JAKARTA (Arrahmah.com) – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menilai Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama sebagai orang baik yang sebenarnya mempunyai peluang dan kemampuan untuk memperbaiki sejarah buruk Amerika di masa lalu. Tapi sayangnya dia tidak punya banyak kawan di negerinya sendiri. Sehingga dia harus puas berhenti dalam wawacana.
Dalam kondisi seperti itu, bangsa Amerika pun akan kehilangan kesempatan untuk disukai masyarakat internasional.
“Kasihan Obama. Dia mendapat tantangan yang sangat serius,” kata Anggota DPR RI dari Komisi I Bidang Luar Negeri Muhammad Nadjib kepada hidayatullah.com, Sabtu (6/11/2010). Karenanya, Indonesia diminta tak berharap banyak.
Mengenai rencana kedatangan Obama ke Indonesia pekan depan bulan ini, menurut Nadjib, kunjungan tersebut masih bisa dioptimalkan untuk mengenalkan Indonesia kepada masyarakat internasional dengan segala potensinya.
Khususnya dalam hal ini, lanjut Nadjib, adalah memaksimalkan potensi Indonesia terkait dengan pengembangan potensi ekonomi, investasi, dan Indonesia sebagai tujuan wisata.
Dikatakan Nadjib, hubungan bilateral dengan AS juga perlu ditingkatkan tapi dengan catatan hubungan harus dibangun dalam posisi yang setara dan saling menghormati.
Ia menjelaskan, saat ini Amerika sedang menghadapi krisis ekonomi yang serius akibat perang di Irak dan Afghanistan. Karena itu Indonesia tidak bisa berharap terlalu banyak terhadap AS.
Presiden Obama, kata Nadjib, sebenarnya telah mencoba untuk mengubah politik luar negeri pendahulunya yang cenderung selalu menggunakan kekuatan militer sehingga citra AS dipentas global menjadi sangat buruk.
“Tapi upaya ini ternyata mendapat tantangan sangat serius dari kekuatan dari dalam negerinya sendiri dengan kemenangan Partai Republik dalam pemilu selang beberapa hari lalu,” jelas politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) ini.
Selain itu menurut Nadjib, upaya AS untuk membangun diplomasi perdamaian Timur Tengah telah mandeg di langkah awal karena ketidakmampuannya menekan sikap bandel Israel. Ditambah lagi dengan adanya tekanan dari kelompok garis keras di dalam negeri yang memaksanya untuk menambah pasukan ke Afghanistan, serta memperluas perangnya ke negara Pakistan.
“Hal ini tentu berlawanan dengan visi politik Amerika sendiri,” tukasnya. (hid/arrahmah.com)