KAIRO (Arrahmah.com) – Kontroversi baru-baru ini muncul di Mesir setelah seorang gadis berusia 13 tahun dipaksa mengenakan jilbab di sekolahnya di provinsi Sharqia. Kasus ini pun terjadi serupa di seluruh negeri dan menyebabkan sebagian warga Mesir marah.
Lamia Loutfi, ibu gadis Muslim dan manajer program di New Woman Foundation, sebuah lembaga hak asasi manusia yang berbasis di Kairo, mengajukan pengaduan pada 21 Oktober terhadap guru sekolah atas upaya mereka untuk memaksa anak perempuan, termasuk putrinya, memakai hijab.
Seperti diwartakan Al-Monitor, Jumat (30/10/2020), Loutfi terkejut mendengar putrinya mengatakan kepadanya bahwa pejabat sekolah telah memaksa gadis-gadis itu untuk mengenakan jilbab.
Loutfi lalu menghubungi sekolah dan direktur sekolah membenarkan apa yang dikatakan putrinya kepadanya. Menurutnya, semua gadis diwajibkan mengenakan jilbab di sekolah sebagai bagian dari seragam mereka dan bebas untuk melepasnya ketika mereka pergi.
Ketika Loutfi mengancam akan mengajukan pengaduan terhadap sekolah tersebut, direktur sekolah mengatakan dia bersikukuh tidak akan mengizinkan putri Loutfi masuk ke kampus sekolah kecuali dia mengenakan jilbab.
“Mereka mengatakan kepada saya, ‘Lakukan tindakan apa pun yang Anda inginkan. Kami tidak akan mengizinkan gadis itu masuk sekolah jika tidak menggunakan jilbab,” kata Loutfi.
Pada 21 Oktober, Dewan Nasional Wanita mengajukan keluhan tersebut kepada Menteri Pendidikan Tarek Shawki.
Kamal Mughith, seorang pakar urusan pendidikan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Nasional, mengutuk upaya memaksa anak perempuan mengenakan jilbab di sekolah.
Berbicara kepada Al-Monitor, Mughith menekankan “Jilbab harus menjadi masalah pribadi yang perlu diputuskan oleh anak perempuan, bukan kewajiban dengan dalih seragam sekolah.”
Sementara itu, New Woman Foundation mengedarkan petisi yang melarang siswi mengenakan jilbab. Petisi ini ditandatangani oleh puluhan institusi dan tokoh masyarakat.
Petisi tersebut menekankan kewajiban negara untuk menjamin hak-hak perempuan dan anak atas kewarganegaraan tanpa diskriminasi atas dasar gender atau agama. (hanoum/arrahmah.com)