GAZA (Arrahmah.id) – Para ahli dan analis sepakat bahwa petisi dari perwira cadangan Angkatan Udara ‘Israel’ mencerminkan perubahan sikap internal ‘Israel’ terhadap kelanjutan perang di Gaza, sekaligus menunjukkan retaknya konsensus yang sebelumnya terbentuk di awal perang.
Kepala Staf ‘Israel’, Eyal Zamir, pada Kamis (10/4/2025) mengesahkan keputusan untuk memecat sejumlah perwira senior dan sekitar seribu prajurit cadangan setelah mereka menandatangani surat yang menyerukan penghentian perang Gaza. Zamir menyebut tindakan ini sebagai “hal yang serius”.
Perubahan Sikap Internal
Menurut analis politik ‘Israel’ Yoav Stern, petisi yang ditandatangani sekitar seribu personel AU ‘Israel’ ini menandakan sudah waktunya untuk membuat kesepakatan pertukaran tahanan dengan Hamas.
“Semua orang di ‘Israel’ paham bahwa perang ini tidak ada gunanya, bahkan jika lebih banyak pemimpin Hamas yang dibunuh, karena ‘Israel’ sudah kehilangan hasil strategis,” ujarnya dalam program Track of Events.
Pakar urusan ‘Israel’, Muhannad Mustafa, sependapat dengan Stern. Dia menegaskan bahwa konsensus Oktober 2023 telah retak setelah gencatan senjata sementara, dan kini publik ‘Israel’ lebih memprioritaskan pembebasan tawanan mereka di Gaza.
“Ini bukan hal sepele bagi masyarakat ‘Israel’, melainkan menyangkut identitas negara dan hubungannya dengan warga,” jelas Mustafa.
Penolakan yang Meluas
Stern menyebut gelombang protes semakin meluas, termasuk petisi serupa yang sedang disiapkan di dinas intelijen ‘Israel’.
“Pemerintah hanya melanjutkan perang demi kepentingan politik sempit, tanpa tujuan strategis,” tambahnya.
Mustafa menambahkan, petisi ini muncul dalam konteks yang lebih luas: pemerintah ‘Israel’ memanfaatkan situasi perang untuk melakukan perubahan hukum dan konstitusional yang melemahkan lembaga politik dan memperkuat eksekutif.
Bukan Preseden Baru
Ketika ditanya apakah petisi ini merupakan preseden baru, Mustafa menjawab, “Tidak. Pada 2003, ada petisi serupa dari pilot AU ‘Israel’. Bedanya, saat itu hanya 27 pilot yang menandatangani, sedangkan sekarang 60 orang.”
Namun, dia menekankan bahwa petisi kali ini lebih bersifat politis dan menentang kebijakan pemerintah.
Pergeseran Sikap Barat
Mustafa menilai pembantaian di Gaza selama setahun terakhir telah meruntuhkan narasi ‘Israel’ tentang moralitas yang selama ini dipropagandakan ke dunia.
“Pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang akan mengakui negara Palestina pada Juni mendatang mencerminkan perubahan sikap Eropa terhadap kebijakan pendudukan ‘Israel’,” ujarnya.
Analis hubungan internasional, Hussam Shaker, menyebut langkah Macron sebagai respons atas tekanan publik Prancis yang menolak pembantaian dan melakukan demonstrasi rutin.
“Eropa mulai tidak nyaman dengan kebijakan ‘Israel’ yang ingin menghapuskan isu Palestina, yang sejalan dengan kebijakan Donald Trump,” jelas Shaker.
Dampak Pengakuan Palestina
Meski pengakuan negara Palestina tidak langsung mengubah situasi di lapangan, Mustafa menegaskan hal ini tetap mengganggu ‘Israel’ karena mengembalikan isu Palestina ke permukaan.
“Israel gencar menuduh negara-negara Eropa yang mengakui Palestina sebagai ‘anti-Semit’,” tambahnya.
Shaker meyakini Prancis bisa menghentikan perang di Gaza jika bersedia memberikan sanksi.
“Ketegangan Eropa-AS di era Trump mungkin memicu langkah berani Macron, yang sulit dilakukan jika Joe Biden masih berkuasa,” paparnya.
Hingga kini, 150 dari 193 anggota PBB telah mengakui Palestina, termasuk Irlandia, Spanyol, Norwegia, dan Slovenia pada Mei lalu. (zarahamala/arrahmah.id)