Ahlussunnah memiliki kitab yang seluruh isinya shahih, namun kata ulama syi’ah bahwa syi’ah tidak memiliki kitab yang seluruh isinya shahih. Mengapa ulama syi’ah mengatakan demikian?
Saat anda menanyakan pada ulama (beberapa tingkat di atas ustadz) syi’ah tentang beberapa pertanyaan yang tidak ada jawabannya dalam mazhab syi’ah, seperti tentang hubungan kasih sayang dan tolong menolong yang terjalin erat antara sahabat dan keluarga Nabi, juga seperti hal-hal yang tidak masuk di akal sehat manusia, juga kontradiksi yang ada dalam mazhab syi’ah yang tidak pernah bisa diselesaikan, dan hal-hal lain yang tidak masuk akal namun tercantum dalam kitab-kitab mereka, mereka sudah memiliki jawaban yang siap pakai –instan-yang hanya menggambarkan kelemahan dan ketidak jelasan, bahkan lebih jauh lagi, jawaban mereka ini adalah aib bagi mazhab yang katanya berasal dari langit –dari ahlul bait, dari Nabi lalu dari Allah-, apa jawaban mereka? yaitu : dalam mazhab syi’ah tidak ada kitab hadits yang seluruh isinya shahih. Apakah jawaban ini benar adanya? Apa saja konsekuensi-konsekuensi yang timbul dari jawaban seperti ini? Atau jawaban ini tidak benar adanya dan hanya mereka katakan untuk sekedar menipu dan lari dari pertanyaan yang tidak bisa mereka jawab, dan untuk sekedar menutup mata dari kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam mazhab syi’ah
Jika memang pernyataan ini benar adanya, bahwa tdak ada kitab yang isinya seluruh hadits shahih, lalu ke mana validitas ulama mazhab syiah, masa ulamanya tidak bisa mengumpulkan hadits shahih dan menulisnya dalam satu buku, yang memuat ajaran yang benar dan bisa menjadi pegangan untuk diikuti manusia, bagaimana nanti di hari kiamat ketika ditanya mengapa tidak mengikuti ajaran yang benar, maka orang akan menjawab bagaimana kita bisa tahu ajaran yang benar wong kita saja tidak bisa tahu mana hadits shahih dan mana yang tidak karena tidak ada kitab yang berisi kebenaran.
Kita bertanya pada ulama syiah, apa sih susahnya mengumpulkan hadits yang sesuai dengan kriteria shahih dan menuliskannya dalam sebuah buku? Atau ulama syiah hanya ingin mengambangkan persoalan sehingga mazhab syi’ah tidak bisa digugat? Tetapi ini hanya membuat orang tidak mengerti ajaran keluarga Nabi yang sebenarnya, karena tidak bisa membedakan mana ajaran keluarga Nabi yang valid dan tidak valid. Sehingga jika kita bertanya pada ustadz syi’ah hari ini tentang buku apa yang harus dipelajari untuk mengenal mazhab syi’ah maka tidak akan ada jawaban tentang buku yang seluruh isinya merepresentasikan mazhab ini. Atau jangan –jangan memang tidak ada kriteria hadits shahih menurut ulama syi’ah? Apakah mazhab yang tidak bisa menuliskan ajarannya sendiri perlu untuk diikuti?
Dengan menyatakan bahwa mereka tidak memiliki kitab yang seluruh isinya shahih berarti ustadz dan ulama syi’ah mengakui bahwa mereka tidak memiliki pengetahuan tentang sanad dan perawi hadits, karena itulah mereka tidak bisa memutuskan status sebuah hadits yang konon berasal dari keluarga Nabi. Dalam kehidupan sehari-hari kita mengecek kebenaran sebuah berita dari siapa yang membawa berita tersebut, dengan mengetahui kualitas si pembawa berita kita bisa mengambil kesimpulan mengenai berita itu, tetapi di sini ulama syi’ah tidak memiliki pengetahuan tetang perawi yang meriwayatkan dari keluarga Nabi sendiri, maka tidak bisa memutuskan apakah hadits ini shahih atau tidak karena tidak bisa menilai perawinya. sedangkan penilaian terhadap perawi harus memiliki kriteria dan bukan asal bunyi.
Memang kenyataan ini pahit tetapi tidak bisa dihindari oleh syi’ah sendiri, ini diakui oleh ulama mereka, di antaranya adalah Muhammad bin Hasan Al Hurr Al Amili penulis kitab Wasa’il Syi’ah –salah satu dari delapan literatur utama hadits syi’ah-, yang menyatakan dalam kitab wasa’il syi’ah jilid 30 hal 260 : hadits shahih adalah yang diriwayatkan oleh seorang penganut imamiyah yang adil dan kuat hapalannya di seluruh tingkatan periwayatan, lalu dia menyatakan: jika kriteria ini diberlakukan maka seluruh hadits syi’ah tidak ada yang shahih karena ulama syi’ah jarang sekali menyatakan status keadilan seorang perawi, mereka jarang sekali menyatakan status keadilan seorang rawi, mereka hanya menyaatakan status tawthiq (terpercaya) bagi seorang rawi, yang sama sekali tidak berarti perawi itu adil. alu Al Amili menyatakan lagi: bagaimana bisa dianggap adil padahal mereka menyatakan dengan jelas bahwa perawi itu tidak bisa dianggal adil, karena mereka menganggap perawi yang dianggap kafir dan fasiq sebagai perawi terpercaya.
Ini adalah testimoni dari seorang ulama besar syi’ah yang diakui otoritasnya, bahwa syi’ah tidak memiliki pengetahuan tentang sanad dan perawi hadits. Sekarang tinggal kita yang memilih sumber yang kita percaya, sumber yang memiliki otoritas atau sumber lain yang baru masuk syiah 25 tahun yang lalu.
Terkadang ada seorang perawi yang dianggap tsiqah[terpercaya] oleh syi’ah dan diterima periwayatannya, tetapi di tempat lain tertulis bahwa perawi yang dianggap terpercaya tadi adalah seorang yang zindiq dan harus ditolak riwayatnya, ini adalah salah satu contoh dari kebingungan syi’ah tentang sanad hadits, maka jangan heran ketika kita mendengar mereka mengatakan: kami tidak memiliki kitab hadits yang seluruh isinya shahih, karena sebenarnya mereka tidak bisa menemukan hadits shahih dalam kitab mereka sendiri.
Ketika ulama syi’ah [berikut kroconya] menyatakan hal ini [tidak ada kitab shahih di syiah] sebenarnya mereka sedang membongkar aib mereka sendiri, karena pernyataan itu sekedar bentuk pelarian dari hal-hal yang harus mereka terima, yang mereka sendiri kebingungan untuk menjawabnya, atau untuk lari dari hal-hal yang tidak mungkin diterima oleh syareat Islam, karena memang tidak bisa diterima oleh akal sehat, juga untuk lari dari kontradiksi yang memang tidak bisa lagi disinkronkan, seperti perbedaan yang ada di kalangan syi’ah mengenai orisinalitas Al Qur’an, yang mana keyakinan yang ada pada syi’ah sejak awal [seperti kata kitab syi’ah sendiri] adalah Al Qur’an yang ada saat ini sudah tidak asli lagi, alias sudah dirubah. Hal ini menjadi kesepakatan seluruh syi’ah sampai muncul ulama syi’ah yang menentang hal itu yaitu As Shaduq yang wafat tahun 381 H. Ketika ada teman anda yang syi’ah menyangkal bahwa syi’ah meyakini perubahan Al Qur’an, silahkan anda tanya : tolong sebutkan ulama yang mengingkari adanya perubahan Al Qur’an sebelum As Shaduq, dia tidak akan bisa menjawab, karena memang mazhab syi’ah benar-benar meyakin hal pendapat perubahan Al Qur’an. Hal ini juga nampak dari bantahan ulama syi’ah yang meyakini perubahan Al Qur’an, yang mana mereka mengatakan bahwa ulama yang mengingkari perubahan Al Qur’an hanyalah sekedar bertaqiyah agar mazhab syi’ah tidak dihujat, karena hal itu menyelisihi kesepakatan ulama syi’ah yang mendasarkan pada riwayat mutawatir dari keluarga Nabi bahwa Al Qur’an telah diubah.
Ada lagi contoh lain dari kontradiksi yang ada pada mazhab syi’ah, yaitu mereka mengatakan bahwa syi’ah hanya mengambil ajaran agama dari para imam keluarga Nabi yang maksum, tetapi anda akan tertawa terbahak-bahak saat anda tahu bahwa mereka menerima riwayat terkait imam Mahdi dari seseorang yang bernama Utsman Al Umari, seorang penjual minyak samin yang sudah tentu bukan maksum, bagaimana syi’ah bisa percaya dalam masalah yang termasuk ushuluddin [ajaran pokok agama]. Ini adalah sebuah kontradiksi yang tidak dapat dijawab, untuk lari dari kontradiksi seperti ini ulama syi’ah terpaksa mengatakan bahwa syi’ah tidak memiliki kitab yang seluruh isinya shahih.
Ulama syi’ah mengatakan demikian untuk membuat orang awam syi’ah tidak lagi mempersoalkan hal-hal yang membuat mereka bingung, dan agar ulama syi’ah dapat menghalangi syi’ah yang awam dari menggunakan akal untuk berpikir seperti yang diperintahkan oleh Allah, namun ulama syi’ah tidak ingin pengikutnya berpikir sehat, hanya diperintahkan untuk mendengar dan taat, menutup mata agar tidak dapat melihat, karena kamu harus tidak melihat, jangan pikirkan hal itu, karena syi’ah tidak memiliki kitab hadits yang seluruh isinya shahih.
[bersambung…. ]
sumber: Hakekat