Oleh Ine Wulansari
Pendidik Generasi
Berbicara masalah kemiskinan di negeri ini, seolah tak ada habisnya. Bagaimana tidak, dengan kekayaan alam yang melimpah ruah angka kemiskinan di berbagai daerah kian meningkat. Bahkan sampai terkategori miskin ekstrem, berdasarkan pada indikasi pengeluaran harian.
Hal ini terjadi di salah satu Kabupaten Bekasi. Sekitar 3.961 warganya tergolong penduduk miskin ekstrem. Menurut Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Bekasi Endin Samsudin, banyaknya warga miskin ekstrem berdasarkan hasil pencocokan data lapangan. Hal tersebut dilakukan Dinsos setempat yang mengacu data terpadu kesejahteraan sosial 2022. (Republika.co.id, 28 Januari 2023)
Fakta di atas baru menunjukkan salah satu Kabupaten yang mengalami kemiskinan ekstrem. Jika ditelusuri, bukan hanya Kabupaten Bekasi yang warganya mengalami kemiskinan. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat sebanyak 26,16 juta orang miskin di Indonesia per Maret 2022. Dari 37 Provinsi di Indonesia ada 10 provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi, yakni papua 26,56 persen, Papua Barat 21,33 persen, Nusa Tenggara Timur 20,05 persen, Maluku 15,97 persen, Gorontalo 15,42 persen, Aceh 14,64 persen, Bengkulu 14,62 persen, Nusa Tenggara Barat 13,68 persen, Sulawesi Tengah 12,33 persen, dan Sumatera Selatan 11,90 persen. (detik.com, 16 Juli 2022)
Kemiskinan memang selalu menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah. Namun ironisnya, realitas ini belum bisa diatasi hingga sekarang. Berdalih ingin menuntaskan kemiskinan hingga mencapai target nol persen, kenyataannya tak sejalan. Sebab negara hanya mengandalkan pada penyaluran bantuan untuk keluarga miskin. Jelas saja, target tersebut sangat sulit dicapai.
Sekalipun silih berganti penguasa tapi badai kemiskinan tak pernah berubah, justru yang ada jumlah orang miskin semakin bertambah. Kalaupun ada penurunan, disinyalir sekadar klaim dan tak sesuai dengan kenyataan. Terlebih standar kemiskinan yang digunakan sering kali tidak sesuai dengan nilai kemanusiaan.
Bayangkan saja, per September 2022 BPS mencatat garis kemiskinan di Indonesia mencapai Rp535.547 per bulan per kapita. Angka ini dihitung dari rata-rata pengeluaran masyarakat. Dengan kata lain, penduduk yang pengeluarannya lebih dari angkat tersebut misalnya Rp600.000 per bulan, sudah tidak dikategorikan miskin lagi. Padahal, berbagai kebutuhan serba mahal. Mulai dari bahan pokok, listrik, air bersih, BBM, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Sangat tidak mungkin bisa menutupi biaya hidup orang per orang dengan angka sekecil itu.
Sementara itu, untuk memberantas kemiskinan ekstrem telah keluar Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 04 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem. Di sana disebutkan tiga strategi utama melaksanakan percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem. Pertama, pengurangan beban pengeluaran masyarakat. Kedua, meningkatkan pendapatan masyarakat. Ketiga, penurunan jumlah kantong-kantong kemiskinan. Targetnya, pada tahun 2024 kemiskinan ekstrem menjadi nol persen.
Meskipun pemerintah menyodorkan berbagai program untuk memberantas kemiskinan, namun program tersebut tidak efektif. Karena tidak menyentuh akar permasalahannya. Seperti bantuan dan jaminan sosial yang jauh dari mencukupi, bahkan terkadang tak tepat sasaran juga. Dikatakan para kritikus, program semacam itu ibarat obat merah yang meredakan nyeri di permukaan dan sementara. Adapun problem akarnya tidak pernah bisa dituntaskan.
Sejatinya, kemiskinan adalah masalah kompleks yang berakar dari penerapan sistem politik ekonomi yang asasnya rusak. Sehingga menghasilkan berbagai kerusakan di tengah masyarakat. Sistem ini tak lain yakni Kapitalisme Neoliberal yang mencabut kemandirian bangsa. Juga melumpuhkan kemampuan negara untuk menyejahterakan rakyatnya dengan segala sumber daya alam yang melimpah.
Kekayaan alam yang luar biasa ini, seharusnya berada di tangan negara dan dikelola secara mandiri, tanpa perantara pihak swasta atau asing. Namun hal tersebut tidak terjadi, faktanya negara melibatkan pihak lain dalam pengelolaannya. Pada akhirnya, setiap keuntungan yang didapat masuk dalam kantong mereka. Sedangkan negara hanya memperoleh sedikit dari keuntungan tersebut. Jangankan menyejahterakan rakyat, untuk menutupi kebutuhan negara saja tak mencukupi. Ujungnya, jalan pintas bernama utang jadi pilihan. Maka tak heran, sudah rakyat hidup susah makin susah dengan beban lainnya berupa pajak.
Seharusnya, limpahan sumber daya alam bisa dinikmati rakyat jika dikelola langsung oleh negara. Akan tetapi sayang, dalam sistem Kapitalisme peran negara sebatas regulator yang menjadi jembatan antara pengusaha dan rakyat. Sehingga wajar, kemiskinan ekstrem tidak bisa diatasi sebab kebijakannya saja salah dan menyusahkan rakyat. Inilah tabiat dari sistem buatan manusia, semua aturannya disandarkan pada hawa nafsu manusia, disesuaikan dengan kepentingan pihak-pihak yang bermodal besar. Dengan demikian, sepanjang struktur politik ekonomi global tegak dan lestari, maka persoalan kemiskinan dan segala dampaknya akan tetap ada. Gurita Kapitalisme global akan terus mencengkeram. Akhirnya negara yang seharusnya bertanggung jawab dalam mengurusi rakyat, tidak terealisasi bahkan cenderung berlepas tangan.
Satu-satunya cara keluar dari arus persoalan ini, dengan melakukan koreksi total atas sistem yang diterapkan. Sistem tersebut yakni sistem Islam yang tegak di atas asas akidah. Tanggung jawab sistem Islam dalam menjamin kesejahteraan, keadilan bagi semua orang bukan sekadar isapan jempol belaka. Belasan abad lamanya sistem ini berdiri kokoh melahirkan peradaban mulia dan mampu membawa masyarakat pada keberkahan hidup.
Negara dalam sistem Islam benar-benar memfungsikan dirinya sebagai pengurus umat sekaligus memberikan perlindungan individu per individu. Ini karena penguasa paham bahwa kepemimpinan adalah amanah berat yang harus siap dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh karenanya, negara secara konsisten menerapkan syariat Islam di seluruh aspek kehidupan, terutama politik ekonomi. Hal tersebut akan mencegah dari kezaliman, termasuk penguasaan kekayaan oleh segelintir orang. Negara juga pantang tunduk pada tekanan pihak manapun dan menolak segala bentuk penjajahan.
Selain pandangan yang sahih terkait kepemimpinan, ada banyak aturan Islam yang menjamin keadilan dan kesejahteraan. Salah satunya berkenaan dengan aturan bahwa sumber daya alam yang merupakan aset rakyat, tidak boleh dimiliki individu. Karena sesungguhnya wajib dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat.
Negara juga wajib memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya orang per orang. Kebutuhan ini diambil dari hasil pengelolaan SDM sebagai kekayaan yang ada sebagaimana ditetapkan oleh syariat. Juga menciptakan suasana kondusif bagi kaum laki-laki untuk bekerja, hingga dia dan keluarganya bisa memenuhi kebutuhan dasar. Pada saat yang sama, negara akan menjamin kehidupan rakyat yang lemah. Sekaligus memenuhi kebutuhan kolektif seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan bagi seluruh rakyat tanpa kecuali.
Dengan demikian, kemiskinan ekstrem yang dirasakan masyarakat akan teratasi dan tuntas dengan menerapkan syariat Islam. Tentu akan diwujudkan secara maksimal oleh negara dalam naungan Islam. Kesejahteraan, keadilan, dan kebahagiaan hidup dapat dirasakan seluruh rakyat.
Wallahua’lam bish shawab.