TEL AVIV (Arrahmah.id) — Yoni Ben Menachem, mantan Direktur Jenderal Otoritas Penyiaran Ibrani dan analis politik senior, menyatakan bahwa Perdana Menteri “Israel” Benjamin Netanyahu menolak mengakhiri perang di Gaza karena masa depan politiknya sangat bergantung pada hasil perang tersebut.
Dalam wawancara bersama kantor berita Anadolu, Ben Menachem mengatakan bahwa “data intelijen menunjukkan masih ada sekitar 500 kilometer jaringan terowongan di Jalur Gaza dan 20 ribu pejuang bersenjata yang tergabung dalam Hamas. Fakta ini adalah sebuah skandal bagi Netanyahu karena menunjukkan bahwa setelah hampir dua tahun perang, ia belum mencapai pencapaian yang signifikan.”
Ia menilai bahwa “keberhasilan Netanyahu di Gaza adalah satu-satunya peluangnya untuk memenangkan pemilu mendatang yang dijadwalkan akhir tahun depan.”
Menurut Ben Menachem, “masa pemerintahan Netanyahu secara resmi hanya tersisa satu tahun. Jika gagal menggulingkan Hamas dalam periode ini, maka pemerintahannya pasti akan tumbang di pemilu mendatang.”
Ia menegaskan bahwa “masa depan pribadi Netanyahu bergantung sepenuhnya pada hasil perang. Jika ia gagal, maka pemerintahannya runtuh.”
Ben Menachem meyakini tidak akan terjadi krisis antara Netanyahu dan Presiden AS Donald Trump terkait kelanjutan perang. “Netanyahu akan mengatakan kepada Trump bahwa secara politik, ia tidak mungkin menghentikan perang karena akan membuat pemerintahannya jatuh. Trump sebagai politisi tentu akan memahami hal ini,” ujar Ben Menachem.
Ia menambahkan bahwa banyak pihak di pemerintahan saat ini mendorong diberlakukannya pemerintahan militer di Gaza, yang berarti “Israel” harus menduduki penuh wilayah tersebut. “Meski biayanya sangat mahal, baik dalam hal logistik maupun potensi korban militer, mereka tetap melihat mustahil bagi Hamas untuk tetap menguasai Gaza,” katanya.
Ben Menachem, yang kini menjadi peneliti di Jerusalem Center for Public Affairs, menyebut Netanyahu menggunakan tekanan dari mitra koalisi sayap kanan ekstrem seperti Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich sebagai alasan untuk melanjutkan perang. “Keduanya mengancam akan menjatuhkan pemerintahan jika Gaza tidak diduduki dan pemerintahan militer tidak diberlakukan,” ungkapnya.
Ia memprediksi bahwa “Israel” tidak akan meluncurkan operasi darat besar-besaran, tetapi justru akan menjalankan strategi militer secara bertahap.
Selama hampir 19 bulan agresi yang brutal terhadap Gaza, “Israel” gagal mencapai tujuannya, yaitu menghancurkan Hamas, membebaskan tawanan, dan menduduki penuh wilayah Gaza. Kegagalan ini membuat pemerintah Netanyahu mendapat kecaman, baik dari kalangan kanan yang ingin memperketat cengkeraman atas Gaza maupun dari kelompok kiri yang menuntut pembebasan tawanan bahkan jika harus menghentikan perang.
Menurut perkiraan, terdapat 59 tawanan “Israel” di Gaza, dengan 24 di antaranya masih hidup. Sementara itu, lebih dari 9.500 warga Palestina ditahan di penjara-penjara “Israel” dalam kondisi yang buruk, mengalami penyiksaan, kelaparan, dan pengabaian medis, yang telah menyebabkan kematian sejumlah tahanan, menurut laporan berbagai lembaga HAM.
Sejak 7 Oktober 2023, dengan dukungan penuh Amerika Serikat, “Israel” telah melakukan genosida brutal di Jalur Gaza yang telah menewaskan dan melukai lebih dari 168.000 warga Palestina, kebanyakan dari mereka adalah anak-anak dan perempuan, serta lebih dari 11.000 lainnya dilaporkan hilang.
Menanggapi perdebatan internal tentang bantuan kemanusiaan, Ben Menachem mengatakan bahwa beberapa pihak di Dewan Keamanan Kabinet menolak masuknya bantuan, menganggapnya sebagai tekanan terhadap Hamas. Ada usulan agar bantuan hanya boleh masuk jika didistribusikan oleh militer, namun pihak militer tampaknya enggan mengambil alih tugas tersebut.
“Kepala Staf Militer, Eyal Zamir, telah diminta untuk menyiapkan rencana distribusi bantuan oleh militer, namun belum ada rincian lebih lanjut,” katanya.
Sejak 2 Maret lalu, “Israel” telah menutup semua jalur masuk ke Gaza, termasuk bantuan makanan, medis, dan kebutuhan pokok lainnya, yang telah memperparah krisis kemanusiaan, sebagaimana ditegaskan berbagai laporan HAM nasional dan internasional.
Terkait protes publik di “Israel” yang menuntut pembebasan tawanan dan penghentian perang, Ben Menachem menilainya tidak berdampak signifikan. “Demonstrasi terbesar hanya melibatkan sekitar 200 ribu orang dari delapan juta penduduk. Aksi ini hanya memiliki gaung di media, tapi tidak berdampak besar secara politik,” pungkasnya.
(Samirmusa/arrahmah.id)