Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
(Ahli Teori Hukum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia)
(Arrahmah.id) – Tulisan ini disarikan dari keterangan lisan dan tertulis penulis saat memberikan keterangan sebagai Ahli Teori Hukum pada sidang Mahkamah Konstitusi. Tanggal 1 Nopember 2022. Diajukan oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) selaku Pihak Terkait. Perkara Uji Materi (Judicial Review) Pasal 2 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Terhadap Pasal 28D ayat (1) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Perkara uji materi perihal perkawinan beda agama yang dimohonkan Ramos Petege kepada Mahkamah Konstitusi telah memasuki tahap akhir. Tujuh hari ke depan agenda kesimpulan dan setelah itu menunggu putusan.
Diketahui Ramos Petege pemeluk agama Katolik yang hendak melangsungkan perkawinan dengan muslimah. Namun, perkawinan itu terhalang oleh persyaratan “tidak sahnya perkawinan beda agama”. Dirinya merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak dapat melangsungkan perkawinan tersebut.
Pemohon juga merasa dirugikan karena kehilangan kemerdekaan dalam memeluk agama dan kepercayaan karena apabila ingin melakukan perkawinan beda agama, akan ada paksaan bagi salah satunya untuk menundukkan keyakinan. Selain itu, Pemohon juga kehilangan kemerdekaan untuk dapat melanjutkan keturunan dengan membentuk keluarga yang didasarkan pada kehendak bebas.
Kemudian, Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyebutkan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan menyebutkan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan memberikan pembatasan yakni, “Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”
Terhadap permohonan a quo, maka dipandang perlu disampaikan pendapat hukum terkait dengan konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan. Keberlakuan Undang-Undang Perkawinan dapat ditinjau dari empat landasan, yakni filosofis, teoretis, yuridis dan sosiologis.
Pertama; secara filosofis. Indonesia bukan negara yang netral agama, tidak pula didirikan di atas dasar salah satu agama atau negara agama. Namun, Indonesia merupakan negara beragama dengan menganut paradigma simbiotik. Hal ini ditemui dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi, ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Sebagai negara beragama, maka bagi setiap umat beragama dalam menjalankan ibadahnya dijamin oleh negara sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 29 UUD 1945. Salah satu bentuk ibadah umat Islam dalam rangka menjalankan keyakinan agama adalah melangsungkan perkawinan.
Menyangkut Sila Pertama Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945, Ismail Suny mengatakan bahwa sistem ketetanegaraan Indonesia mengakui tiga bentuk kedualatan, yakni kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum dan kedaulatan Tuhan. Dengan demikian seluruh hukum yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan hukum Tuhan.
Dalam kaitannya dengan Undang-Undang Perkawinan, maka ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan ditinjau Maslahah-Mursalah dan Al Maqashid Syariyah sangat berkesesuaian. Didalamnya mengandung lima kemaslahatan primer (dharuriyyatul khams), yakni yakni hifdzud-din (menjaga agama), hifdzun-nafs (menjaga jiwa), hifdzun-nasl (menjaga keturunan), hifdzul-maal (menjaga harta), dan hifdzul-aql (menjaga akal). Menjaga agama, menjaga keturunan dan menjaga harta berkorespondensi dengan norma dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan.
Abu Zahrah menyatakan bahwa tujuan hakiki Islam adalah kemaslahatan. Tidak ada satu aturan pun dalam syariah baik dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah melainkan di dalamnya terdapat kemaslahatan. Menurut Mohammad Daud Ali, bahwa tujuan hukum Islam secara umum adalah tercapainya kebahagiaan hidup manusia di dunia dan diakhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat.
Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial. Dapat dipahami bahwa serangkaian aturan yang telah digariskan oleh Allah SWT adalah untuk membawa manusia dalam kondisi yang baik dan menghindarkannya dari segala hal yang membuatnya dalam kondisi yang buruk, tidak saja di kehidupan dunia namun juga di akhirat.
Lebih lanjut, menurut syariat Islam perkawinan memiliki tujuan guna membentuk keluarga yang sakinah, mawadah dan warrahmah, sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Ar-Rum: 21.
Untuk membentuk keluarga yang demikian, maka bagi umat Islam terlarang melakukan pernikahan beda agama. Larangan tersebut sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 221 dan Surah Al-Mumtahanah ayat 10. Bagaimana mungkin terwujud keluarga yang sakinah, mawadah dan warrahmah jika perkawinan yang dilakukan oleh umat Islam berbeda agamanya.
Allah SWT menurunkan syariat bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan dan menghindari kemadaratan. Sebagaimana kaidah yang menyatakan “dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih”, yang bermakna mencegah kerusakan lebih didahulukan ketimbang mengupayakan kemaslahatan. Dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Perkawinan ditinjau secara fiosofis selaras dan sejalan dengan cita hukum Pancasila.
Kedua; secara teoretis. Ditinjau dari perspektif teoretis, Undang-Undang Perkawinan memiliki landasan teori yang sangat kuat. Indonesia yang menganut paradigma simbiotik, memberikan jaminan bagi kelangsungan ajaran agama.
Sejalan dengan itu, terdapat dua identitas yang memerlukan perlindungan, yakni agama dan individu sebagai penganut agama di satu sisi. Di sisi lain, negara berperan dalam memberikan perlindungan baik terhadap agama dan individu-individunya. Paradigma simbiotik menunjukkan hubungan antara negara dan agama berjalan secara sinergis.
Imam Ghazali mengisyaratkan hubungan antara agama dan negara. Bahkan, Imam Ghazali ra berpendapat bahwa agama dan negara adalah saudara kembar yang lahir dari satu ibu.
Begitu dekatnya hubungan agama dan negara, sampai-sampai ia mengatakan, “agama adalah dasar dan sultan adalah penjaganya.” Hubungan simbiotik antara agama dan negara dengan jelas diutarakan oleh al-Ghazali sebagai teori ketergantungan, agama memerlukan negara dan negara memerlukan agama.
Imam Mawardi dalam kitabnya al-Ahkam al-Sulthaniyah, menegaskan bahwa kepemimpinan negara merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia. Pemeliharaan agama dan pengaturan merupakan dua aktifitas yang berbeda, tetapi berhubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian.
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan negara, maka agama tidak bisa berdiri tegak.
Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara negara dan agama merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum agama.
Dari uraian di atas terlihat relasi negara dan agama, bahwa antara negara dan agama saling memerlukan dan menguntungkan. Dalam hal ini agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang.
Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual. Karena sifatnya yang simbiotik, maka hukum agama mempunyai peluang untuk mewarnai hukum-hukum negara (hukum positif). Bahkan dalam hal tertentu tidak menutup kemungkinan hukum agama dijadikan sebagai hukum negara.
Hukum Islam dalam tata hukum nasional diakui sebagai sebuah sistem hukum yang dapat dijadikan bahan bagi pembentukan hukum nasional. Salah satu produk legislasi yang mengandung muatan agama adalah Undang-Undang Perkawinan.
Menurut teori solvasasi hukum (pelarutan hukum) – yang penulis gagas – menempatkan Al-Maqashid Syariyah sebagai suatu kebutuhan dan berdayaguna dalam upaya menjaga kepentingan agama dan negara.
Teori solvasisasi (pelarutan) hukum meneguhkan undang-undang yang terkait dengan perlindungan terhadap agama, keturunan, jiwa, akal dan harta. Keberadaan teori solvasisasi hukum mengakomodasi kepentingan agama dan negara.
Terciptanya hubungan kooperatif antara Al-Maqashid Syariyah dengan hukum positif adalah manifestasi relasi negara dan agama dalam paradigma negara simbiotik. Perspektif teori solvasisasi hukum dalam kaitannya dengan keberadaan Undang-Undang Perkawinan sangat terkait dengan teori receptio in complexu, receptio a contrario, lingkaran konsentris, eksistensi hukum Islam dan pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralisme).
Teori receptio in complexu sebagai teori pertama diperkenalkan oleh Lodewijk Willem Christian van Den Berg. Teori ini menyatakan keberlakuan hukum agama sesuai dengan yang diimaninya.
Bagi pemeluk agama Islam, maka secara langsung hukum Islam yang berlaku baginya. Pada masa kolonial diberlakukan hukum Islam bagi umat Islam, khususnya tentang hukum perkawinan dan hukum waris, sebagaimana terdapat dalam Resolutie der Indische Regeering (Compendium Freijer) dan Pasal 75 Regeering Reglement.
Teori receptio a contrario oleh Sayuti Thalib. Dinyatakan bahwa bagi orang Islam berlaku hukum Islam. Hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita batin, dan moralnya. Kemudian, berlakunya hukum adat bagi orang Islam, jika tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam.
Teori lingkaran konsentris diperkenalkan oleh Muhammad Tahir. Teori ini didasarkan pada ajaran Islam yang tidak mengenal dikotomi, baik antara agama dan negara maupun antara agama dengan hukum. Hal ini berbeda dengan pemikiran Barat yang memisahkan agama dari negara dan hukum.
Dalam teori lingkaran konsentris, ketiga komponen yakni agama, hukum, dan negara, apabila disatukan akan membentuk lingkaran konsentris yang merupakan suatu kesatuan dan berkaitan erat satu dengan lainnya.
Kemudian teori eksistensi yang menegaskan bahwa hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional, diakui dan berhubungan dengan hukum nasional dalam pembentukan hukum.
Menurut teori penerimaan otoritas hukum yang diperkenalkan oleh seorang orientalis, H.A.R. Gibb, dikatakan bahwa secara sosiologis, orang yang memeluk Islam akan menerima otoritas hukum Islam dan taat dalam menjalankan syariat Islam.
Diakui olehnya bahwa hukum Islam telah memegang peranan yang sangat penting dalam membentuk serta membina ketertiban sosial umat Islam dan mempengaruhi segala segi kehidupannya. Hukum Islam telah berfungsi sebagai pengatur kehidupan rohani dan sekaligus pula menjadi suara hati nurani umat Islam.
Selanjutnya teori pluralisme hukum yang kuat. Pada dasarnya pluralisme hukum tidak melihat secara dikotomis antara hukum negara dengan hukum adat, maupun hukum agama.
Pada pluralisme hukum derajat kuat, kedudukan hukum agama diakui keberadaannya dan tidak dianggap lebih rendah dari hukum negara (hukum positif). Hukum agama dapat menjadi hukum positif. Menurut Brian Z. Tamanaha keberagaman produk undang-undang yang mengatur hukum agama merupakan bagian dari fenomena pluralisme hukum.
Dalam pandangan postmodern, tidak mengakui adanya satu hukum saja (undang-undang). Postmodern berusaha membuat banyak alternatif lain yang menolak ketunggalan satu sistem hukum dalam pembentukan undang-undang, melainkan terdapat beberapa sistem hukum seperti, hukum adat dan hukum agama yang harus diterima.
*Ketiga; secara yuridis.* Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi, ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” merupakan penegasan kembali dari Sila pertama Pancasila. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 merupakan kewajiban negara untuk memberikan jaminan kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.
Jika Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya merupakan hak setiap warga negara, maka Pasal 29 ayat (2) merupakan kewajiban negara untuk memberikan jaminan terhadap ketentuan tersebut.
Atas dasar norma hukum konstitusi yang mengatur mengenai agama, merupakan mandat yang harus dilakukan oleh penyelenggara negara untuk membuat norma hukum yang berisi jaminan bagi setiap orang untuk memperoleh pelindungan hukum terhadap agamanya.
Diakui bahwa negara tidak boleh mencampuri urusan doktrin agama. Namun, negara dapat melakukan pembatasan-pembatasan tertentu melalui undang-undang yang tidak berarti mendiskriminasi, melainkan untuk melindungi kepentingan agama.
Dengan demikian dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang tetap melekat pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Disebutkan pembatasan diadakan salah satunya menunjuk pada nilai-nilai agama.
Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 8 huruf e Undang-Undang Perkawinan Undang-Undang Perkawinan tidaklah bertentangan dengan Undang-Undang 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan “Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.
Demikian itu mengandung makna bahwa perkawinan yang sah adalah menunjuk pada ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan. Undang-Undang Perkawinan menunjuk pada agama masing-masing.
Menurut fiqih munakahat, dalam pernikahan terdapat berbagai persyaratan agar pernikahan menjadi sah. Pernikahan yang sah bagi umat Islam menunjuk pada syarat dan rukun. Syarat mendahului rukun. Tidak akan pernah tercapai rukun nikah, jika tidak terpenuhi syarat.
Salah satu syarat perkawinan adalah calon suami dan istri harus beragama Islam. Syarat demikian juga dijumpai dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan diberlakukan guna memastikan perkawinan yang sah sesuai dengan agamanya masing-masing. Demikian itu juga terhubung dengan ketentuan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan yang menentukan adanya pelarangan perkawinan.
Tidak dipenuhinya ketentuan tersebut, maka perkawinan tersebut tertolak alias tidak mendapatkan pengakuan dari negara.
Dalam konsiderans Undang-Undang Perkawinan disebutkan, “bahwa negara menjamin hak warga negara untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.
Secara a contrario, terhadap perkawinan yang tidak sah (in casu beda agama), maka negara tidak dapat memberikan jaminan. Jaminan dimaksud menunjuk pada kepastian hukum dalam hal hak-hak keperdataan yang akan timbul, seperti hak atas waris dan wali nikah.
Kedua hal tersebut terhubung dengan lima kemaslahatan primer yakni menjaga keturunan dan menjaga harta. Disinilah pentingnya dilakukan pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.
Menurut ajaran Islam, perkawinan beda agama adalah tergolong perkawinan yang bathil. Maksudnya, dari semenjak dianggap tidak pernah ada perkawinan tersebut.
Status demikian, lazim disebut “batal demi hukum”, dan bersifat imperatif. Selanjutnya, menyangkut tentang pencatatan perkawinan, terdapat suatu kaidah fikih “ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajibun” (kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib).
Bila dikaitkan dengan ketentuan pencatatan terhadap perkawinan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, maka pencatatan tersebut adalah juga tergolong sesuatu yang hukumnya wajib.
Menurut Ronald Dworkin bahwa masalah hukum tidak hanya dipastikan oleh kekuatan fakta sosial, tetapi juga oleh prinsip-prinsip. Artinya, hukum itu tidak bersandar pada aturan-aturan saja, tapi juga prinsip-prinsip. Prinsip-prinsip merupakan bagian dari hukum.
Menurutnya, prinsip memiliki dimensi kadar. Jika terdapat pertentangan, maka metode yang tepat untuk memecahkan suatu masalah adalah memilih prinsip yang memiliki kadar yang lebih kuat dan mengabaikan prinsip yang kadarnya lemah.
Ketentuan persyaratan dan pembatasan perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkawinan didasarkan pada prinsip ajaran agama (baca: Islam). Prinsip ajaran agama diakui dalam konstitusi. Demikian itu memiliki dimensi kadar yang paling tinggi dibandingkan dengan prinsip lainnya.
Menjadi jelas bahwa Undang-Undang Perkawinan memiliki landasan yuridis yang kokoh. Pembentukannya didasarkan atas kaidah yang lebih tinggi tingkatannya.
Menurut Ronald Dworkin bahwa masalah hukum tidak hanya dipastikan oleh kekuatan fakta sosial, tetapi juga oleh prinsip-prinsip. Artinya, hukum itu tidak bersandar pada aturan-aturan saja, tapi juga prinsip-prinsip.
Prinsip-prinsip merupakan bagian dari hukum. Menurutnya, prinsip memiliki dimensi kadar. Jika terdapat pertentangan, maka metode yang tepat untuk memecahkan suatu masalah adalah memilih prinsip yang memiliki kadar yang lebih kuat dan mengabaikan prinsip yang kadarnya lemah. Ketentuan persyaratan dan pembatasan perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkawinan didasarkan pada prinsip ajaran agama (baca: Islam).
Prinsip ajaran agama diakui dalam konstitusi. Demikian itu memiliki dimensi kadar yang paling tinggi dibandingkan dengan prinsip lainnya.
Menjadi jelas bahwa Undang-Undang Perkawinan memiliki landasan yuridis yang kokoh. Pembentukannya didasarkan atas kaidah yang lebih tinggi tingkatannya.
Keempat; secara sosiologis. Ditinjau dari sudut sosiologis, Undang-Undang Perkawinan memberikan jaminan kepastian hukum bukan saja terhadap pasangan suami-istri, namun juga terhadap anak yang dilahirkan, sepanjang anak yang dilahirkan tersebut dalam perkawinan yang sah.
Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan, “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.
Jaminan kepastian hukum juga ditujukan terhadap harta bersama, ketika perkawinan putus karena perceraian.
Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan, “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.”
Pada penjelasannya disebutkan, “Yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Konsekuensi hukum bagi pasangan beda agama adalah tidak berhak untuk saling mewarisi, karena perkawinan tersebut terlarang dan tidak sah (batal demi hukum).
Konsekuensi perkawinan beda agama juga akan menimbulkan akibat hubungan nasab. Hal ini disebutkan dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan, “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Hal yang sama terdapat dalam syariat Islam. Ayah biologisnya itu tidak punya hubungan nasab dengan anak diluar perkawinan. Anak diluar perkawinan tidak dapat dikategorikan sebagai anak sah dan ini berpengaruh terhadap hak waris dan wali nikah.
Anak tersebut terlarang mendapatkan warisan dari ayah biologisnya. Ketika si anak berkelamin perempuan dan mau menikah, maka ayah biologisnya terlarang menjadi wali nikah.
Perkawinan beda agama menurut hukum Islam adalah haram (zina). Telah menjadi kebiasaan di masyarakat terhadap anak diluar perkawinan yang sah sering disebut dengan istilah “anak zina” atau anak “haram jadah”.
Walaupun yang berdosa adalah kedua orang tuanya, namun sebutan itu membawa beban psikologis yang mendalam. Demikian itu membuktikan bahwa perkawinan yang tidak sah (in casu beda agama) termasuk yang dicela oleh masyarakat.
Sesuatu yang tercela dalam pandangan masyarakat termasuk perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk) yang bersifat materiil. Maksudnya, meskipun perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai atau bertentangan dengan nilai agama, maka perbuatan itu dapat dipidana.
Sebagai penutup dapat disampaikan bahwa perkawinan yang sah menurut ajaran Islam adalah yang telah memenuhi syarat dan rukun.
Kedua unsur tersebut bersifat mendasar dan tidak boleh ditinggalkan. Perkawinan beda agama adalah sesuatu yang terlarang.
Ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 29 UUD 1945.
Jika permohonan uji materi (in casu perkawinan beda agama) dikabulkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, maka hal tersebut sama saja dengan melegalkan perzinahan.
Perkawinan beda agama adalah dosa besar dan menimbulkan kemudaratan yang berkelanjutan. Legalisasi perkawinan beda agama mengundang murka Allah SWT.
Jakarta, 2 Nopember 2022.
(*/arrahmah.id)