JAKARTA (Arrahmah.id) – Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang melarang hakim untuk tidak mengabulkan permohonan pernikahan agama tengah menjadi sorotan masyarakat. Beberapa netizen menilai SEMA tersebut memperlihatkan seakan-akan pemerintah terlalu ikut campur dalam urusan rumah tangga.
Menanggapi hal itu, Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengungkapkan bahwa adanya SEMA larangan nikah beda agama bukan berarti negara mencampuri urusan pribadi atau ranah privat.
Menurut Arsul, surat edaran tersebut dikeluarkan sebagai panduan bagi hakim untuk memutuskan adanya permohonan pernikahan beda agama yang diajukan ke Pengadilan.
“Kami di Komisi memandang bahwa SEMA tersebut tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, juga tidak bisa dianggap sebagai alat masuknya negara dalam ranah privat warga negaranya,” kata Arsul pada Jumat (21/7/2023).
Arsul juga memaparkan bahwa tujuan SEMA yang pada pokoknya meminta hakim tidak mengabulkan adanya pernikahan beda agama telah sesuai dengan kesepakatan para pendiri bangsa. Sebab, aturan dan kebijakan yang ada di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan norma agama.
“Substansi yang diatur dalam SEMA tersebut yakni meminta Pengadilan Negeri tidak mengabulkan permohonan penetapan yang mengizinkan perkawinan beda agama adalah hal yang memang menjadi bagian dari kesepakatan bernegara kita yang dicapai oleh para pendiri bangsa dan negara ini,” papar Arsul.
“Nah, sebagai bagian dari kesepakatan bernegara itu adalah tidak boleh ada di negara ini hukum atau kebijakan yang bertentangan dengan agama dan ini juga hakekat dari Pasal 29 Ayat 1 UUD NKRI Tahun 1945,” lanjutnya.
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) secara resmi melarang para hakim di pengadilan untuk mengabulkan pernikahan beda agama.
Keputusan itu dimuat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.
SEMA Nomor 2/2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan resmi diundangkan oleh Ketua MA Muhammad Syarifuddin pada Senin (17/7).
Dalam SEMA tersebut dijelaskan, untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan, para hakim harus berpedoman pada ketentuan sebagai berikut:
- Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan.
-
Pengadilan tidak mengabulkan pemohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan.
(rafa/arrahmah.id)