RAKHINE (Arrahmah.id) – Upaya penyelamatan dan bantuan sedang berlangsung di Myanmar bagian barat laut dan negara tetangga Bangladesh setelah Topan Mocha menerjang daratan, dengan satu kelompok kemanusiaan yang bekerja di wilayah yang terkena dampak mengatakan bahwa ratusan orang telah terbunuh dan beberapa kamp Rohingya hancur.
Topan tersebut -salah satu topan terkuat yang pernah melanda wilayah itu- mendarat pada Ahad (14/5/2023) di antara Sittwe di negara bagian Rakhine, Myanmar, dan Cox’s Bazar di Bangladesh, di mana sekitar satu juta warga Rohingya yang sebagian besar Muslim melarikan diri dari penindasan brutal pada 2017.
Pada Senin malam, rezim militer Myanmar menyatakan Rakhine yang dilanda konflik, yang tidak sepenuhnya mereka kendalikan, sebagai “daerah bencana”, setelah angin berkekuatan 250 kilometer per jam (155 mil per jam) menumbangkan pepohonan dan menara telekomunikasi serta merobohkan atap-atap bangunan, lansir Al Jazeera (16/5).
Hujan deras dan gelombang badai setinggi 3 hingga 3,5 meter (10-11,5 kaki) juga menyebabkan banjir yang meluas di daerah dataran rendah, dan Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNOCHA) mengatakan bahwa telah terjadi kerusakan yang meluas di dalam dan di sekitar Sittwe.
“Laporan-laporan awal menunjukkan bahwa kerusakan yang terjadi sangat luas dan kebutuhan di antara komunitas-komunitas yang sudah rentan, terutama para pengungsi, akan sangat tinggi,” kata UNOCHA dalam sebuah update pada Senin, dan mencatat bahwa komunikasi dengan wilayah tersebut sangat sulit.
Lebih dari dua juta orang tinggal di jalur Topan Mocha, termasuk ratusan dan ribuan orang Rohingya yang masih berada di Rakhine setelah penumpasan tahun 2017 di mana mereka tinggal di kamp-kamp yang kumuh dengan pembatasan yang sangat ketat terhadap pergerakan mereka.
Partners Relief and Development, yang bekerja di Rakhine, mengatakan bahwa kontak Rohingya yang tinggal di dekat Sittwe mengatakan bahwa kamp-kamp mereka hampir hancur dan laporan awal “menghitung jumlah korban tewas mencapai ratusan orang”.
Aung Kyaw Moe, seorang aktivis Rohingya dan penasihat Kementerian Hak Asasi Manusia Pemerintah Persatuan Nasional, mengatakan di Twitter bahwa jumlah korban tewas di Sittwe saja mencapai 400 orang. Dia membagikan video bangunan yang rata dengan tanah, namun tidak menjelaskan lebih lanjut.
Myawaddy Channel milik militer melaporkan pada Senin bahwa tiga orang telah tewas dalam topan tersebut.
Myanmar terjerumus ke dalam krisis setelah militer mengambil alih kekuasaan dari pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi pada Februari 2021, yang memicu protes massa yang berubah menjadi pemberontakan bersenjata.
Orang-orang di Rakhine telah mengalami konflik dan pengungsian selama bertahun-tahun, dengan militer dan United League of Arakan (ULA), sayap politik Tentara etnis Arakan, masing-masing mengklaim kontrol administratif di negara bagian tersebut.
Global New Light of Myanmar yang dikelola pemerintah memuat sebuah laporan dalam edisi Senin yang menunjukkan Kepala Angkatan Darat Jenderal Senior Min Aung Hlaing dalam sebuah pertemuan darurat komite bencana alam.
Pemimpin kudeta tersebut mengatakan bahwa “perlu untuk memberikan bantuan kepada semua warga negara Myanmar tanpa meninggalkan siapa pun.” Namun, Myanmar tidak menganggap warga Rohingya sebagai warga negara.
Media pemerintah melaporkan pada Selasa bahwa sang jenderal telah mengunjungi Sittwe, namun tidak menyebutkan adanya korban jiwa, demikian menurut kantor berita Reuters.
Ratusan ribu orang di Myanmar dan Bangladesh dievakuasi ke tempat-tempat penampungan sebelum topan tersebut.
Sementara kamp-kamp di Bangladesh tampaknya telah lolos dari dampak terburuk topan, ada laporan pada Selasa tentang kebakaran di salah satu pemukiman padat penduduk. (haninmazaya/arrahmah.id)