faktanya negara-negara berkembang termasuk Indonesia berada dalam posisi kalah secara politis, ekonomi, sosial budaya dan lain-lain akibat dari penerapan ideologi membebek “kapitalis sekuleris”.
Kedua, rekomendasi agar APEC menitik tekankan kepada jasa pada sektor bisnis dengan klaim menurut WTO bahwa 50 persen yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah jasa penuh dengan manuver politis. Artinya Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar cukup potensial sebagai daerah pasar. Potitioning ini yang akan semakin dikokohkan. Sementara negara-negara maju yang notabene “kafir muharriban fi’lan” tetap kuat sebagai negara-negara produsen.
Ketiga, rekomendasi agar negara-negara APEC secara masif memasukkan Foreign
Direct Investment/FDI yang diasumsikan agar meningkatkan tingkat serap sumber daya manusia bertujuan semakin tergantungnya Indonesia melalui pintu investasi-investasi asing.
Keempat, rekomendasi ABAC agar APEC merevitalisasi sistem perdagangan multilateral melalui WTO yang dianggap forum penting dalam mendukung perdagangan regional dan global. Terutama sukses penyelenggaraan forum WTO ke 9 ke depan di Bali untuk memuluskan perjanjian Doha adalah wujud bagaimana Indonesia dirancang dikendalikan melalui tangan-tangan organisasi internasional. Yakni melalui kebijakan-kebijakan tarif.
Sebagian dari beberapa rekomendasi ABAC kepada APEC cukup menggambarkan bagaimana penjajahan ekonomi dilakukan. Modus penjajahan ekonomi selalu berbarengan dengan intervensi politis seperti klaim terjadinya terorisme di berbagai negeri muslim. Ini yang selalu dilakukan oleh kafir muharriban fi’lan dalam rangka menjalankan penjajahannya di berbagai negeri muslim termasuk Indonesia. Perlu kita renungkan apa yang disampaikan oleh Allah Subhanahu Wa Taalla QS. Al-Maa-idah : 80-81 :
“Wahai Muhammad, kamu akan melihat sebagian besar kaum Yahudi dan Nasrani menjadikan orang-orang kafir sebagai panutan mereka. Amat buruk perbuatan yang telah mereka lakukan. Karena itu Allah murka kepada kaum Yahudi dan Nasrani. Di akhirat kelak mereka kekal di dalam adzab Allah di neraka. Wahai kaum mukmin, jika kaum Yahudi dan Nasrani mau beriman kepada Allah dan kepada Muhammad serta kepada Al-Quran yang diturunkan kepadanya, maka kalian boleh menjadikan mereka sebagai teman kepercayaan. Akan tetapi ternyata sebagian besar kaum Yahudi dan Nasrani durhaka kepada Allah.” Wallahu a’lam bis shawab.
(azmuttaqin/arrahmah.com)