XINJIANG (Arrahmah.com) – Penahanan massal warga Uighur di Wilayah Otonomi Uighur Xinjiang (XUAR) telah menyebabkan sekitar 500.000 anak Uighur dibawa ke sekolah berasrama, panti asuhan, dan institusi lain yang dijalankan oleh pemerintah Cina, sebuah negara yang menurut para ahli berkomitmen untuk melakukan genosida terhadap Muslim Uighur.
Pemindahan paksa anak-anak dari rumah-rumah mereka yang telah didokumentasikan selama lima tahun di XUAR. Hal tersebut merupakan satu dari lima tindakan yang memenuhi ambang batas genosida, kata para ahli internasional dalam laporan yang dikeluarkan bulan ini oleh Newlines Institute yang berbasis di Washington.
Newlines mengutip Pasal II Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida. Dalam pasal tersebut dijelaskan lima tindakan yang merupakan genosida, di mana salah satunya adalah jika tindakan tersebut bermaksud untuk melukai atau menghancurkan satu kelompok secara keseluruhan atau sebagian.
Temuan itu muncul di tengah laporan tentang anak-anak Ughur di Cina yang benar-benar terpisah dari orang tua mereka, yatim piatu, dan kehilangan kesempatan untuk bersatu kembali dengan keluarga mereka. Perpisahan keluarga tampaknya menciptakan kondisi trauma, yang efek jangka panjangnya sulit diprediksi.
Laporan investigasi yang telah dilakukan selama beberapa tahun terakhir, menunjukkan bahwa ratusan ribu anak Uighur hidup di bawah program yang dijalankan oleh negara. Angka-angka ini, kemungkinan besar terus bertambah, berdasarkan dari laporan pemerintah Cina dan dokumen lainnya.
Dalam beberapa kasus yang lebih mengejutkan, orang tua Uighur di luar negeri telah melihat anak-anak mereka sendiri dalam video yang menunjukkan mereka menerima pendidikan negara di sekolah berasrama di XUAR yang beredar di media sosial.
Baru-baru ini sebuah video tentang seorang anak Uighur di Aksu beredar luas di media sosial baik di dalam maupun di luar Cina. Video tersebut menunjukkan seorang gadis berusia enam tahun bernama Sabira yang tengah berbicara dalam bahasa Mandarin kepada guru etnis Han-nya. Gadis itu ragu-ragu untuk memberi tahu gurunya nama saudara laki-lakinya, karena dia hanya tahu cara mengucapkan nama saudara laki-lakinya dalam bahasa Uighur, dan dia khawatir dia akan dipukul jika tidak mengatakannya dalam bahasa Cina.
Mantan instruktur kamp interniran Qelbinur Sidik, yang melarikan diri ke Belanda setelah bekerja selama sembilan bulan di dua kamp berbeda, merupakan guru sekolah dasar selama 28 tahun.
Dia baru-baru ini berbicara dengan koreponden RFA tentang video tersebut dan tentang lingkungan lebih luas di XUAR yang dilingkupi ketakutan. Dia mengungkapkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir dia mengajar, banyak siswa yang takut dan ragu-ragu saat menjawab serta yang menjadi yatim piatu akibat kebijakan negara.
“Jika Anda menonton video itu, Anda dapat melihat ada ketakutan yang telah menetap di seluruh tubuh gadis itu,” katanya, dengan menambahkan bahwa pelecehan fisik semakin meluas di sekolah-sekolah di wilayah tersebut seiring dengan meningkatnya jumlah guru Han.
“Dia tidak bisa berbicara bahasanya sendiri, tapi dia juga tidak bisa mengatakan apa yang ingin dia katakan dalam bahasa Cina, dan dia tahu dia akan dipukul. Beginilah kehidupan anak-anak ini sekarang… Karena mereka selalu memukul dan melecehkan anak-anak secara verbal, sehingga menyebabkan mereka takut akan dihukum, dan mereka tidak dapat memikirkan hal lain,” lanjutnya.
Menurut Sidik, jumlah siswa yatim piatu mulai bertambah pada 2016, menjelang pelaksanaan kampanye penahanan massal di XUAR yang telah menyebabkan hingga 1,8 juta orang Uighur dan minoritas Muslim lainnya ditahan di jaringan kamp interniran yang luas sejak awal 2017. Pada 2018, banyak ruang kelas yang diisi hanya setengah dari jumlah siswa.
“Para siswa mulai mendatangi kami, mengatakan bahwa aparat telah mengambil kakak, ibu, dan ayah mereka,” kata Sidik.
“Pada periode itu, Biro Pendidikan mengeluarkan pemberitahuan yang mengatakan bahwa sekolah harus menugaskan anak-anak yang ditinggalkan sendirian setelah orang tua mereka ditahan kepada beberapa guru yang akan bertanggung jawab atas mereka,” imbuhnya.
“Saya ditugaskan kepada dua anak dari satu keluarga. Saya harus memeriksanya. Salah satu anaknya adalah seorang gadis berusia 12 tahun. Saya pergi ke rumahnya, menyiapkan makanan untuk mereka dan membersihkan rumah mereka. Saya memberi tahu mereka, ‘Orang tuamu akan kembali, pasti mereka akan kembali besok atau lusa’. Pada November 2017, ada banyak anak seperti itu, jadi mereka mulai menugaskannya ke guru Han,” papar Sidik.
Sidik mengatakan, anak-anak di kelas menjadi lemah lembut dan takut, dan jika guru harus berbicara dengan lebih tegas kepada mereka, mereka akan bereaksi dengan mengangkat tangan di atas kepala, seolah-olah untuk melindungi diri dari kemungkinan pukulan.
“Akhirnya banyak anak hilang. Sekitar setengah dari mereka hilang. Tidak ada jejak mereka setelah mereka menghilang, ”katanya. “Pihak berwenang mengatakan telah menempatkan mereka di sekolah berasrama, dan menegaskan bahwa pemerintah mengirim mereka ke sana dan akan merawat mereka,” jelasnya.
Sidik mengatakan bahwa dia sering memikirkan murid-muridnya, yang ditempatkan di tempat yang dia sebut “kamp untuk anak-anak”.
“Mereka pasti mengira saya pembohong karena saya memberi tahu mereka bahwa orang tua mereka akan segera kembali, tetapi sudah bertahun-tahun dan orang tua mereka masih belum kembali. Saya memikirkan ini dan menangis,” pungkasnya. (rafa/arrahmah.com)