Oleh: Fajar Shadiq
(Arrahmah.com) – Jika media arus utama dan para pejabat nasional heboh dengan kabar terbunuhnya Santoso, bagi kebanyakan masyarakat Poso, kematian Amir Mujahidin Indonesia Timur itu pada Senin (18/07) lalu bukanlah kabar mengejutkan.
Tiga bulan lalu, saya sempat berkunjung ke wilayah Poso untuk melakukan peliputan. Saat itu, saya sempat diundang untuk makan malam oleh tokoh Poso sekaligus Deklarator Malino dari pihak umat Islam, H. Adnan Arsal. Saat saya tanya soal Santoso kepada Pak Haji, begitu ia akrab disapa, punya jawaban menarik.
“Menurut informasi yang saya dengar, sebenarnya Santoso saat ini sudah dikepung oleh tentara. Dia sudah tak bisa lari. Soal siapa yang menangkap, tergantung proses tawar-menawar di tingkat elit,” ujar Pak Haji.
Maka, masyarakat Poso sudah tak heran ketika Santoso berhasil ‘ditemukan’ dan ditembak mati hanya berselang enam hari sejak Kapolri baru menjabat. Soal Poso dan proyek terorisme memang bukan hal tabu bagi orang-orang yang pernah berkunjung ke Poso. Komnas HAM Siane Indriayani misalnya, pernah mengutarakan bahwa “Santoso adalah residu konflik agama di masa lalu. Ia bertransformasi dari eks-kombatan menjadi apa yang disebut sebagai teroris,” jelas dia.
Berdasarkan laporan yang masuk ke Komnas HAM, sebenarnya Santoso merupakan salahsatu penerima dana recovery kasus konflik Poso dari perwakilan pemuda. Namun, adik kandungnya menjadi korban tewas dalam aksi penangkapan dan penyiksaan brutal Densus 88 di Tanah Runtuh pada tahun 2007. Sejak saat itulah Santoso mulai menaruh dendam pada aparat, wabil khusus Densus 88.
Pribadi yang Hangat
Di Poso, Santoso memang pribadi yang supel dan hangat. Meski di media digambarkan sebagai sosok yang menyeramkan dan haus darah, tetapi begitu Anda berkunjung ke Poso dan mencari tahu siapa sebenarnya Santoso mungkin akan geleng-geleng kepala keheranan.
“Saya mengenalnya sebagai saudara seiman. Kami dulu pernah kerjasama jual buku. Dialah orang yang paling saya ingat, tak bosan mengajakku sholat lima waktu di mesjid. Orang yang kenal beliau, tahu jalan hidupnya, tidak akan sesumbar menghinakan kematiannya. Walau tak sepakat dengan jalan yang diambilnya, saya tetap berhusnudzon mengapa jalan itu diambilnya,” ujar aktivis sekaligus wartawan media Tadulako, Ari Fahry di akun media sosialnya.
Prosesi penguburan jenazah Santoso di Desa Landangan, Poso yang diiringi oleh ribuan orang mencerminkan ia adalah sosok yang dirindukan. Bagi yang pernah mengenalnya, Santoso adalah sosok yang ramah dan bersahaja.
Di pemakaman Santoso, seorang ibu sambil menitikkan air mata berucap, “Ukiran tangan Santoso di banyak perabot rumah, di piring dan gelas rumah-rumah masyarakat Poso, akan jadi kenangan yang lekat bersama almarhum.”
Selain menjual buku, rupanya Santoso juga pernah menawarkan jasa ukir (memberi tanda) di piring dan gelas di setiap rumah warga Poso. Kabarnya, ia juga pemain sepakbola yang handal. Ia sering direkrut oleh orang kampung jika ada kompetisi sepakbola tarkam (antarkampung). Ia pernah main jauh ke kampung seberang di wilayah Desa Napu, tempat digelarnya Operasi Tinombala belakangan ini. Maka, bisa Anda bayangkan sendiri teroris macam apa Santoso ini?
Musuh dan Tujuan Santoso
Pengamat terorisme Alchaidar (http://news.liputan6.com/read/2481765/journal-santoso-dari-poso-jadi-ekstremis-radikal?p=1) menyatakan, Santoso mulai aktif melakukan perlawanan sejak bekal pelatihan dan pemahaman agama yang keras. Inilah yang membuatnya ditunjuk sebagai Ketua Departemen Pendidikan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), sekaligus Ketua Asykari (Laskar Militer) JAT Cabang Poso pada 2009 dan definitif terbentuk Januari 2011.
Yang menunjuknya adalah Abu Tholut, penanggung jawab pelatihan militer di Jantho, Aceh pada 2010, “(Sikap keras ini) membuat Abu Tholut ketika itu yakin dengan kepemimpinan Abu Wardah (untuk menjadi Ketua Asykari JAT Poso),” ucap Alchaidar.
Kemudian, pada tahun 2012, Santoso alias Abu Wardah mendeklarasikan berdirinya Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Lalu, di tahun 2014, Santoso menyatakan berbaiat dan bergabung dengan Daulah Islamiyah (ISIS).
Untuk memahami jalan pikiran Santoso, ada baiknya kita mengikuti pernyataan resmi yang dirilis oleh tim media MIT. Sejak memimpin Mujahidin Indonesia Timur, Santoso kerap mengeluarkan rilis resmi melalui forum-forum tertutup seperti Forum Al-Busyro.
Tercatat ada belasan rilis resmi yang dirilis Mujahidin Indonesia Timur sejak mereka bergerilya masuk ke hutan. Yang paling terkenal tentu saja rilis berisi surat tantangan Mujahidin Indonesia Timur kepada Polri pada tahun 2012. Saat itu, dengan tegas Santoso menyatakan musuh utamanya adalah Polri, bukan TNI.
Pada Oktober 2012, MIT juga merilis pernyataan berjudul “Cahaya Islam di Balik Surat Tantangan”. (http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2012/10/26/21403/al-busyro-kembali-rilis-tulisan-terkait-surat-tantangan-mujahidin-poso/#sthash.Qd0ZsmKo.dpbs) Saat itu, MIT menyebut enam alasan kenapa mereka menantang Polri. Di antaranya adalah perbedaan ideologi, kezaliman dan dan penindasan yang dilakukan oleh penguasa kepada umat Islam dan upaya penguasa dan Aparat negara yang terkesan menjadikan isu perang terhadap teror ini sebagai proyek untuk meraup dolar dari pihak asing.
Pada April 2015,Santoso juga merilis pernyataan “Gagalnya Operasi PPRC” dan “Kematian Daeng Koro”. Di titik ini, kelompok Santoso sudah mulai terdesak karena kurir-kurinya di kawasan perkotaan sudah habis ditangkapi. Otomatis, suplai logistik ke hutan sudah tak jalan lagi. Selain itu, beberapa personel penting yang aktif di bidang media dan komandan lapangan seperti Daeng Koro juga sudah terbunuh. Santoso akhirnya diisolir oleh aparat di pegunungan Napu.
Pada November 2015, Forum Al-Busyro sempat merilis satu tulisan terakhir terkait Mujahidin Indonesia Timur. Tulisan berjudul “MIT yang Dilupakan: Evaluasi dan teguran pada Anshar Daulah Islam” ini cukup menarik perhatian pengamat jihad dunia barat sekelas Aaron Y. Zelin. Situs jihadology yang dikelolanya menyimpan tulisan ini bukan tanpa suatu alasan.
Tulisan anonim itu mencatat sejumlah hal terkait kondisi Mujahidin Indonesia Timur di Poso pasca baiat kepada Daulah Islam yang dipimpin Al-Baghdadi. Pertama, ia mencatat bahwa syahid bukanlah satu-satunya tujuan jihad. Tulisan itu mengkritisi orang-orang yang meninggalkan peran dan tanggungjawabnya dalam amal Islam demi cita-cita pribadinya untuk mati syahid.
Kedua, tulisan itu mencatat langkah Mujahidin Indonesia Timur berbaiat kepada Daulah selain sebagai kewajiban syar’i juga sebagai batu loncatan untuk merekrut anggota baru. Dengan baiat tersebut, MIT berharap para Anshar Daulah mau bergabung karena secara logika cabang terdekat dari Daulah di Asia Tenggara ada di Gunung Biru, Poso. Namun, kenyataannya jauh panggang dari api. Karena para Anshar Daulah lebih berminat hijrah ke Bumi Syam ketimbang Bumi Sintuwu Maroso.
Terakhir, tulisan ini juga sepakat dengan pernyataan Haji Adnan Arsal di awal tulisan bahwa Santoso sudah tak bisa berbuat banyak sejak kurir-kurirnya ditangkapi. Hitung-hitungan taktis militer sudah memperkirakan Santoso dan MIT tak bisa kemana-mana lagi. Namun, permainan diatur sedemikian rupa supaya proyek perburuan ini dibuat cantik dan terus langgeng.
What Next?
Terbunuhnya Santoso, jelas memunculkan pertanyaan selanjutnya. Akankah proyek terorisme di Indonesia akan berakhir di titik ini? Tak seperti yang kita harapkan, komentar para pengamat dan pejabat nasional justeru menunjukkan proyek terorisme bak lorong tak berujung.
Seolah sudah disiapkan dengan apik, agenda War on Terrorism pasca kematian Santoso sudah siap baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal itu bisa terlihat jelas dari sikap dan pernyataan para tokoh di media.
Dalam jangka pendek, operasi perburuan teroris di Poso tidak segera berakhir dengan terbunuhnya Santoso. Keberadaan Basri dan Ali Kalora bersama 19 orang lainnya diyakini sebagai ancaman yang masih tetap ada. Oleh sebab itu, Kapolri Tito Karnavian menyatakan Operasi Tinombala masih akan dilanjutkan hingga teroris di Poso dapat dilumpuhkan semua.
Lebih jauh dari itu, ada narasi yang dibangun oleh sebagian pihak bahwa akan ada “serangan balasan” dari kelompok teroris pascakematian Santoso. (https://beritagar.id/artikel/berita/mewaspadai-serangan-balasan-pasca-tewasnya-santoso)
Kepala Polda Sulawesi Tengah, Brigjen Rudy Sufahriadi menyinggung perkara itu dalam wawancara melalui telepon dengan Reuters (20/7). “Ada kemungkinan serangan balasan. Bukan teroris namanya, jika mereka tidak melakukan balas dendam,” kata pemimpin Operasi Tinombala itu.
Senada dengan Rudy, pengamat terorisme Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Zaki Mubarak juga mengingatkan kemungkinan serangan balik pasca-tewasnya Santoso. Zaki memberi contoh soal penangkapan jaringan teroris Abu Umar beberapa tahun silam, yang memicu aksi balas dendam.
Ia menyebut aparat kepolisan berpotensi menjadi sasaran serangan. “Ini sudah terjadi dalam lima tahun terakhir aksi-aksi teroris menyasar ke polisi, baik yang ada di jalan-jalan maupun kantor polisi,” ujar Zaki.
Jika dicermati, pernyataan ini merupakan narasi yang dibangun untuk menciptakan kondisi yang mudah dicerna masyarakat awam jika terjadi serangan terorisme baru, meskipun serangan itu muncul dari kelompok atau sosok dari negeri antah berantah.
Katakanlah, jika tiga atau lima bulan ke depan terjadi serangan terorisme di Tanah Air, aparat kepolisian dengan mudah akan berkata,”Oh ini pasti serangan balasan dari pendukung Santoso.”
Siklus ini saya sebut sebagai siklus serangan balik. Polanya begini: aparat keamanan melakukan eksekusi atau penangkapan dengan cara represif. Setelah itu, muncul komentar atau pernyataan dari pejabat resmi atau pengamat terorisme yang menyatakan waspada terhadap serangan balasan. Pada titik ini, sel-sel gerakan jihad, baik yang murni atas inisiatif pribadi ataupun yang telah kesusupan intelijen akan bergerak melakukan serangan. Kemudian, serangan tersebut akan ditindak oleh aparat dengan cara yang represif lagi. Begitu seterusnya.
Pola semacam ini dinilai lebih aktif dan dinamis daripada siklus dendam yang telah lama terjadi akibat kebrutalan operasi Densus 88 terhadap aktivis Islam. Pun, lebih diterima dalam logika masyarakat karena melibatkan peran media massa.
Untuk jangka panjang dan skala yang lebih luas, tentu saja kematian Santoso akan menambah daya tawar aparat keamanan dalam mengatasi teroris di Indonesia. Momen ini akan dimanfaatkan oleh aparat agar revisi Undang-undang Terorisme yang tengah digodok di DPR semakin ketat.
Penyertaan TNI secara resmi dalam pemberntasan terorisme tengah diwacanakan masuk dalam rancangan revisi UU Terorisme. Rencana revisi itu digagas pemerintah menyusul terjadinya serangan bom Thamrin pada 13 Januari 2016.
Kepada harian Republika, Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan mengaku serangan itu sebagai momentum untuk meluaskan kewenangan aparat mencegah aksi terorisme. Selain pelibatan TNI, rancangan revisi UU Terorisme juga mengusulkan masa penahanan terduga teroris yang lebih lama dan mekanisme penanganan terduga yang lebih longgar.
Sebelumnya, Tito Karnavian juga telah meminta agar RUU Terorisme segera diselesaikan pasca bom bunuh diri di Mapolresta Solo pada Selasa, 5 Juli 2016. Saya jadi teringat teori “The One Percent Doctrine” yang menyebut bahwa kebijakan pemerintah selalu terkait dengan tujuan politik ketimbang kebutuhan atas suatu realitas.
“The One Percent Doctrine” adalah karya jurnalistik wartawan Amerika Ron Suskind yang memenangkan Pulitzer. Suskind mengkritisi pemerintah Bush kala itu yang merumuskan kebijakan kontraterorisme-nya berdasarkan tujuan politik ketimbang realitas geopolitis.
Ia mengutip Wapres Dick Cheney yg mendeskripsikan kebijakan perang terhadap terorisme dengan istilah berikut ini: “Jika ada 1% kesempatan bagi ilmuwan Pakistan untuk menolong Al-Qaidah membangun senjata nuklir, kita harus memperlakukan hal itu sebagai sebuah kepastian sebagai bentuk respon kita. Ini bukanlah perkara analisis, tapi ini soal respon.”
Katakanlah, serangan bom Thamrin kita hitung sebagai ancaman senilai 1%, maka serangan bom Mapolresta Solo dan terbunuhnya Santoso sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan respon aparat, bukan?
(*/arrahmah.com)