Air mata masih mengalir, suaranya pecah, Fatima, seorang gadis Uighur, memiliki pesan sengit untuk pemerintah Cina, “Saya akan memberi tahu mereka: tunggu sebentar. Anda pikir kita lemah, tetapi Anda akan lihat. Bangsa kita, tanah air kita akan selamat, Anda tidak akan bisa menghentikannya. Karena mereka mengambilnya dari kita, kita harus mengambilnya kembali.”
Sebuah sekolah yang berada di pinggiran Istanbul, tepatnya di distrik Silivri, adalah sebuah tempat langka karena di sanalah para pengungsi muda Uighur dari Cina dapat mempelajari bahasa dan budaya mereka.
Setelah melarikan diri dari tindakan keras pemerintah Tiongkok yang ditujukan pada Muslim Uighur di Xinjiang barat laut Cina, beberapa orang tua dari anak-anak tersebut berpikir masih aman untuk kembali sesekali untuk mengunjungi keluarga mereka yang masih berada di Xinjiang.
Namun kepulangan tersebut membuat mereka hilang ditelan bayangan kamp konsentrasi yang tidak memungkinkan mereka untuk berkomunikasi dengan dunia luar.
Dari lebih dari seratus murid yang ada di sekolah, sebanyak 26 anak kehilangan salah satu orang tua mereka karena ditahan di kamp, sedangkan tujuh lainnya kehilangan keduanya, ujar kepala sekolah, Habibullah Kuseni, sebagaimana dilansir Daily Sabah.
Fatima yang berusia sembilan tahun hanya memiliki kenangan yang samar tentang tanah kelahirannya dan juga tentang ayah yang sangat ia rindukan.
Dia ingat saat menonton televisi bersama sang ayah, Fatima ingin melihat kartun, tetapi sang ayah lebih suka menonton berita, terutama tentang Presiden Recep Tayyip Erdoğan, satu-satunya pemimpin di dunia Muslim yang bersedia membela orang-orang Uighur dan menghadapi risiko kemarahan Cina.
Ayahnya terbang kembali ke Tiongkok beberapa kali untuk urusan bisnis sebelum akhirnya dia dijebloskan ke dalam kamp di wilayah Xinjiang.
“Dan kemudian dia pergi,” katanya, air mata mengalir di wajahnya.
“Kupikir dia akan kembali, tetapi dia tidak pernah melakukannya,” imbuhnya sembari menahan isak tangis.
Tidak ada yang mendengar kabar darinya dalam tiga tahun terakhir.
Bagi Fatima, berbagai bentuk tekanan yang diberikan Cina hanya membuatnya lebih menantang.
Air mata masih mengalir, suaranya pecah, dia memiliki pesan sengit untuk pemerintah Cina, “Saya akan memberi tahu mereka: tunggu sebentar. Anda pikir kita lemah, tetapi Anda akan lihat. Bangsa kita, tanah air kita akan selamat, Anda tidak akan bisa menghentikannya.
“Karena mereka mengambilnya dari kita, kita harus mengambilnya kembali,” tegasnya.
Tidak jauh berbeda dengan Fatima, seorang anak Uighur bernama Tursunay (15), belum pernah melihat atau berbicara dengan salah satu orang tuanya sejak Juli 2017.
“Jangan khawatirkan kami,” kata mereka melalui telepon saat dalam perjalanan kembali ke Cina.
Kemudian mereka mengatakan bahwa mereka merasa agak aneh ketika paspor mereka disita tetapi mereka yakin bahwa hal itu akan segera diselesaikan.
“Lalu, tiba-tiba suara di seberang telepon hilang,” ujar Tursunay mengenang percakapan terakhir mereka.
Tursunay ingat hidupnya di Tiongkok.
Dia pernah bertanya, “Mengapa mereka mengawasi kita, papa?” ketika kamera dipasang di pintu masuk ke apartemen mereka.
Itu karena kita Muslim, kata ayahnya.
Kini, semua bentuk komunikasi dengan setiap anggota keluarga di Cina telah terputus.
Dia merindukan orang tuanya, tetapi dia mengatakan bahwa dia harus tetap optimis.
“Saya mencoba untuk tetap optimis dan ingat bahwa bukan orang tua saya yang melakukan ini kepada saya,” katanya.
Banyak anak di Xinjiang juga dilaporkan tanpa orang tua.
Human Rights Watch mengatakan pada bulan September bahwa pihak berwenang Cina telah menampung anak-anak “dalam jumlah yang tak terhitung”, yang orang tuanya ditahan, di lembaga kesejahteraan anak yang dikelola pemerintah dan sekolah berasrama tanpa izin atau akses orang tua.
Banyak orang Turki merasakan ikatan persaudaraan dengan Muslim Uighur, baik sebagai sesama Muslim maupun sebagai bagian dari kelompok etnis berbahasa Turki yang sama.
Demonstrasi berturut-turut diadakan untuk menyuarakan hak mereka pada bulan Desember di Istanbul.
“Bukankah tangisan saudara-saudara kita dari Turkistan Timur telah Anda dengar?” kata Musa Bayoğlu saat berada di luar Konsulat Cina, menggunakan nama aktivis Uighur untuk wilayah mereka, yang dilarang keras oleh Cina.
“Bukankah teriakan saudari kita melewati dinding istanamu?”
Awal tahun ini, Kementerian Luar Negeri Turki menyebut tindakan keras Cina terhadap Uighur “sangat memalukan bagi umat manusia.”
Warga Uighur di Turki tetap sangat berterima kasih atas suaka yang ditawarkan negara itu.
“Mereka menyediakan tempat tinggal yang damai bagi 50.000 pengungsi Uighur,” kata seorang aktivis Uighur di Istanbul.
“Tidak ada negara Muslim lain yang melakukan itu. Tidak ada negara Barat yang melakukan itu,” imbuhnya.
Kisah lain datang dari Rufine, yang ibunya menghilang dua tahun yang lalu ketika dia kembali untuk merawat nenek Rufine yang sakit.
“Saya masih ingin mendengarkan berita itu, tetapi ketika saya mendengarnya, saya merasa tidak enak, tidak nyaman, dan perut saya sakit,” kata Rufine (12), yang ingin menjadi guru atau dokter saat dewasa nanti.
Kuseni, kepala sekolah, tertawa ketika ditanya barang apa di sekolah yang ilegal di Cina.
“Hanya datang berlibur ke negara Muslim seperti Turki sudah cukup untuk mengirim Anda ke sebuah kamp,” katanya.
“Adapun barang-barang ini …,” ia menunjuk bendera Turkistan Timur dan tulisan Arab Uighur di dinding dan membuat gerakan memotong di tenggorokannya.
“Orang-orang Uighur menghadapi kepunahan,” tambah guru berusia 39 tahun Mahmut Utfi. “Budaya kita, bahasa kita. Saya menganggap pekerjaan saya sebagai kewajiban.”
Aktivis Uighur yang diasingkan pada bulan November merilis bukti hampir 500 kamp dan penjara yang digunakan terhadap kelompok etnis mereka di Cina, dan mengatakan bahwa jumlah keseluruhan narapidana kemungkinan “jauh lebih besar” dari 1 juta orang, sebagaimana diungkapkan PBB.
Ketika berita tentang kamp-kamp pertama kali muncul pada tahun 2017, Beijing awalnya menolak keberadaan mereka.
Kemudian, dikatakan bahwa kamp tersebut adalah pusat kejuruan “sukarela” yang bertujuan memerangi ekstremisme dengan mengajarkan orang-orang bahasa Mandarin dan keterampilan kerja.
Namun dokumen internal yang bocor menunjukkan bahwa mereka dijalankan seperti penjara, sementara para kritikus mengatakan mereka bertujuan untuk menghapuskan budaya dan agama lokal Uighur dan minoritas lainnya, yang kebanyakan Muslim. (rafa/arrahmah.com)