Hidup tanpa toleransi sangat tidak mungkin. Tapi toleransi bukan pluralisme. Sebab, pluralisme agama, justru musuhnya agama-agama.
Kesimpulan ini disampaikan oleh Dr. Anis Malik Toha, dosen perbandingan agama di Universitas Islam Antarbangsa (UIA) Malaysia saat diskusi INSISTS, Malaysia bertajuk ’pluralisme agama’ yang dihadiri tidak kurang 20-an orang. Anis, demikian panggilannya, adalah pakar bidang ’pluralisme agama’ yang pertama di Indonesia.
Menurut Anis, istilah ”pluralisme agama’ sudah banyak sekali ditulis di media dan diuraikan di berbagai forum ilmiah.Dari segi istilah, sebenarnya, bukan suatu yang asing.
Dalam penjelasannya, Anis menjelaskan bahwa ’pluralisme agama’ ini sangat menantang kita semua, karena yang dilakukakan oleh pengusung ide ini memang secara terang-terangan ingin membongkar dan mempertanyakan sesuatu yang mapan, establish, di dalam agama.
Mereka, kata Anis, menganggap kemapanan ini merupakan biang keladi kemunduran dan keterpurukan umat Islam secara umum. Oleh karena itu, semua konsep, tatanan yang mapan dalam Islam ingin dirombak sedemikian rupa, sehingga menurut tujuan mereka, umat Islam betul-betul searah dan seirama dengan perkembangan zaman. Dari sinilah zaman itu menjadi segala ukuran, sementara apa yang ada dalam tataran agama ini menjadi tunduk kepada zaman.
Karenanya, apa-apa yang dipahami dan di yakini secara tradisional oleh umat beragama dianggap salah (jika perlu, dibetulkan) karena harus disesuaikan dengan demokrasi, hak asasi manusia (HAM), kesetaraan gender, sekularisme, humanisme, dan lainnya. Hal itulah yang kemudian mengkristal menjadi pluralisme agama.
Munculnya ideologi-ideologi modern itu, ujar Anis, sebenarnya sudah merupakan ”semi-agama”. Hal ini, sudah dikemukakan oleh beberapa kalangan filosof dan teolog Barat, semisal Paul Tillich. Tillich, (1886–1965) dalam bukunya ”Christianity and the World Religion”, memandang, mengemukanya ideologi-ideologi modern –seperti humanisme, demokrasi, sekularisme, marxisme, ateisme dan isme-imse lainnya– dipahami tidak sekedar ideologi semata, tapi lebih merupakan ”semi agama” atau quasi religion. Dikatakan seperti itu karena, ideologi-ideologi di atas nyatanya menjadi pemasok utama terhadap nilai-nilai, norma-norma yang membingkai cara pandang manusia (worldview) di dalam melihat dan menghukumi segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Sehingga, quasi religion ini tidak saja sebagai saingan bagi agama yang resmi (propper religion), tapi lebih merupakan ancaman yang sangat berbahaya.
Dalam paparannya, Anis yang juga Khatib ‘Aam Syuriah NU Cabang Istimewa Malaysia ini dalam paparannya juga menjeskan bahwa pluralisme agama pada awalnya lebih terkait dengan ideologi politik, dengan mulai munculmnya ide-ide demokrasi pada periode modern, yang diperkenalkan oleh John Locke (1632–1704), Montesquieu (1689-1755), dan Jean Jacques Russou (1712–1778), yang kemudian nilai-nilai politik ini mau tidak mau harus bersinggungan dengan agama. Hal itu karena masyarakat pada umumnya tidak pernah bisa lepas dari a state of belief system.
Para pendiri Amerika Serikat, dan yang paling getol adalah Benjamin Franklin (1706–1790), sangat menyadari keberagaman ideologi masyarakatnya, sehingga sangat bernafsu memunculkan”public Religion”, agama pemersatu ideologi-ideologi masyarakatnya. Menurutnya, suatu negara yang plural memerlukan suatu agama yang sepatutnya dipeluk oleh semua penguhuni negara tersebut. Agama publik, menurutnya, diambil dari unsur-unsur yang baik dari semua agama, agama yang dipeluk oleh masyarakat Amerika Serikat. Agama inilah yang diharapkan memberi framework kepada masyarakat untuk hidup secara damai dengan berbagai latar belakang agama dan keyakinan.
Hal senada juga diungkap Russou dengan bukunya ”The Social Contract and Discource”, yang sezaman dengan Benjamin Franklin, ternyata menteorikan juga tentang cita-cita ”Civil Religion”. Dan dari dialah istilah ini pertama kali muncul.
Pluralisme Agama Bukan Pluralitas Agama
Munculnya pemahaman pluralisme agama ini sebenarnya banyak aspek yang ikut memberikan konstribusi. Baik aspek politik, agama, sosial, dll, dengan mesin perobahnya adalah metode hermeneutik untuk merombak pemhaman yang lama. Pada akhirnya, di dunia Kristen, baik Protestan dan Katolik, sama-sama menggelindingkan dan mendukung paham pluralisme agama, antara thn 1960-1970-an, sehingga istilah pluralisme agama ini sudah mulai masuk ke istilah-istilah akademis, baik di universitas-universitas, di ensiklopedi-ensiklopedi, buku-buku dan media.
Teori pluralisme agama tidak bisa dipahami secara simplistis sebagaimana selama ini berlaku di media-media. Kebanyakan media menganggap bahwa pluralisme agama dianggap sama dengan toleransi beragama. Padahal kedua istilah ini merupakan entitas berbeda, yang tidak sama. Bedanya, kalau pluralisme agama adalah mengakui agama lain sebagai absah atau ”valid and authentic” (mengikuti istilah John Hick). Valid dan otentik inilah sebenarnya suatu pengakuan bahwa agama lain di luar agama seseorang sebagai yang absah. Sedangkan toleransi hanya mengakui keberadaan agama-agama lain sebagai gejala kemajemukan, tanpa harus menghilangkan keyakinan dalam agama diri sendiri. Tidak harus mengakui agama orang lain absah secara akidahnya, valid dan otentik. Toleransi, singkatnya, menghargai perbedaan. ”Jadi toleransi ada karena ada perbedaan. Kalau tidak ada perbedaan, maka tidak muncul istilah toleransi,” ujar Anis.
Sayangnya, keragaman ini kurang dipahami secara baik oleh mereka. Seperti Allah menciptakan keberagaman dalam agama, semua agama dianggap sama-sama absah secara syara’ karena sama-sama diciptakan Allah Swt. Memang semua agama yang ada adalah ciptaan Allah, tapi tidak semuanya diridhoi secara syara’. Tidak semua yang Allah kehendaki (iradah) dikehendaki secara ontologis (kaunan) dan diridhoi (syar’an). Ada yang Allah kehendaki secara ontologis tapi tidak secara syara’, seperti diciptakannya setan. Ada juga yang dikehendaki secara ontologis, tapi dikehendaki juga secara syara’, seperti diciptalannya Muhammad Saw. Contoh lain, Allah Swt dalam Al-Quran berfirman: In Tasykuru yardhahu lakum wa la yardha li’ibadihi al-kufur. Syukur dikehendaki dan diridhoi oleh Allah, tapi kufur dicipta tapi tidak diridhoi. Begitu juga tatanan-tatanan keagamaan ada yang dikehendaki dan diridhoi dan ada pula yang dikehendaki tapi tidak diridhoi.
Lalu pertanyaan yang akan muncul kemudian adalah, bagaimana Islam mengharmonikan keberagaman ini? Menurut Dr. Anis, Islam menawarkan penyelesaikan non-teologis, karena secara teologis Islam sudah tuntas dan selesai membahasnya. Sehingga penyelesaian yang mendesak adalah penyelesaian praktikal administratif, bagaimana mengatur kehidupan bersama, berdampingan, saling membantu, dan kerjasama. Semua itu diluar teologis. Itulah sebenarnya yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dengan Piagam Madinah. Piagam Madinah mengatur hubungan antara umat beragama secara administratif, tak menyinggung masalah teologis.
Jadi toleransi adalah suatu hajat bagi individu penganut agama. Mereka tak mungkin eksis tanpa adanya toleransi. Tapi toleransi bukan pluralisme. Ia hanya sebatas menghargai penganut agama lain dan hak hidupnya. Sementara pluralisme agama, pada hakekatnya, akan menghacurkan agama-gama yang ada. Ketika ia mengklaim sebagai tafsir agama yang paling benar, justru ia hendak memaksakan paham-paham agama lain ditinggalkan dan mengambil tafsir agama versi di pihaknya. Pada titik ekstrimnya, target pluralisme agama adalah untuk menghabisi agama-agama. Minimalnya akan membiarkan agama-agama bergentayangan tanpa ruh atau esensi dari agama-agama tersebut.
Ancaman ini sebenarnya sudah banyak disadari oleh para pemikir, filosof, dan pemukan agama. Untuk Indonesia, misalkan, ada beberapa tokoh yang menolak gagasan Pluralisme agama. Antara lain, dari kalangan Kristen. Menurut Anis, ada tesis doktoral yang ditulis oleh Pdt. Stephly Lumintang, yang dibukukan dengan judul ”Ideologi Abu-Abu”. Disebut abu-abu karena tidak jelas. Menurut buku ini, pluralime agama ini akan membabat habis agama-agama, termasuk Kristen. Sedangkan dari kalangan Hindu ada buku juga yang diedit oleh Ngakam Made Madra Suta, yang diterbitkan thn 2006, dengan judul ”Semua Agama Tidak Sama.” Buku ingin merespon beberapa argumen yang dipkai oleh kalangan pluralis, utamanya John Hick. Sementara Romo Franz Magnes Suseno, nampaknya, bersikap mendua. Maksud mendua di sini ia dalam beberapa tulisannya tidak setuju dengan pluralisme agama, tapi dalam beberapa diskusi, ia mengaku mendukung pluralisme agama.
Jadi kalau boleh disimpulkan, pluralisme agama bukanlah toleransi agama. Sebab pluralisme agama berbeda dengan pluralitas. Hal-hal yang digaungkan oleh pengusungnya sebagai pendamai dan solusi untuk mendamaikan antara agama-agama justru menunjukkan sebaliknya, yakni akan memusnahkan agama-agama lainnya.
”Pluralisme Agama melarang klaim kebenaran (truth claim), ternyata ia sendiri yang mengklaim dirinya paling benar, dan agama-agama yang ada adalah salah,” ujar Anis. Dengan demikian, tambah Anis, pluralisme gama ini bukanlah solusi, tapi lebih merupakan ancaman bagi eksistensi agama-agama.
Sumber: Hidayatullah