DAMASKU (Arrahmah.com) – Pada Rabu (30/9/2015) Presiden Rusia Vladimir Putin semakin memperlihatkan dukungannya kepada Bashar Asad. Militernya, yang sudah terlibat sejak awal 2013 meskipun dalam perannya sebagai pemasok senjata dan penasihat, telah meluncurkan kampanye pengeboman pertama di Suriah. Seperti rekan Amerika-nya Barak Obama, Putin menyatakan bahwa militer Rusia berada di Suriah untuk memerangi ISIS.
Jurnalis Bilal Abdul Kareem memberikan penjelasan mengenai 3 hal yang harus dipelajari dari sepak terjang Putin di Suriah pekan ini:
1. Putin, seperti halnya yang lain, tidak memiliki kepentingan nyata dalam memerangi ISIS. Rusia telah menggunakan kartu ISIS untuk memberikan legitimasi terhadap dirinya untuk bisa memasuki konflik Suriah secara militer, seperti halnya yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat, Perancis, dan lain-lain.
Memang ISIS telah mengambil kota gurun Palmyra pada bulan Mei tahun ini, namun selain itu momentum ISIS telah melambat untuk sebagian besar tahun ini. Alasan yang diberikan oleh mereka di Moskow tidak dijumpai di Mosul dan Raqqa.
“Bukti saya adalah pengeboman yang dilancarkan oleh Rusia sejauh ini secara resmi berjumlah sekitar 12 serangan. Hanya satu dari pengeboman itu yang mengenai kubu ISIS di Raqqa dan itupun di wilayah pedesaan, di pinggiran provinsi,” ungkap Bilal.
Wilayah Jisr Shughour dan Jabal al-Zawiya bukanlah wilayah ISIS. Daerah ini diambil dari tangan pemerintah oleh Jaysh Al Fath pada bulan April tahun ini. Kelompok-kelompok yang terlibat di bawah bendera Jaysh Al Fath adalah sebagian besar orang-orang yang lahir dan besar di Suriah.
“Bagaimana bisa pengeboman wilayah Jisr Shughur dikatakan membantu memerangi ISIS ketika kelompok-kelompok yang terlibat adalah adalah musuh sengit ISIS?”.
Bahkan hal ini diakui bahwa kelompok perlawanan yang dilatih oleh AS juga menjadi target serangan udara Rusia.
Beberapa hari yang lalu, kota Taftanaz yang berada di pinggiran Kota Idlib dikabarkan terkena dampak bom Rusia. Beberapa warga mengatakan bahwa itu adalah rudal Rusia.
“Ketika saya mewawancarai warga, mereka menyebutkan bahwa jenis rudal yang melanda kota mereka itu tidak seperti rudal yang biasa mereka lihat digunakan oleh rezim Bashar Assad selama 4 tahun terakhir,” kata Bilal.
Oleh karena itu ada dua realitas yang terlihat jelas:
a. Keberadaan pasukan Putin di Suriah untuk memastikan bahwa Bashar Assad dan rezimnya tidak runtuh. Jika hal itu terjadi, maka itu berarti bahwa pangkalan militer tunggal Rusia yang berada di seluruh Timur Tengah akan terancam. Ini akan menjadi kemunduran besar bagi Moskow karena rivalnya AS bisa menikmati kenyamanan dengan kehadiran militer di Irak, Kuwait, Bahrain, Turki, Qatar, UEA, Arab Saudi, Israel, Yordania dan Mesir.
Putin tentu saja tidak bisa dengan terus terang menyatakan bahwa ia ingin “melebarkan sayapnya” dan menyebarkan pengaruhnya sehingga ia membutuhkan alasan politik yang benar untuk melakukannya. Alasan itu adalah: ISIS!
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Federica Mogherini mengatakan kepada Aljazeera:
“Yang sangat ditakutkan oleh Rusia adalah runtuhnya struktur negara di Suriah; ini yang bisa menjadi salah satu alasan Rusia, tetapi ini bisa juga menjadi keinginan Rusia untuk menunjukkan bahwa Rusia adalah pemain penting dan substansial,” kata Mogherini.
b. Kehancuran ISIS akan berarti kehancuran dari alasan Rusia untuk membangun kekuatan militer di Timur Tengah. Oleh karena itu Putin ingin agar kelompok Abu Bakar Baghdadi itu terus eksis dan mendominasi beberapa berita utama. Inilah sebabnya mengapa kita melihat dan akan tetap melihat bahwa sebagian besar pengeboman akan berfokus pada kelompok non-ISIS.
2. Media berita telah jatuh ke dalam pola pikir “Senjata Pemusnah Massal”. Ini berarti bahwa banyak dari apa yang dinyatakan di pemberitaan dalam beberapa pekan terakhir telah difokuskan hanya pada dua kelompok pertempuran di Suriah: Rezim Suriah vs ISIS. Ini adalah narasi yang sangat diinginkan oleh Washington, Moskow, Teheran, dan yang lainnya.
Narasi bahwa rakyat Suriah bisa memilih antara Bashar atau Baghdadi adalah salah satu alasan yang memberikan legitimasi kepada mereka untuk melakukan penyerangan di Suriah. Media tampaknya telah dibutakan dengan fakta di lapangan dan terus mengabaikan wilayah besar yang dikendalikan oleh kelompok pejuang Sunni.
3. Moskow berulang kali mengatakan bahwa tujuan mereka adalah untuk memerangi ISIS, akan tetapi proporsi serangan di wilayah yang dikuasai ISIS tampaknya menceritakan kisah yang berbeda. Tiga dari dua belas serangan yang diklaim oleh Rusia telah melanda kawasan yang dikendalikan oleh Jaysh Al Fath.
Langit kota Idlib Suriah dibisingkan oleh suara pesawat tak berawak. Apa yang sebenarnya sangat ditakutkan oleh Moskow adalah kelompok koalisi seperti Jaysh Al Fath. Jaysh Al Fath adalah koalisi dari kelompok Islam utama yang berjuang di bawah satu bendera yang dipimpin oleh Dr. Abdullah Muhaysini.
Kelompok-kelompok seperti ISIS adalah eksklusif. Ini berarti bahwa hanya “ummat Islam” versi mereka yang bisa bergabung. Ini akan mengesampingkan sebagian besar ummat Islam pada umumnya dan karena itu bisa menghambat potensi pertumbuhan mereka. Namun kelompok-kelompok Sunni seperti Jaysh Al Fath jauh lebih inklusif dan mereka muncul untuk beroperasi pada platform yang menyerukan kepada Muslim untuk mempraktekkan Islam menurut apa yang mereka fahami ketimbang harus memenggal kepala mereka. Jenis pendekatan ini telah menciptakan suasana kepercayaan di benak banyak orang Suriah pada umumnya, karena mereka telah lelah melihat kelompok-kelompok baru yang bemunculan setiap minggu.
Oleh karena itu, Putin tak akan melepas Suriah begitu saja, sejahat apapun rezim Asad. Rusia sangat menginginkan kelanggengan rezim Assad sebagai sekutu di kawasan itu untuk semakin memperkuat hegemoni Rusia di Timur Tengah.
(ameera/arrahmah.com)