KIEV (Arrahmah.id) — Sudah lebih satu bulan invasi Rusia, Ukraina sejauh ini telah menjungkirbalikkan perkiraan. Walaupun kalah jumlah di hampir setiap sisi – tank, pasukan, pesawat terbang – pasukan Ukraina yang dibantu para warga relawan telah menahan militer Rusia di banyak tempat.
Ukraina memang sudah kehilangan wilayah, terutama di bagian selatan sekitar Krimea, yang sudah diduduki dan dianeksasi Rusia pada 2014. Tetapi tujuan awal Moskow untuk dengan cepat merebut Ibu Kota Kyiv dan kota-kota besar lainnya, serta memaksa pemerintah Ukraina untuk mengundurkan diri, jelas telah gagal.
Gelombang peperangan memang masih bisa berbalik melawan Ukraina. Pasukannya kian kekurangan rudal anti-tank dan anti-pesawat yang dipasok Barat untuk menghalau pergerakan pasukan Rusia.
Banyak pasukan reguler Ukraina yang paling berpengalaman di timur negara itu berisiko dikepung, diisolasi, dan dimusnahkan. Dan dengan seperempat penduduk negara itu telah mengungsi, mereka yang tinggal bisa jadi akan menyaksikan kota-kota mereka diubah menjadi gurun distopia oleh gempuran artileri dan tembakan roket tanpa henti Rusia.
Namun terlepas dari faktor-faktor tersebut, pasukan Ukraina sudah mengungguli Rusia dalam perang ini di sejumlah faktor. Pekan ini juru bicara Departemen Pertahanan AS, John Kirby, mengatakan bahwa militer Ukraina mempertahankan daerah-daerah di negara mereka dengan “sangat cerdas, sangat gesit, sangat kreatif”.
Jadi apa sebenarnya rahasia kesuksesan mereka? Berikut beberapa alasannya, seperti lansir BBC (25/3/2022);
1. Semangat juang tinggi
Ada perbedaan besar dalam semangat juang antara kedua pasukan. Ukraina berjuang untuk kelangsungan hidup negara mereka sebagai negara berdaulat, sembari terkejut dengan pernyataan Putin bahwa Ukraina pada dasarnya hanyalah ciptaan Rusia.
Rakyat Ukraina mendukung pemerintah dan presiden mereka. Karena itu, warga yang tidak berpengalaman militer pun siap mengangkat senjata untuk mempertahankan kota-kota mereka meskipun harus menghadapi persenjataan Rusia yang luar biasa.
“Beginilah cara orang berjuang untuk eksistensi mereka,” kata Tom Foulkes, eks-perwira Angkatan Darat Inggris di Jerman selama masa Dingin. “Ini adalah cara mereka membela tanah air dan keluarga mereka. Keberanian mereka mengejutkan sekaligus luar biasa.”
Dalam praktiknya, perlawanan warga telah membuat pasukan Ukraina leluasa bertempur di garis depan, setelah mengetahui kota-kota mereka memiliki pertahanan yang bisa diandalkan.
Sebaliknya, banyak tentara Rusia yang dikirim untuk berperang di Ukraina adalah wajib militer yang baru saja lulus dari sekolah. Mereka kebingungan dan kewalahan ketika mendapati diri mereka di zona perang padahal mereka mengira hanya akan menjalani latihan.
Sebagian besar tentara Rusia hanya sedikit atau tidak sama sekali mempersiapkan diri untuk keganasan pertempuran yang mereka temui di medan perang. Ada beberapa laporan tentang desersi, kekurangan makanan, dan penjarahan.
2. Komando dan kontrol
Ekspektasi di awal perang tentang serangan siber Rusia yang melumpuhkan komunikasi Ukraina tidak terjadi. Sebaliknya, Ukraina entah bagaimana berhasil mempertahankan koordinasi yang efektif antar-medan perang, bahkan di tempat mereka kalah.
Pemerintah Ukraina tetap di Kyiv dan sangat terlihat, dengan bahkan wakil perdana menterinya mengenakan kaus model khaki saat berbicara kepada rakyat dengan latar lambang pemerintah.
Sebaliknya, tentara Rusia tampaknya tidak punya kepemimpinan yang terpadu, dengan sedikit koordinasi antara medan-medan perang yang terpisah.
Ini kemungkinan besar berdampak negatif pada semangat juang pasukan Rusia. Banyak orang bilang laporan kematian atas setidaknya lima jenderal Rusia sebagian akibat mereka harus mendekati medan pertempuran untuk menggerakkan pasukannya supaya tidak mandek.
Pada tentara golongan bintara, yaitu kopral dan sersan, doktrin militer Rusia hampir sama sekali tidak memungkinkan adanya inisiatif, dengan jajaran bawah selalu menunggu perintah dari atas.
Profesor Michael Clarke, seorang pakar militer di King’s College London, mengatakan bintara Rusia dilanda korupsi dan inefisiensi dan sangat tidak populer di antara pasukan mereka sendiri.
3. Taktik solid
Pasukan Ukraina sangat kalah jumlah namun mereka telah memanfaatkan posisi dan senjata mereka jauh lebih baik daripada lawan mereka.
Sementara Rusia cenderung memusatkan pasukan mereka dalam barisan kendaraan lapis baja yang lambat dan berat, seringkali berkerumun berdekatan, Ukraina berhasil melakukan taktik tabrak lari yang dieksekusi dengan baik, menyelinap dan menembakkan rudal anti-tank, kemudian menghilang sebelum Rusia dapat membalas tembakan.
Sebelum invasi, pelatih militer NATO dari AS, Inggris, dan Kanada menghabiskan waktu lama di Ukraina, mengajarkan pasukannya taktik-taktik terbaru perang defensif dan cara-cara memanfaatkan sistem rudal canggih seperti Javelin atau senjata anti-tank NLAW yang dirancang Swedia, atau versi terbaru dari rudal anti-pesawat Stinger.
“Ukraina menggunakan taktik yang sangat efektif,” katanya, termasuk menyasar titik-titik lemah Rusia seperti konvoi pasokan, menggunakan sistem senjata yang dipasok NATO secara efektif terhadap target presisi dan berimprovisasi bila diperlukan.
Meskipun sulit untuk mendapatkan gambaran akurat tentang jumlah korban jiwa, bahkan perkiraan konservatif dari Pentagon menyatakan kematian di pihak Rusia sudah mencapai lebih dari 7000 orang. Itu hampir setengah dari jumlah pasukan Uni Soviet yang mati dalam sepuluh tahun pertempuran di Afghanistan, dan ini baru satu bulan perang.
Tom Foulkes juga punya penjelasan mengapa begitu banyak jenderal Rusia terbunuh di garis depan: “Ini terdengar bagi saya seperti operasi penembak jitu yang terencana dan sangat sukses, yang dapat mengikis struktur komando Rusia.”
4. Perang Informasi
Dan kemudian ada perang informasi, yang dimenangkan telak oleh Ukraina di hampir seluruh dunia – meskipun tidak di Rusia, tempat Kremlin masih mengontrol akses ke sebagian besar media.
“Ukraina telah memobilisasi bidang informasi untuk keuntungan domestik dan internasional yang luar biasa,” kata Justin Crump. “Ini datang dari atas ke bawah, dibantu oleh kelihaian (Presiden) Zelensky menggunakan media.”
Pendapat senada diutarakan Dr Ruth Deyermond, dosen senior dalam studi pasca-Soviet di Kings College London. “Jelas bahwa pemerintah Ukraina sudah sangat berhasil mengendalikan narasi tentang perang secara luas di seluruh dunia,” katanya. “Efek konflik ini pada reputasi internasional Ukraina benar-benar luar biasa.”
Tapi saat ini, baru satu bulan dalam perjuangan hidup dan mati di zona konflik timur Eropa itu mungkin masih belum cukup untuk menyelamatkan Ukraina.
Kekuatan jumlah tentara Rusia, dengan segala kekurangannya, tetap tidak menguntungkan Ukraina. Jika pasokan sistem senjata defensif dari Barat itu tidak berlanjut, maka negara yang terkepung ini tidak akan bisa bertahan lama. (hanoum/arrahmah.id)