Oleh Ine Wulansari
Pendidik Generasi
Sukabumi dibuat geger, pasalnya bocah laki-laki berinisial MA berusia 6 tahun menjadi korban pembunuhan. Kejinya korban tidak hanya dibunuh, ia juga menjadi korban kekerasan seksual sodomi. Hal tersebut diungkapkan Polres Sukabumi usai melakukan serangkaian penyelidikan terhadap kematian korban. Jenazah MA ditemukan tewas di jurang perkebunan dekat dengan rumah neneknya di wilayah Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi.
Mirisnya, pelaku pembunuhan dan kekerasan seksual ini seorang pelajar berusia 14 tahun yang masih duduk di bangku SMP (Sekolah Menengah Pertama). Polisi telah menetapkan pelaku sebagai tersangka dan berstatus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH). (Sukabumi.id, 2 Mei 2024)
Menyoroti kasus di atas, tentu membuat siapa saja merasa geram, sedih, dan sangat memperihatinkan. Sebab, bagaimana mungkin seorang anak dapat melakukan rangkaian aksi kejam ini dengan penuh kesadaran dan tanpa rasa takut. Kondisi ini menjadi pertanda rusaknya fitrah anak.
Anak-anak yang menjadi pelaku kejahatan terus meningkat dari tahun ke tahun dan terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Tentu menjadi pekerjaan rumah bersama untuk mengatasinya. Menurut data dari Direktorat Jenderal Perrmasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, menunjukkan tren peningkatan pada periode 2020 hingga 2023 per 26 Agustus tercatat hampir 2000 kasus. Sebanyak 1.467 anak di antaranya berstatus tahanan dan masih menjalani proses peradilan. Sementara 526 anak sedang menjalani hukuman sebagai narapidana. Rekap data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), didapati bahwa tindak kekerasan fisik dan kekerasan seksual adalah dua jenis tindak kriminal yang paling banyak dilakukan anak. (kompas.id, 29 Agustus 2023)
Kapitalisme Biang Kerusakan Moral
Kasus kekerasan pada anak hingga berujung kematian ibarat fenomena gunung es. Yang terekspos dan muncul ke permukaan hanya sebagian kecil saja sementara sebagian besar lainnya banyak yang luput dari pemberitaan bahkan ditutupi karena berbagai faktor. Bisa karena ancaman dari pelaku dan keluarga pelaku, tak punya akses melapor ke pihak berwenang, atau faktor kemiskinan yang membuat keluarga korban pasrah.
Tentu kejadian ini memberi sinyal adanya problem serius baik pada lingkungan keluarga, masyarakat, dan negara. Keluarga adalah benteng pertahanan pertama bagi anggota keluarganya. Ayah dan ibu harusnya berperan sinergis membangun kekuatan akidah dan mental anak dari sejak dini. Demikian juga dengan lingkungan masyarakat sebagai kontrol sosial harusnya berfungsi menjadi interaksi antar individu dengan kebiasaan amar makruf nahi mungkar.
Jika kedua benteng pertahanan itu mulai goyah atau tak mampu membendung sikap dan perilaku anak dan individu lainnya, maka tanggung jawab negaralah yang utama mewujudkan serta mengembalikan peran keluarga dan masyarakat. Dari mulai menguatkan akidahnya melalui kajian-kajian Islam di berbagai kesempatan; kontrol sosialnya melalui penugasan aparat kepolisian; melakukan pengawasan dan filter terhadap media berikut konten-kontennya hingga penegakkan sanksi yang berefek jera bagi pelaku.
Lemahnya kontrol negara terhadap media yang banyak menyuguhkan konten-konten tak berkualitas, bahkan tidak sedikit mempertontonkan aksi kekerasan dan berbagai adegan kemaksiatan menyebabkan rusaknya moral masyarakat. Kesemuanya ini sangatlah mudah diakses anak-anak tanpa ada filter yang membersamainya. Sangat jelas akan berdampak buruk pada keluarga, lingkungan dan interaksi sosial.
Mandulnya peran negara mengatasi masalah generasi menyebabkan ketahanan keluarga dan kontrol masyarakat tak lagi terwujud. Terlebih lagi sejak negara mengadopsi aturan sekuler dalam bingkai kapitalisme, tatanan keluarga dan masyarakat makin terhempas. Maka tak heran jika kapitalisme ini menjadi penyebab utama maraknya kriminalitas yang dilakukan anak-anak.
Hal tersebut jelas berdampak pada semua lini kehidupan, baik dalam bidang ekonomi, hingga mau tidak mau sebagian besar ibu bekerja demi mencukupi kebutuhan hidup dan abai terhadap pengasuhan dan pendidikan anak di rumah. Ditambah lagi kurikulum pendidikan di sekolah berorientasi materi, sedangkan pendidikan agama hanya formalitas saja. Atau bidang sosial, dimana interaksi antar individu tak lagi berpijak pada norma agama, bebas dan cenderung anarkis.
Negara yang berkiblat pada asas keuntungan dengan kapitalismenya, telah menjerumusan anak-anak pada jurang kebobrokan moral yang sangat parah. Begitu juga dengan sistem sanksi yang lemah membuat kemaksiatan merajalela dan perilaku buruk tersebut menjadi tuntunan bagi anak-anak yang belum utuh cara berpikirnya. Dan yang muncul berikutnya adalah hedonisme, permisifisme, liberalisasi pergaulan, dan lainnya merasuki benak masyarakat. Ini semua buah dari sikap negara mengadopsi berbagai pemikiran sesat yang diaruskan secara global melalui HAM, kesetaraan gender, dan moderasi beragama, yang secara nyata merusak tatanan kehidupan masyarakat.
Semua indikator tersebut, secara langsung ataupun tidak telah menggerus fitrah anak yang suci. Mereka berbuat seperti apa yang dilihat dan didengar, menjadi dewasa sebelum waktunya tanpa memahami standar baik dan buruk, terpuji dan tercela. Inilah wajah buruk anak-anak saat ini di bawah asuhan sistem rusak bernama kapitalisme.
Islam Solusi Hakiki
Membentuk karakter yang baik pada anak sejak dini sanglah penting. Tujuannya agar anak menjadi sosok yang salih dan salihah, serta memberi manfaat sebanyak-banyaknya bagi sesama. Mencetak anak yang berkarakter baik, tentu membutuhkan pendidikan dan pengasuhan yang benar.
Karakter yang ditanamkan pada anak, ibarat buah yang tumbuh pada pohon. Buah yang berkualitas baik akan muncul dari tanaman yang pohonnya berkembang dengan baik. Untuk itulah dalam membentuk karakter anak harus diawali dengan menyiapkan benih yang baik pula. Yakni dengan menanamkan dasar iman atau akidah yang lurus. Dengan demikian, mengajarkan keimanan yang lurus dan benar pada anak sejak dini merupakan kunci utama dalam membuka gerbang untuk menghasilkan pribadi berkualitas. Sebab hal ini akan dibawanya hingga dewasa nanti.
Karakter dalam Islam disebut sebagai kepribadian (syakhsiyah Islamiyah). Islam sejatinya memiliki dasar-dasar pembinaan kepribadian anak. Di dalamnya memuat konsep pembinaan pola pikir dan pola sikap islami pada anak. Mengarahkan dan membentuk pola pikir anak dilakukan dengan cara menempatkan Islam sebagai pemimpin dalam berpikir dan menentukan standar baik-buruk suatu perbuatan. Adapun membentuk pola sikap anak dengan pendidikan Islam dimaksudkan agar rasa cinta dan bencinya terhadap segala sesuatu disandarkan pada hukum syariat Islam.
Untuk mencapai hal tersebut, pendididkan Islam akan memadukan pemikiran dan perasaan manusia. Islam menuntut manusia untuk menempatkan halal-haram dalam setiap perbuatan. Keimanan anak harus ditingkatkan dengan membangun kesadaran akan hubungannya dengan Allah Ta’ala. Sehingga kepribadian anak akan menjadi baik melalui sistem pendidikan Islam.
Pendidikan Islam harus diterapkan secara menyeluruh karena kerusakan moral yang terjadi disebabkan aturan dan kebijakannya tidak bersumber pada syariat Islam. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.” (QS An-Nisa: 9).
Oleh karena itu, sangat penting menerapkan syariat Islam di segala sendi kehidupan. Berbagai masalah yang membelit masyarakat dapat diperbaiki. Dukungan negara sebagai penanggung jawab pembuat kebijakan akan menjaga fitrah anak, sehingga anak akan tumbuh optimal melalui kepribadian Islam mulia. Negara juga mewujudkan kesejahteraan rakyat sehingga orangtua terutama ibu, akan maksimal menjalankan perannya sebagai madrasah utama dan pertama.
Begitupun di sekolah dan masyarakat, akan menjadi lingkungan yang kondusif membangun kepribadian mulia pada anak. Sistem informasi yang aman dan menjamin kebersihan pemikiran anak dan masyarakat akan diciptakan oleh negara. Hal inilah yang akan membentengi masyarakat dari masuknya pemikiran yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Ditambah sistem sanksi Islam yang menjerakan dan tegas, tanpa membedakan usia. Selama pelaku sudah balig dan sadar melakukan aksinya, maka sanksi tersebut akan diberlakukan. Dengan demikian, negara akan menerapkan sanksi sesuai hukum Islam agar tidak berulang kasus-kasus kekerasan dan kriminalitas pada anak.
Wallahua’lam bis shawab.