(Arrahmah.com) – Tokoh tabi’in ini memiliki garis keturunan yang mulia. Bapaknya adalah Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma. Ibunya adalah Sulafah, seorang puteri Kisra Yazdajird yang menjadi tawanan pasukan Islam dan dihadiahkan kepada Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma oleh khalifah Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu.
Dari garis keturunannya, darah keluarga Ahlul Bait bertemu dengan darah keluarga para Kisra pemimpin Imperium Majusi Persia.
Namun yang lebih mulia dan utama dari garis keturunan tersebut adalah keimanan dan amal shalihnya. Ia dikenal luas dalam sejarah sebagai seorang tabi’in yang berilmu, rendah hati, sabar, pemaaf, rajin ibadah, dan gemar berinfak, sampai-sampai ia dijuluki Zainal Abidin, yang secara harfiah berarti perhiasan orang-orang ahli ibadah. Dialah Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Kisah ketekunan beliau dalam beribadah dan kedermawanan beliau dalam berinfak, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, sudah menjadi rahasia umum penduduk Madinah. Kitab-kitab sejarah sudah sering menceritakan hal itu.
Di sini kita akan mengutip sebuah ungkapan kekhawatiran beliau, yang sangat layak untuk kita renungkan dan resapi secara mendalam.
Al-Hafizh Ibnu ‘Asakir, Adz-Dzahabi dan Ibnu Katsir meriwayatkan dengan sanadnya dari putra beliau, Muhammad Al-Baqir bin Ali Zaenal Abidin, bahwa ayahnya Ali Zaenal Abidin pernah berkata:
إِنِّي لَأَسْتَحْيِ مِنَ اللهِ عَزَّوَجَلَّ أَنْ أَرَى اْلأَخَّ مِنْ إِخْوَانِي فَأَسْأَلَ اللهَ لَهُ الْجَنَّةَ وَأَبْخَلَ عَلَيهِ بِالدُّنْيَا، فَإِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ قِيلَ لِي فَإِذَا كَانَتِ الْجَنَّةُ بِيَدِكَ كُنْتَ بِهَا أَبْخَلَ، وَأَبْخَلَ وَأَبْخَلَ
“Sungguh saya benar-benar merasa malu kepada Allah, jika saya melihat salah seorang saudaraku sesama muslim lalu aku berdoa kepada Allah memintakan surga untuk dirinya, namun aku kikir untuk memberikan sebagian harta duniawiku kepada saudaraku tersebut. Lalu pada hari kiamat akan dikatakan kepadaku [oleh Allah Ta’ala]: “Seandainya surga itu berada di tanganmu, niscaya engkau lebih kikir, lebih kikir dan lebih kikir lagi dengannya.” (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam An-Nubala’, 4/394 dan Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah, 12/487)
Subhanallah ….astaghfirullah….
Sebagai seorang muslim, kita memiliki kewajiban mendoakan kebaikan bagi sesama muslim lainnya. Termasuk mendoakannya agar ia dimasukkan ke dalam surga dan diselamatkan dari neraka. Doa seperti itu adalah kewajiban kita dan hak saudara muslim kita. Mendoakan saudara sesama muslim dengan doa-doa kebaikan adalah ibadah yang berpahala.
Namun perkataan emas imam Ali Zaenal Abidin di atas mengingatkan kita akan salah satu aib yang sering menjangkiti diri kita, tanpa sering kita sadari. Yaitu saat kita hanya berhenti pada mendoakan saudara muslim lainnya, tanpa ditindak lanjuti dengan kewajiban-kewajiban lainnya dalam berukhuwah islamiyah. Dan salah satu kewajiban dalam ukhuwah islamiyah adalah menginfakkan sebagian harta kekayaan kita kepada saudara muslim lainnya yang membutuhkan.
Imam Ali Zaenal Abidin secara tidak langsung mengingatkan kita untuk berintrospeksi diri. Betapa menggerakkan lisan kita, memohon dan berdoa kepada Allah Ta’ala agar memasukkan fulan dan fulanah, saudara-saudara sesama muslim ke dalam surga adalah perkara yang ringan. Ringan, karena surga adalah milik Allah, bukan milik kita, sehingga praktis kita tidak kehilangan apa-apa.
Sementara untuk uang, makanan, pakaian, dan harta kekayaan lainnya yang berada di tangan kita, menjadi milik kita, kita justru seringkali enggan dan merasa berat untuk menginfakkannya kepada fulan dan fulanah, saudara-saudara sesama muslim kita. Kita hendak menjalin ukhuwah islamiyah, tanpa mau mengerjakan konskuensi-konskuensi ukhuwah, tanpa mau kehilangan sedikit pun harta milik kita, tanpa pernah menggembirakan saudara sesama muslim kita dengan kelebihan harta yang Allah Ta’ala titipkan kepada kita.
Saudaraku seislam dan seiman….
Jutaan saudara kita, sesama kaum muslimin, menderita di Jalur Gaza, Suriah, Irak, Uighur, Rohingnya, Somalia dan banyak tempat lainnya….
Mereka tidak hanya memerlukan doa-doa kebaikan kita yang tulus. Mereka juga membutuhkan keikhlasan dan kerelaan hati kita, untuk menginfakkan harta terbaik kita demi membantu meringankan penderitaan kita. Belum mampukan bulan suci Ramadhan, bulan infak ini, mengetuk kerasnya hati kita?
Wallahu a’lam bish-shawab.
(muhib al majdi/arrahmah.com)