(Arrahmah.com) – Al-Hayat Media Center telah merilis Majalah Dabiq edisi ke-6. Majalah Dabiq merupakan salah satu media resmi berbahasa Inggris milik kelompok Daulah Islam, atau Islamic State (IS) yang sebelumnya dikenal sebagai ISIS.
Ulasan dan pembahasan atas manhaj Al-Qaeda menjadi fokus utama dalam edisi Majalah Dabiq kali ini. Sebanyak 24 halaman dari total 60 halamannya, majalah ini secara khusus membahas isu Al-Qaeda dan manhaj serta aqidahnya yang diklaim rusak menurut sudut pandang Daulah.
Majalah Dabiq edisi ke-6 yang dengan jelas telah menampakkan hakikat manhaj khawarij dan takfir ekstrim yang dianut Jama’ah Daulah tersebut mengangkat tema “Al-Qaeda Waziristan, sebuah kesaksian dari dalam”. Tema yang dinyatakan dalam artikel yang ditulis oleh orang bernama Abu Jarir Asy-Syimali ini pun memicu tanggapan luas, terutama atas tuduhan bahwa Al-Qaeda bermanhaj Murji’ah.
Kiblat.net pada Jum’at (2/1/2015) secara khusus mempublikasikan bagian kedua sebuah analisa terhadap kesaksian Abu Jarir selaku penulis dalam tema Majalah Dabiq edisi ke-6 itu. Analisa ini menyambung bagian sebelumnya, Abu Jarir telah mengajukan empat pertanyaan sebagai titik tolak untuk meninggalkan Al-Qaeda.
Perjalanan Abu Jarir tersebut terdapat pada halaman 40-55 dalam Majalah Dabiq edisi ke-6. Namun, Kiblat menyampaikan bahwa Abu Jarir Asy-Syimali yang menyatakan dukungannya kepada ISIS pada April 2014 lalu ini, justru bukanlah siapa-siapa di organisasi Al-Qaeda. Pernyataan dia sendirilah yang menunjukkan pada halaman 45 bahwa dia tidak lulus dalam proses “Tarbiyah Jihadiyah” yang diterapkan oleh Al-Qaeda.
Selain itu, Abu Jarir juga hendak membentuk opini bahwa tokoh satu-satunya yang masih bisa dipercaya sebagai amir ideologi adalah Syaikh Abu Mus’ab Az-Zarqawi, sedangkan tokoh-tokoh senior lainnya telah menyimpang. Berikut kelanjutan analisa lengkapnya:
Menyambung bagian sebelumnya, Abu Jarir telah mengajukan empat pertanyaan sebagai titik tolak untuk meninggalkan Al-Qaidah. Dua di antaranya adalah bahwa Al-Qaidah telah keluar dari akidahnya, terutama berkenaan dengan Syiah Rafidhah dan apa dalil secara syar’i tentang doa kebaikan Adh-Dhawahiri untuk thaghut Mursi.
Empat pertanyaan tersebut sebenarnya bukan hal baru. Ini hanyalah mengulang apa yang pernah dinyatakan oleh Jubir ISIS Syaikh Abu Muhammad Al-Adnani beberapa waktu lalu. Lihat kembali pernyataannya dalam Maa Kaana Haadzaa Manhajanaa Wa Lan Yakuun (Ini Bukan Manhaj Kami Dan Tidak Akan Mungkin).
Bila diteliti lebih jauh, manhaj Al-Qaidah masa Syaikh Usamah sampai masa kepemimpinan Syaikh Aiman sekarang tidaklah berbeda. Manhaj dan strategi bukan saja sama antara Syaikh Usamah dan Syaikh Aiman Adh-Dhawahiri saja, melainkan juga Syaikh Abu Mus’ab Az-Zarqawi. Mari kita lihat!
Pertama: Tentang Sikap terhadap Syiah
Dalam pedoman dakwah dan jihad Al-Qaidah yang dirilis oleh media As-Sahab pada September 2013, Al-Qaidah mengeluarkan 17 poin pedoman Organisasi. Tentang operasi militer, perang melawan rezim, sikap kepada masyarakat umum, kelompok, gerakan Islam, orang-orang yang terzalimi di dunia Islam dan sikap kepada non-Muslim di negeri Muslim. Pada poin keempat dan lima tentang Sikap Politik kepada Kelompok dan Sekte Menyimpang, disebutkan:
“Tidak memerangi sekte-sekte menyimpang seperti Rafidhah (Syiah Imamiyah), Syiah Ismailiyah, Qadiyaniyah dan sufi yang menyimpang selama sekte-sekte sesat tersebut tidak memerangi Ahlus Sunnah. Jika sekte-sekte sesat tersebut memerangi Ahlus Sunnah, Ahlus Sunnah hendaknya melakukan pembalasan sebatas kepada pihak yang melakukan penyerangan kepada mereka dari sekte-sekte sesat tersebut.
Hal itu tetap diikuti dengan menjelaskan bahwa kita (Ahlus Sunnah) sekedar membela diri, dan kita harus menghindari dari menyerang penganut-penganut sekte sesat tersebut yang bukan tenaga tempur [wanita, anak-anak, orang jompo] dan keluarga [anak-istri] mereka yang berada di rumah-rumah mereka, rumah-rumah ibadah mereka, tempat perayaan dan perkumpulan sekte mereka. Hal itu dengan tetap terus-menerus menjelaskan dan membongkar kesesatan-kesesatan akidah dan perilaku mereka.
Adapun di tempat-tempat yang berada di dalam kekuasaan dan pemerintahan mujahidin, maka sekte-sekte sesat ini diperlakukan dengan hikmah, setelah dilakukan dakwah, penyadaran dan penyingkapan syubhat-syubhat mereka, memerintahkan hal yang makruf dan mencegah hal yang mungkar dengan cara yang tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar dari kemungkarannya, seperti jika menyebabkan mujahidin diusir keluar dari wilayah-wilayah tersebut, atau membangkitkan perlawanan mayoritas rakyat kepada mujahidin, atau menimbulkan fitnah (kekacauan) yang dimanfaatkan musuh-musuh mereka (Amerika dan sekutunya) untuk menginvasi wilayah-wilayah tersebut.”
Dalam poin ini, Al-Qaidah kepemimpinan Syaikh Aiman menerapkan strategi tidak menyerang kelompok yang menyelisihinya kecuali mereka memulainya. Ini sebenarnya bukan hal baru atau perubahan yang berbeda dari sebelumnya. Enam tahun sebelumnya, Syaikh Aiman telah menyatakan hal yang sama:
“Sikap saya terhadap kalangan awam Syiah mengikuti sikap ahli sunnah. Yaitu bahwa mereka mendapatkan uzur karena kebodohannya. Adapun orang para tokoh mereka yang terlibat dalam kerjasama dengan Salibis dan permusuhan terhadap kaum muslimin maka hukum mereka saat itu adalah hukum kelompok penentang dari ajaran Islam. Adapun kalangan awam mereka yang tidak ikut campur dalam memusuhi kaum muslim dan tidak berperang di bawah bendera salib global, jalan kami untuk menghadapi mereka adalah dakwah dan menjelaskan hakikatnya. Menjelaskan seberapa jauh kejahatan yang dilakukan oleh para pemimpin mereka melawan Islam dan kaum Muslimin”
Syaikh Abu Mus’ab Az-Zarqawi juga memiliki sikap yang sama. Ulama Mujahid asal Yordania yang berbaiat kepada Al-Qaidah pada 2004 ini mengatakan dalam rekaman suara 18 Mei 2005, berjudulWa ‘Ada Ahfadul Al-Qami (Keturunan Ibnul Al-Qami telah kembali):
وفي أرض الرافدين طوائف عدة كالصابئة واليزيديين عبدة الشيطان، والكلدانيين والآشوريين، ما مددنا أيدنا بسوء إليهم ولا صوبنا سهامنا عليهم، مع أنها طوائف لا تمت للإسلام بصلة، ولكن لم يظهر لنا أنها شاركت الصليبيين في قتالهم للمجاهدين ولم تلعب الدور الخسيس الذي لعبه الرافضة
“Di tanah Mesopotamia (Irak) ini ada beberapa sekte, seperti Shabaiyah, Yazidi penyembah setan, Kaldani, dan Assyria. Kami tidak mengambil tindakan buruk kepada mereka dan tidak mengarahkan anak panah kami kepada mereka, meskipun mereka adalah sekte-sekte yang tidak memiliki kaitan dengan Islam (kafir). Namun belum tampak pada kami bahwa mereka berpartisipasi dengan Tentara Salib dalam peperangan mereka melawan Mujahidin. Mereka juga tidak memainkan peran jahat seperti yang dimainkan oleh Rafidhah.”[1]
Rilis resmi tanzim Al-Qaidah Irak juga mengumumkan tidak akan memperlakukan buruk kelompok-kelompok Syiah yang tidak bekerjasama dengan penjajah. Hal ini disebutkan dalam penjelasan yang dirilis pada tahun 19 September 2005 yang ditandatangani oleh Abu Masirah Al-Iraqi Penanggung jawab Media Al-Qaidah Irak:
كل طائفة من الشيعة تستنكر جرائم الحكومة على أهل السنة في تلعفر، وغيرها، ولاتعين الاحتلال بوجه من الوجوه فإنها مستثناة من ضربات المجاهدين ، وعملاً بقوله تعالى: (وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْهُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى)
Semua kelompok Syiah yang mengingkari kejahatan penguasa terhadap Ahli Sunnah di Tel’afar dan lainnya dan tidak membantu penjajah dalam bentuk apa pun, maka mereka dikecualikan dari serangan Mujahidin. Demi mengamalkan firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (Al-Maidah : 08)[2]
Tentang sikap politik terhadap masyarakat yang masih melakukan kebiasaan bid’ah, Al-Qaidah menunjukkan sikap yang jelas. Hal ini berlaku sejak Syaikh Abu Mus’ab Az-Zarqawi masih hidup. Dalam wawancara dengan pada tahun 2006, ketika ditanya: Manakah yang lebih baik, muslim yang masih bercampur dalam bid’ah (tetapi berjihad), atau muslim yang bersih akidahnya tetapi tidak berjihad, Syaikh Az-Zarqawi menjawab:
“Orang-orang Taliban, misalnya, mereka dikenal sebagai penganut Maturidiyah, lulusan sekolah Deobandi. Namun mereka dikenal tidak mau menerima tawaran apa pun kecuali penegakan syariat Allah, berperang di jalan-Nya, dan berdiri tegak melawan tirani Amerika. Mereka memang memiliki beberapa kesalahan dan kami tahu itu, tapi bagi saya mereka lebih baik daripada para pemilik akidah yang benar (ulama Jazirah Arab), yang membaiat thaghut Abdullah bin Abdul Aziz. Bila begini akidah yang benar seperti apa yang mereka bawa itu, dan siapa yang lebih utama di sisi Allah? Mullah Muhammad Umar atau mereka? Mullah Muhammad Umarlah yang lebih baik daripada sepenuh bumi orang-orang seperti mereka.”[3]
Menjawab pertanyaan, tentang manhaj, Syaikh Az-Zarqawi menjawab, “Mengenai visi politik —seperti istilah mereka— kami, kami menemukannya terkumpul pada sabda Nabi Muhammad saw, “Aku diutus dengan pedang menjelang hari kiamat hingga hanya Allah sematalah yang disembah.
Perlu dicatat, kita tidak percaya pada politik yang dijalani oleh beberapa kelompok partai yang berorientasi kepartaian dengan mengangkat slogan Islam, dan kemudian Anda melihat mereka masuk ke dalam parlemen dan terlibat dengan thaghut, sibuk memperebutkan posisi untuk menyerukan hukum selain hukum Allah.”
Beliau menambahkan, “Kami berperang di jalan Allah sampai syariat Allah tegak. Langkah pertama adalah mengusir musuh, kemudian menegakkan daulah Islam, lalu menaklukkan negeri-negeri Islam untuk mengembalikannya. Setelah itu, kami memerangi orang-orang kafir sampai mereka menerima salah satu dari tiga pilihan.”[4] (Bandingkan: Visi Al-Qaidah)
Pernyataan dan jawaban Syaikh Abu Mus’ab menunjukkan bahwa ada pertimbangan akidah dan pertimbangan politik. Secara akidah beliau menyebutkan bahwa masyarakat Taliban kebanyakan berpaham Maturidiyah, tetapi pertimbangan politiknya menunjukkan sikap yang membuahkan maslahat bagi umat Islam.
Hal itu tidak berbeda dengan manhaj Al-Qaidah yang diingatkan kembali oleh salah satu petingginya, Syaikh Hussam Abdur Rauf. Ada proses dan tahapan untuk mengubah masyarakat dan bagaimana berbicara kepada mereka. Syaikh mengatakan, “Kami memiliki jalan panjang untuk menghilangkan keterasingan, kebodohan tentang hukum agama dan pengetahuan tentang simbol jahiliah modern yang telah menghapus identitas kita dan telah memutus ikatan persaudaraan, kekerabatan, tali cinta, solidaritas serta kasih sayang di antara kita.”
Beliau menambahkan, “Generasi jamaah-jamaah Islam harus memegang peranan utama untuk menyukseskan amanah tersebut, berada dalam barisan depan untuk membangun kembali dan meluruskan pemahaman mereka, menyebarkan nilai-nilai luhur di tengah-tengah masyarakat, meskipun apa yang akan mereka hadapi sangat kontras dan berlawanan dengan nilai-nilai yang dibawa. Kita harus sabar, karena manusia tidak akan berubah dalam waktu semalam untuk menjadi wali Allah yang saleh, atau hanya dengan mengubah kepala pemerintahan, atau bahkan sampai mengubah sistem pun, masyarakat tidak akan cepat berubah.
Janganlah hanya mengedepankan tujuan untuk menegakkan hujjah atas manusia dan berlepas diri dari segala perbuatan masyarakat, ketika mereka menyelisihi ketentuan syar’i. Tetapi mestinya kita mengemban tujuan mengeluarkan manusia dari gelapnya kebodohan, asingnya mereka dari Islam, dan larinya mereka dari hukum Islam. Semboyan kita adalah “Bila Allah memberikan hidayah kepada satu orang saja melalui tanganmu maka itu lebih baik bagimu daripada engkau memiliki unta merah.” [5]
Kedua: Mendoakan Kebaikan untuk Mursi
Sikap politik Al-Qaidah terhadap Muhammad Mursi sebenarnya tidaklah berbeda dengan sikap terhadap Hamas. Tokoh-tokoh utama Al-Qaidah memang tidak mengafirkan pemerintahan Hamas, termasuk Syaikh Athiyatullah Al-Libbi, Abu Yahya Al-Libbi, dan Dr Aiman. Syaikh Athiyatullah, misalnya, mengatakan, “Kesalahan yang dilakukan Hamas, kita berharap mereka mendapatkan uzur karena salah takwil dan mengambil fatwa sebagian ulama yang mereka percaya. Kita tidak menghukumi mereka kafir. Bagi kami, mereka adalah muslim yang keliru. Kita berusaha menasihati, mengarahkan mereka seperti yang kita lakukan terhadap setiap muslim.” (Ajwibah Al-Hizbah, 72).
Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi menilai harapan dan cara berbicara Syaikh Aiman kepada Muhammad Mursi sudah tepat. Ketika Dewan syariat ISIS mengatakan, “Perhatikanlah pujiannya (Syaikh Aiman) kepada Thaghut Mursi!” Syaikh Al-Maqdisi menjawab:
“Generalisasi sesuatu yang masih global itu bisa menghilangkan makna. Mencomot satu-satu tanpa penjelasan dan tabayyun adalah bentuk penipuan yang paling buruk.
Ia telah enggan untuk memosisikan diri sebagai penjelas dan penafsir pandangan saudara kita, Dr Aiman Al-Zawahiri yang mengatakan, “Saya menasihatimu (Dr. Muhammad Mursi) dengan tulus dan harapan engkau mendapatkan hidayah dan keteguhan. Saya katakan kepadamu, engkau telah berurusan dengan sekularis dan sepakat dengan mereka; dengan salibis dan menguntungkan mereka; dengan Amerika dan engkau memberikan jaminan kepada mereka; dengan Israel dan engkau mengakui perjanjian damai dengan mereka; dengan tentara Mubarak yang dibesarkan dengan bantuan Amerika, dan engkau pun setuju dengan mereka; dan dengan para algojo lokal, dan engkau membiarkan mereka dalam ketenangan. Tetapi apa hasilnya?”
Anda hari ini dalam ujian besar. Berpeganglah kepada kebenaran tanpa goyah atau mundur. Tuntutlah kekuasaan syariat Islam dengan jelas dan nyata dan tolaklah keputusan yang korup, hukum dan konstitusi sekuler, dan jangan mundur untuk pembebasan setiap inci dari tanah Islam yang dijajah. Janganlah pernah mengakui segala bentuk perjanjian atau kesepakatan untuk bergeser dari tujuan itu. Berjanjilah kepada Rabbmu bahwa engkau akan menampakkan kebenaran yang diwajibkan kepada Anda. Dan jangan goyah sejengkal pun untuk melaksanakan itu. Maka bila seperti itu, saya berikan kabar gembira kepadamu bahwa engkau akan menjadi pahlawan umat; simbolnya yang nyata, dan pemimpinnya yang agung. Umat Mesir dan dunia Islam akan berbaris di belakangmu dalam perang melawan musuh-musuh mereka. Bila Allah mewafatkan engkau dalam kondisi itu dan ikhlas, saya sampaikan kabar gembira kepadamu bahwa itu adalah husnul khatimah dan pahala yang agung di akhiratmu.”[6]
Kalimat-kalimat terakhir inilah yang dipertanyakan kepada Syaikh Aiman sebagai pemimpin Al-Qaidah. Syaikh Al-Maqdisi juga menambahkan, “Itu namanya mengeluarkan suatu perkataan dari konteksnya dan mengambil sebagian dengan menghilangkan syaratnya.”
Wallahu a’lam. Semoga salawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam, beserta para sahabat dan pengikut petunjuk mereka sampai hari kiamat.
Penulis: Agus Abdullah
[1] https://www.youtube.com/watch?v=gL6F_KLHL5I
http://www.dd-sunnah.net/forum/showthread.php?t=122946
[2] https://www.paldf.net/forum/showthread.php?t=37769
[3] http://www.tawhed.ws/r1?i=6680&x=puoevphw
[4] http://www.tawhed.ws/r1?i=6680&x=puoevphw
(aliakram/arrahmah.com)