(Arrahmah.com) – Bima, sebuah wilayah paling timur dari pulau Sumbawa seolah menjadi fenomenal dalam beberapa tahun terakhir., bahkan media menyebutnya sebagai zona merah terorisme. Tidak luput perhatian dari anggota DPR Pusat dalam rapat dengan pendapat tentang RUU Anti Terorisme, Bima menjadi salah satu daerah yang dikunjungi selain Solo dan Poso.
Dimulai pada kasus penangkapan seorang pengumpul dana untuk pelatihan perang di Aceh Besar, penusukan seorang anggota polisi yang sedang piket, penggerebekan tersangka ‘teroris’ di Pesantren Umar Bin Khattab, penembakan di Dompu, Penangkapan buronan teroris Aceh Jantho, Penembakan terduga teroris di Desa Penatoi, penangkapan Iskandar di Desa Penatoi, bahkan kematian Santoso pun masih dikaitkan dengan Bima karena istrinya juga orang Bima.
Sederet kasus terorisme di atas seolah membenarkana bahwa Bima adalah daerah persemaian teroris. Terlepas dari benar tidaknya kasus-kasus diatas, karena selama kasus terorisme ini bergulir yang ada selalu narasi tunggal dari aparat keamanan. Sementara para terduga terorisme selalu ditembak mati tanpa ampun. Yang terutama adalah definisi terorisme itu sendiri. Selama hal ini tidak sepekat, maka kasus terorisme seolah hanya menjadi stigma penguasa untuk kepentingan mereka.
Tidak ada kesepakatan global tentang definisi terorisme. Sehingga kasus-kasus terorisme yang ada selama ini selalu menjadikan standar Amerika sebagai standar definisi terorisme. tentang apa dan siapa yang dianggap sebagai kelompok teroris. Dari daftar kelompok terorisme yang dirilis oleh AS seluruhnya adalah gerakan dan kelompok Islam. Sehingga kita memaknai hakikat war on terorisme adalah war on islam. Dari seluruh ide yang dianggap sebagai ide radikal yang akan mengantarkan kepada aksi terorisme adalah ide-ide islam. Semisal jihad, syariah islam, khilafah, fai’, syahid dan thagut. Bahkan tidak jarang dalam penggerebekan terduga terorisme menjadikan al quran, buku-buku islam, kitab tafsir dan bendera tauhid sebagai barang bukti aksi terorisme.
Maka di lapangan kita akan mendapatkan bahwa pelaku tindak terorisme selalu orang Islam. Meski dengan kekerasan dan kerusakan yang sama, pihak –pihak di luar islam tidak akan di cap sebagai terorisme. Masih lekat dalam ingatan kita bagaimana kasus Tolikara dianggap sebagai criminal biasa dan tidak dianggap sebagai tindak terorisme, juga Bom alam sutera Tangerang juga tidak masuk dalam pidana terorisme.
Dalam seminar dan diskusi yang diikuti penulis, didapati bahwa para tokoh dan ulama di Bima menyangsikan bahwa bima adalah sarang teroris. Jika benar adanya maka seharusnya akan ada banyak kasus peladakan gereja, pembunuhan orang Kristen atau lainnya, bahkan mungkin ada semacam pengusiran secara massive kepada pihak non muslim. Akan tetapi faktanya tidak ada, maka sebenarnya tidak ada teroris di Bima. Kecuali memang ada stigmatisasi Bima sarang teroris. Baik oleh media maupun dari pemerintah.
Muhammad Ayyubi ( DPD HTI Bima )
(*/arrahmah.com)