Oleh Ine Wulansari
Ibu Rumah Tangga
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan, Indonesia akan dilanda kekeringan panjang akibat fenomena El Nino yang kemungkinan terjadi pada bulan Juli hingga akhir 2023. Menurut Aryo Prasetyo Prakirawan BBMKG wilayah 1 Medan, mengingatkan masyarakat untuk menghemat penggunaan air dan memaksimalkan cadangan air.
Fenomena El Nino terjadi karena dipengaruhi oleh suhu muka air laut di Samudra Fasifik dan Indian Ocean Dipole yang dipengaruhi oleh suhu di Samudra Hindia. Hal tersebut menyebabkan semakin berkurangnya curah hujan di sebagian wilayah Indonesia pada semester kedua tahun ini. Sebagian wilayah lainnya, akan mengalami curah hujan dengan intensitas di bawah normal. (katadata.co.id, 11 Juni 2023)
BMKG Makassar telah memprediksi beberapa wilayah di Indonesia akan mengalami musim kemarau ekstrem, tak terkecuali Provinsi Sulawesi Selatan yang berbatasan langsung dengan Selat Makassar. Hal ini terjadi sebagai dampak yang diakibatkan El Nino. Begitu juga dengan Pantai Barat, secara signifikan akan berdampak terhadap kekeringan ekstrem. Mulai dari Kabupten Pinang, Parepare, Barru, Pangkep, Maros, Makassar, Gowa sebagian, Takalar, Jeneponto, dan Selayar. Tentu saja, kekeringan ini akan sangat berpengaruh terhadap sektor pertanian dan ketahanan pangan Sumatera Selatan. (antaranews.com, 10 Juni 2023)
Sementara itu, Kepala Stasiun Klimatologi BMKG Yogyakarta Reni Kraningtyas menyebut, ada sembilan wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta berstatus waspada kekeringan meteorlogis. Hal ini mengacu pada hasil pemantauan curah hujan, yang menyebabkan peluang di kesembilan wilayah itu mencapai 70 persen. Sembilan Kecamatan telah mengalami hari tanpa hujan selama 21 hari. Tentu saja, ancaman kekeringan berpotensi menimbulkan sejumlah dampak pada sektor pertanian. Selain itu, ketersediaan air tanah berkurang, terjadi kelangkaan air bersih, dan lain sebagainya.
Ancaman kekeringan akibat fenomena El Nino yang melanda pada sebagian wilayah Indonesia, merupakan suatu keniscayaan di tengah terjadinya perubahan iklim dan segala konsekuensinya. Tentu saja hal ini akan memberi dampak jika kekeringan yang terjadi dalam kurun waktu lama. Terutama pada sektor pertanian yang masih mengandalkan sistem tadah hujan. Sehingga, kekeringan ini akan menyebabkan berkurangnya ketersediaan air di tanah dan kelangkaan air bersih akan terjadi. Dampak selanjutnya adalah masalah pada ketahanan pangan.
Seperti yang kita tahu, ketahanan pangan Indonesia masih semrawut lantaran impor pangan yang menggila. Berbagai komoditas baik beras, gula, jagung, dan lainnya, masih mengandalkan pada impor. Apalagi jika kekeringan ini benar-benar melanda. Sayangnya, bukan solusi bijak yang disuguhkan untuk masyarakat melainkan kebijakan di luar akal sehat yang dikeluarkan pemerintah. Seharusnya negara mampu mengantisipasi secara maksimal ketika kekeringan ini terjadi, yang ada justru kebijakannya merugikan masyarakat juga. Salah satu kebijakan negara yang menimbulkan dampak buruk adalah pembabatan hutan dan konsesi hutan.
Konsesi di Indonesia dikenal sebagai HPH (Hak Pengusahaan Hutan) atau dalam peraturan baru (PP 34 Tahun 2022) disebut izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu. Pemberian hak, izin, atau tanah dilakukan oleh pemerintah. Konsesi ini diterapkan pada pembukaan tambang dan penebangan hutan. Model konsesi umum digunakan pada kemitraan pemerintah swasta (KPS) atau kontrak bagi hasil.
Melihat kenyataan tersebut, diduga bahwa kebijakan negara berpihak pada para pemilik modal. Di mana, hutan sebagai harta kekayaan milik umum yang sejatinya dikelola dan diperuntukkan hasilnya untuk rakyat. Namun hal tersebut tidak berlaku, selama negara menetapkan sistem Kapitalisme Liberalisme yang mengusung kebebasan bertindak dan berperilaku sesuai kepentingan segelintir orang bukan kepentingan rakyat.
Hutan sebagai paru-paru dunia, ditangan pihak swasta atau asing pada akhirnya akan beralih fungsi. Awalnya hutan ini mampu menyerap air hujan, ketika dibabat karena kebijakan buruk maka fungsi hutan tidak akan maksimal, yang ada justru berbagai bencana seperti longsor akan menghantui masyarakat. Ditambah lagi ketika gejala kekeringan mengancam, dapat dipastikan serapan air dan cadangan air bersih tidak akan optimal. Dengan demikian, selama aturan kehidupan Kapitalisme Liberalisme diberlakukan, kepentingan rakyat akan diabaikan. Antisipasi dalam menghadapi ancaman kekeringan hanya angan-angan belaka.
Islam sebagai agama yang memiliki aturan paripurna, hadir membawa rahmat bagi seluruh alam. Dalam Islam, pemimpin atau kepala negara bertanggungjawab menjaga dan mengayomi rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.” Imam atau khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR. Muslim dan Ahmad).
Merujuk pada hadits ini, penguasa sudah seharusnya memberikan seluruh hak-hak rakyat tanpa terkecuali. Apalagi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, dan papan. Negara berkewajiban menjamin berbagai hal menyangkut hajat hidup rakyat, seperti kesehatan, keamanan, pendidikan, pekerjaan, termasuk di dalamnya pencegahan, dan penanggulangan bencana.
Fenomena alam seperti kekeringan, merupakan bagian dari bencana yang saat terjadi dibutuhkan kesabaran dan keikhlasan kita. Akan tetapi, harus ada upaya optimal yang dilakukan baik oleh individu, masyarakat, dan negara selaku pembuat kebijakan. Saat Islam hadir akan membentuk pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab dalam mengurusi rakyat, terhitung di dalamnya mengantisipasi fenomena kekeringan jika melanda.
Dalam Islam, bisa jadi alih fungsi hutan dilakukan. Namun, hal tersebut dilangsungkan secara tepat guna dan tepat sasaran. Juga bukan semata-mata karena kepentingan para kapital, apalagi jika harus membabat hutan-hutan primer secara brutal. Seperti kita ketahui, bahwa hutan primer merupakan paru-paru dunia yang tak tergantikan. Maka dari itu, sebagai harta milik umum Daulah akan menjaga, memelihara, dan melestarikan demi menjaga kestabilan kehidupan umat manusia. Jika dibutuhkan menebang kayu, bukan tanpa kepentingan. Daulah pun akan mereboisasi agar kelestarian hutan tetap terjaga baik.
Pengelolaan sumber daya alam akan ditunaikan dengan sebaik-baiknya. Tentu saja untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir para pemilik modal baik asing atau swasta. Oleh karena itu, ketika dunia dipimpin oleh Islam yang menerapkan aturan yang bersumber dari Allah Ta’ala, maka akan lahir para pemimpin berkelas. Segala kebijakan yang diterapkan akan berpihak pada rakyat. Tentu saja tujuannya membawa rakyat pada kehidupan sejahtera di bawah naungan Daulah Islam.
Semestinya kita sadar, bahwa sistem Kapitalisme telah menzalimi masyarakat luas. Bukan hanya merusak, akan tetapi menjadikan para pemimpinnya membuat kebijakan yang merugikan rakyat. Maka pantas jika persoalan kekeringan yang melanda tak akan mampu diantisipasi bahkan diatasi, selama sistem rusak ini diterapkan kebijakan pro rakyat hanyalah khayalan belaka.
Waalahua’lam bish shawab.