(Arrahmah.com) – Kuliah Shubuh di Masjid Al Munawarah, Sabtu 2Januari 2016. oleh: Al Ustadz Muhammad Thalib, membahas Qs. Al Baqarah ayat 170-171
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
“Bila ada orang berkata kepada kaum kafir: “Wahai kaum kafir, ikutilah ajaran yang telah Allah turunkan kepada Muhammad.” Mereka menjawab: “Kami telah mengikuti ajaran yang kami peroleh dari nenek moyang kami dahulu.” Wahai Muhammad, katakanlah: “Apakah kaum kafir tetap akan mengikuti ajaran nenek moyang mereka sekalipun nenek moyang mereka tidak mengetahui syari’at halal atau haram sedikit pun, dan mereka itu bodoh?” (QS Al-Baqarah (2) : 170)
Ayat ini, di zaman Nabi Muhammad Shallalahu aalihi wa,sallam sesungguhnya ditujukan kepada kaum kafir dan musyrik. Bahwa orang-orang kafir menolak mengikuti ajaran Nabi Muhammad dengan alasan mereka telah memiliki aturan dan pola hidup yang diwariskan nenek moyangnya.
Namun di zaman modern ini, bukan saja orang kafir yang menolak Alqur’an dan Sunnah Rasulullah Shallalahu aalihi wa,sallam. Tapi juga umat Islam, bahkan dianjurkan oleh mereka yang digelari sebagai Ustadz, Kyai, dan Ulama. Alasannya, persis sama dengan alasan orang kafir zaman dulu.
Berapa banyak Kyai di zaman ini yang menolak melaksanakan syariat Islam di lembaga negara, dengan alasan menghidupkan budaya nenek moyang, melestarikan kearifan budaya lokal. Untuk kepentingan ini, mereka tidak segan melakukan kebohongan sejarah. Mereka mengatakan, upaya melestarikan budaya ini merupakan metode dakwah yang dilakukan oleh Walisongo.
Padahal para Walisongo yang terdiri dari delapan orang ulama dari Arab dan seorang dari Jawa, yaitu Sunan Kalijogo, mendakwahkan ajaran tauhid di tengah tengah masyarakat Hindu dan Budha di bawah kerajaan Majapahit.
Kelahiran kerajaan Islam Demak, kemudian kerajaan Islam Cirebon dll dibidani oleh para wali ini. Bagaimana mungkin mereka digambarkan mengikuti budaya Hindu dan Buda dalam mendakwahkan Islam? Inilah manipulasi sejarah yang dilakukan sebagian Kyai Muslim sebagai pembenaran atas kesesatan paham mereka.
Bukannya mereka menghidupkan Qur’an dan sunnah, malah menghidupkan budaya syirik yang diwariskan nenek moyang.
Misalnya, sejumlah kyai membenarkan prilaku musyrik Bupati Purwakarta yang ingin menghidupkan budaya Pasundan, mendirikan patung, dan acara syirik di kadipaten. Masyarakat Muslim di Purwakarta menolak segala bentuk kemusyrikan yang dilakukan sang bupati. Tapi Si Kyai malah memperkuat kemusyrikan bupati tersebut dengan memperalat jabatannya.
Contoh lain lagi, insiden lagu Natal yang diikuti alunan adzan di Indonesia bagian Timur. Prilaku yang melecehkan Islam ini mendapat respon dan komentar positif, sebagai percampuran budaya, oleh sejumlah Kyai dan tokoh Islam. Aneh, perbuatan yang menghina Islam tidak dilarang, tapi ajakan melaksanakan Syariat Islam justru dipersoalkan. Adzan dikumandangkan untuk menyeru umat Islam shalat berjamaah, bukan mengiringi lagu natal.
Perilaku menyesatkan ini, sebenarnya bukan terjadi sekarang saja. Pada tahun 50-an, Kiyai Sirajudin dari Wonosobo, bukan saja berfatwa untuk melestarikan budaya warisan nenek moyang, lebih berbahaya lagi malah mendukung PKI. Menteri Agama, Syaifuddin Zuhri, ayah dari Menag Lukman Hakim Syaifuddin, juga mendukung Nasakom, yang ternyata malapetaka politik bagi Indonesia.
Jika benar budaya lokal memiliki kearifan, mengapa Nusantara bisa dijajah 350 tahun oleh kolonial Belanda? Manakah jasa budaya untuk memperbaiki Indonesia? Justru atas nama budaya memunculkan komunusme, aliran sesat, dekadensi moral, bydaya maksuat dan berbagai kerusakan lainnya.
Akan tetapi, walaupun musuh Islam melakukan makar, umat Islam tidak perlu terlalu khawatir. Kita sudah berpengalaman di zaman Nasakom pimpinan Sukarno dan Asas Tunggal Pancasila di bawah rezim Suharto. Islam tetap eksis, dan mereka jatuh terhina.
Oleh karena itu, selama umat Islam berpegang teguh pada Qur’an dan sunah Nabi, Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti menolong kita. Menjadi kewajiban umat Islam untuk berjuang menegakkan Syariat Islam di lembaga negara, dan menyadari orang kafir dari golongan Yahudi, Nasrani akan terus bersekongkol dengan komunis, Syiah dan aliran sesat untuk mendominasi kekuasaan negara. Dan Umat Islam terus menerus menjadi mayoritas yang dimarjinalkan di dalam pemerintahan.
Notulen: Ustadz Irfan S Awwas.
(*/arrahmah.com)