JAKARTA (Arrahmah.com) – Program Nasional United Nation Women, atau badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk pemberdayaan perempuan tiba-tiba ikut sibuk mengurusi masalah Peraturan Daerah (Perda) Syariah.
Melalui Koordinator Program Nasional United Nation Women di Jakarta, Dwi Faiz meminta Indonesia untuk segera merevisi sejumlah peraturan daerah (Perda) yang dinilai diskriminatif terhadap perempuan.
Menurut Dwi Faiz, banyaknya Perda yang diskriminatif terhadap perempuan salah satunya disebabkan oleh desentralisasi.
Selain itu, Dwi Faiz juga mendesak pemerintah daerah untuk meningkatkan dialog antar umat beragama maupun organisasi masyarakat sipil sebelum membuat suatu kebijakan.
“Karena saya yakin perda-perda seperti itu adalah buah dari ketiadaan konsultasi yang baik antar berbagai elemen masyarakat di daerah tersebut termasuk diantaranya dan yang paling sering terjadi adalah kelompok perempuan,” ujar Dwi Faiz.
Data Komnas Perempuan menyatakan Perda yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan pada awal tahun 2009 berjumlah 154. Jumlah ini terus bertambah. Hingga akhir September 2010, ada penambahan 35 perda yang juga diskriminatif terhadap perempuan.
Ia juga menilai, beberapa Perda Syariah dianggap diskriminatif terhadap perempuan. Perda tersebut diantaranya perda Aceh (Qanun) mengenai khalwat atau mesum, Perda di Jawa Barat tentang pemberantasan pelacuran, dan Perda di Bulukumba, Sulawesi Selatan yang mengharuskan berpakaian Muslim dan Muslimah serta Perda tentang pelarangan keluar malam bagi perempuan di Tanggerang.
Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar mengungkapkan pihaknya pada tahun 2011 ini akan segera menyempurnakan naskah parameter gender untuk para pembuat kebijakan.
“Jadi kalau naskah parameter gender ini sudah ada untuk digunakan oleh para legal drafter, seluruh kebijakan-kebijakan di pemerintah daerah karena ini otonomi daerah pasti akan mengacu kepada naskah parameter gender bagi legal drafter ini sehingga kita mengurangi terjadinya perda-perda yang bias gender,” ujar Linda Gumelar.
Komnas Perempuan juga menyatakan saat ini terdapat sekitar 20 rancangan peraturan daerah yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan.
Protes Menag
Sebelum ini, LSM dan kalangan gereja tiba-tiba ikut tersengat kepada Kementrian Agama (Kemenag) setelah Menteri Agama memberikan penghargaan kepada gubernur, bupati dan walikota yang telah memasukkan unsur pendidikan Islam ke dalam Peraturan Daerah (Perda).
Para aktivis gereja juga menuduh, pemberian penghargaan oleh Menag itu sebagai hal yang berbahaya.
“Penghargaan itu sangat berbahaya bagi bangsa karena peraturan-peraturan itu mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan UU 1945,” kata Romo Antonius Benny Susetyo, sekretaris eksekutif Komisi HAK Konferensi Waligereja Indonesia kepada ucanews.com tanpa menjelaskan di mana letak bahayanya dan yang bertentangan dengan UU 1945.
Sebagaimana diketahui, pada 3 Januari di kantornya di Jakarta, Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag) memberikan hadiah kepada pemerintah kabupaten dan provinsi yang dianggap berprestasi meningkatkan kegiatan-kegiatan keagamaan melalui pendidikan dan juga melalui Perda-Perda Syariah.
Ismail Hasani, koordinator riset Setara, bahkan menuduh Suryadharma Ali lebih kental politiknya karena berasal dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
“Pak Suryadharma Ali terlampau aktif mengkampanyekan tafsir kebebasannya tentang agama dan keyakinan, ” katanya. Ismail menambahkan, warna sekteriannya lebih kental dibanding warna nasionalnya.
Sementara itu, seorang juru bicara Kementerian Agama membantah adanya keberpihakan dalam pemberian hadiah ini. “Dirjen-dirjen lain yang ingin melakukan hal yang sama, boleh saja, ” katanya.
Desember lalu, lembaga HAM internasional, Human Rights Watch (HRW) juga ikut melakukan tekanan terhadap pemerintah Indonesia. HRW mendesak agar Presiden SBY bisa membatalkan undang-undang ‘qanun’ yang telah berlaku di Aceh.
Menurut HRW, Peraturan Daerah Syariat Islam di Aceh melanggar hak asasi manusia, mendiskriminasi perempuan dan membuka peluang terjadinya kekerasan massal. Aneh juga, ketika PBB tak bersuara terhadap masalah Palestina, malah sibuk campur tangan Perda Syariah. (hid/arrahmah.com)