(Arrahmah.com) – Majelis Konstituante Mesir mempertahankan pokok-pokok hukum Islam sebatas sebagai sumber utama hukum, Jumat (30/11). Hal ini tampak dalam pasal 2 RUU Mesir yang menyatakan : Islam adalah agama negara (al Islamu dinu ad daulah) , bahasa Arab merupakan bahasa resmi negara, dan prinsip-prinsip syariah Islam (mabadi`u asysyari’ah al Islamiyah) menjadi sumber utama pembuatan hukum (al mashdar arro`iisiy littasyrii’) .
Majelis Konstituante berarti mempertahankan posisi hukum Islam dalam negara Mesir sebagaimana UUD pada rezim sebelumnya. Bekas diktator Husni Mubarak juga memasukkan “prinsip-prinsip Syariah” di dalam konstitusi meski dia hanya memanfaatkan itu sebagai alat legitimasi keagamaan.
Penggunaan prinsip-prinsip syariah Islam ( bukan secara tegas menyatakan syariah Islam) dan menjadikannya sebagai sumber hukum utama (bukan satu-satunya sumber hukum ) menunjukkan bahwa Mesir bukanlah negara Islam. Mengingat yang disebut negara Islam haruslah menjadikan syariah Islam sebagai satu-satunya sumber hukum.
Pasal ini bisa disebut merupakan hasil kompromi dari kelompok yang ingin secara tegas menyatakan syariah Islam sebagai satu-satunya sumber hukum dan kelompok sekuler liberal yang menolak Mesir menjadi negara Islam.
Kelompok Salafi awalnya menuntut pelaksanaan langsung Syariah, tidak hanya “prinsip-prinsipnya.” Namun hal ini ditolak oleh kelompok liberal karena akan menjadikan Mesir menjadi negara Islam.
Seperti yang dikatakan Mohamed Zaraa pimpinan di Institut Kairo untuk Hak Asasi konsekuensi pasal baru itu: “akan mengubah konsep negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat menjadi sebuah negara Islam.”
Meskipun sudah cukup kompromistis, kelompok liberal tetap menunjukkan sikap Islamophobia dan anti syariah Islam. Mereka menyoal pasal baru dalam Draft UUD tentang peran Universitas al Azhar. Berdasarkan pasal 4 draft UUD ini setiap hal yang berkaitan dengan syariah Islam harus dikonsultasikan dahulu kepada institutsi al Azhar.
Menurut Mohammed Zaraa, kini tergantung kepada Universitas Islam Al Azhar untuk memutuskan apakah pasal dalam rancangan konstitusi itu sejalan dengan hukum Islam atau tidak. Menurutnya, itu berarti sebuah lembaga keagamaan akan berdiri di atas parlemen yang terpilih secara demokratis.
“Saat Al Azhar mengatakan bahwa sebuah hukum tidak sesuai dengan Syariah, sementara Syariah adalah dasar hukum utama di negara ini, maka hukum itu akan dianggap inkonstitusional dan tidak bisa diloloskan ke parlemen,” ujarnya.
Mengokohkan Mesir Sebagai Negara Demokrasi
Penegasan Mesir bukanlah negara Islam tampak draft RUU ini yang mengokohkan Mesir sebagai negara republik dengan sistem demokratis. Dalam pasal pertama ditegaskan bahwa : Republik Arab Mesir adalah negara berdaulat yang independen, bersatu dan tidak bisa dipecahbelah, dan merupakan negara dengan sistem demokrasi(wa nidhomuha dimuqrothiy) .
Tentang prinsip demokrasi yang dianut oleh Mesir ini ditegaskan dalam pembukaan draft UUD ini . Dalam prinsip-prinsip yang dipegang teguh dalam RUU ini dalam point pertama disebutkan : kedaulatan di tangan rakyat (as-siyadah lil sya’bi). Prinsip lain yang menjadi pilar ditegaskan dalam point dua bahwa Mesir harus berpegang teguh pada pluralism politik dan partai/kelompok(atta’addudiyah as-siyasiyah wal hizbiyah ).
Ditegaskan pula dalam poin tujuh bahwa kesatuan bangsa adalah kewajiban negara dan masyarakat dan untuk mencapai tujuan itu harus dikembangkan nilai-nilai toleransi (at tasamuh), moderat (al i’tidal al washatiyyah ) , dimana hak dan kebebasan setiap warga negara harus dijamin tanpa diskriminasi.
Istilah-istilah kedaulatan rakyat, pluralism, toleransi, moderat, kebebasan, diskriminasi selama ini dikenal bersumber dari ideologi kapitalisme yang bertentangan dengan Islam . Dan prinsip-prinsip ini sering kali digunakan oleh Barat sebagai alat politik untuk menjauhkan umat dari penegakan syariah Islam .
Oleh: Pengamat Hubungan Internasional, Farid Wajdi, dikutip dari hizbut-tahrir.or.id