Oleh: Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
(Arrahmah.com) – Pemimpin dan rakyat mesti satu arah. Satu pikiran, hati dan rasa. Punya visi yang sama ke arah mana mau melangkah. Program, kebijakan dan semua keputusan pemimpin harus merepresentasikan pikiran dan harapan rakyat.
Rakyat menitipkan amanah, pemimpin ngerti, paham dan tahu bagaimana menjalankan amanah itu. Ada good will untuk memastikan bahwa harapan rakyat itu bisa dipenuhi.
Di Jakarta, rakyat ingin reklamasi dibatalkan, Alexis ditutup dan saham bir dijual. Rakyat menyiapkan MoU dan Anies menandatanganinya sebagai janji politik.Tak ada alasan bagi Anies untuk tidak merealisasikan janji dan harapan rakyat itu. Kendati harus “dengan alot” nego ke DPRD yang mencoba mengganjalnya.
Reklamasi, Alexis dan saham bir itu bukan masalah Anies dengan Aguan cs, bukan juga dengan Pak Alex, pemilik Alexis. Tapi, ini lebih pada urusan rakyat dan negara.
Reklamasi misalnya, itu masalah rakyat Jakarta dan kedaulatan bangsa. Ditutup, itu sudah seharusnya. Ketika sampai pada urusan rakyat dan kedaulatan bangsa, tak boleh ada kompromi.
Membatalkan proyek reklamasi adalah bentuk keputusan yang berorientasi untuk melindungi kepentingan rakyat. Karena reklamasi proyek besar, jadi heboh beritanya.
Saking hebohnya, sampai ada yang menuduh bahwa itu pencitraan. Lindungi rakyat dan tunaikan janji politik kok pencitraan? Ini harus diluruskan logikanya. Kecuali kalau Anies gak tunaikan janji politik, tapi malah sibuk bagi-bagi sepeda, atau masuk gorong-gorong, itu baru bener-bener pencitraan. Heran deh!
Pertahankan tukang becak, lindungi pedagang kaki lima di Tanah Abang, ijinkan gojek dan pengendara motor beroperasi di Soedirman-Thamrin, itu semua seperti menegaskan posisi Anies terhadap rakyat kecil.
Belum lama ini ada peristiwa kecil, tapi sempat mencuri perhatian publik. Beberapa calon penumpang duduk lesehan dan makan di koridor MRT. Banyak orang kaget, geleng-geleng kepala, bahkan geram. Buat kotor pemandangan, kata mereka. Dengan bahasa yang santun Anies sampaikan ke publik: ini bagian dari proses belajar. Setiap orang butuh proses belajar ketika berada di tempat dan situasi yang baru. Tak perlu ngebully mereka. Pencitraankah? Tentu tidak! Bela rakyat kecil kok pencitraan?
Ketika seorang pegawai kebersihan DKI ditabrak lari oleh pengendara motor hingga meninggal, Anies hadir. Ikut mengangkat keranda mayat dan mengantarkan sampai ke kubur. Lagi-lagi ini bukan pencitraan. Tapi ini lebih pada soal hati. Ketika sampai urusan rakyat, tak hanya akal yang bicara, tapi suara hati ikut merasakan. Itulah seorang pemimpin.
Keprihatinan atas kejadian ini mendorong Anies membuat surat terbuka. Ditujukan kepada para pengendara motor, khususnya pelaku tabrak lari. Bahasanya agak sedikit sentimentil. Anies menggunakan kata “kau”. Menunjuk kepada pengendara motor yang lari setelah menabrak. Ini mungkin bahasa “terkasar” dari Anies yang orang pernah baca.
Anies orang Jawa. Lahir dan besar di Jawa. Tepatnya di Jogja. Istilah “kau” itu asing bagi lidah dan telinga orang Jawa. Masuk katagori kurang santun. Tapi Anies menggunakannya. Itu artinya, ada emosi yang tertahan.
“Dan kau penunggang kendaraan tak dikenal itu… Ingatlah bahwa kau bisa lari pagi itu, tapi kau tidak bisa lari dari pertanggungjawaban di hadapan Yang Maha Adil”
Ada marah yang menekan perasaannya. Anies seolah ikut menahan sakit yang dirasakan petugas kebersihan itu. Belum lagi rasa sakit yang juga dirasakan keluarga korban. Anies menemui ibu dan ayah almarhum. Sebuah pertemuan di depan janazah. Anda pasti bisa merasakan apa yang dirasakan gubernur DKI ini. Melihat mayat pegawainya yang masih muda. Umur 24 tahun. Melihat ibu dan ayahnya yang memandangi janazah anaknya itu. Harapan dan mimpi masa depan atas anaknya itu hilang seketika ketika sang anak terbujur kaku sebagai janazah.
“Ingat, setiap petugas itu punya ibu, ayah, anak, istri, suami dan keluarga. Bantu pastikan mereka yang bekerja untuk kita semua ini bisa pulang ke rumah dengan selamat”, tulis Anies.
Ini bukan soal pencitraan. Ini soal rasa dan pertanggungjawaban seorang pemimpin terhadap anak buah yang dipekerjakan. 24 jam petugas kebersihan menjaga kebersihan kota dari sampah yang dibuang sembarangan oleh para pengendara kendaraan. Lalu, diantara pengendara itu menabraknya hingga mati. Lari pula. Bagaimana perasaan anda?
Sejumlah kebijakan dan peristiwa ini cukup menggambarkan kepada siapa Anies berpihak dan dengan siapa Anies lebih dekat. Keberpihakan dan kedekatan Anies inilah yang membuat H. Nardi Sibuea, pegawai Pemprov yang sudah mengabdi selama 38 tahun itu memberanikan diri menyampaikan keinginan untuk sekedar bisa bersalaman dengan sang gubernur di akhir masa kerjanya. Selama bekerja di Pemprov, Pak Haji ini belum pernah berkesempatan salaman dengan gubernur DKI. Gubernur siapapun.
Ketika keinginan pegawai ini disampaikan ke Anies, apa jawabnya? Dengan senang hati Anies menyatakan sangat bersedia. Harapan Pak Haji itupun terkabul. Tidak hanya salaman, Anies malah mempersilahkan H. Nardi duduk di kursi gubernur. Lalu diabadikan dalam gambar foto, sebagai kenangan terindah di awal masa pensiun. Duduk di kursi gubernur DKI dan dikawal gubernur yang berdiri tepat di sampingnya. Peristiwa ini tentu tak pernah dibayangkan H. Nardi. Betapa senangnya Pak Haji ini. Andaikata itu anda, apa yang anda rasakan?
Apa yang dilakukan Anies mesti jadi inspirasi buat seluruh pemimpin di negeri ini. Kata kuncinya “rasa”. Seorang pemimpin harus bisa merasakan apa yang dirasakan anak buah dan rakyatnya. Terutama rakyat kecil yang seringkali tergusur oleh kejamnya persaingan di kota. Lalu hadir dengan kebijakan dan keputusan yang berpihak kepada mereka.
Jakarta, 5/4/2019 (*)
(*/arrahmah.com)