Oleh: M Chozin Amirullah
(Arrahmah.com) – Rudy Valinka, penulis buku A Man Called Ahok, menulis kritik – atau tepatnya ejekan – kalau Anies cuma bisa ngusung keranda. Gubernur Anies Baswedan memang takziah ke korban aksi 22 Mei dan ikut mengangkat keranda jenazah yang bersangkutan.
Rudy tak paham, faktor-faktor kunci yang penentu apakah sebuah kerusuhan dapat berkembang meluas ataukah tidak. Menurut NJ Smelser, tahap ke-5 yang menentukan adalah soal kontrol sosial, yaitu apakah aparatur negara dan para petugas mampu mengendalikan situasi dan meredam kemarahan serta kekacauan yang terjadi.
Bandingkan dengan kejadian 1998, negara hanya bekerja melalui aparatur keamanan yang itupun terlambat. Korban kerusuhan tidak dilayani oleh negara yang kemudian jadi martir dan menjadi fokus pembicaraan yang luas.
Dan Gubernur Anies secara dingin mampu melokalisir itu. Gubernur tidak membawahi polisi dan TNI. Tapi pemerintah daerah memiliki aparatur kesehatan dan kependudukan. Ketika terjadi kekerasan, entah oleh sebab apapun, pemerintah melayaninya dengan cepat.
Dan ketika ada korban, negara hadir untuk melayani pengurusan jenazah. Gubernur hadir dengan berseragam mewakili negara (dan itu berarti juga mewakili Forkompida atau TNI/Polri) menyatakan sikap prihatin dan ikut berduka.
Apa dampaknya? Kehadiran negara atau Gubernur mengeliminasi skenario martir yang dapat menciptakan eskalasi. Tanpa kehadirannya sangat mungkin situasinya dapat tereskalasi dengan luas. Seorang korban, anak muda, warga kampung padat di Tambora meninggal karena kejadian 22 Mei. Tertunda lebih lama, mungkin akan hadir ribuan orang untuk mengangkat kerandanya. Dan tercipta barisan panjang yang penuh duka dan amarah.
Untung ada Gubernur Anies. Ia hadir berseragam mewakili negara dan mewakili aparatur berseragam lainnya. Ia mendinginkan amarah dan mengembalikan akal warga untuk tenang kembali.
Ini bukan soal mengangkat keranda, Rudy! Ini soal menyejukkan kota.
(*/arrahmah.com)