Khalid (10), hidup di sebuah kamp pengungsian di Idlib, Suriah. Anak lelaki pemilik mata abu-abu itu melihat serius ke hadapan kamera, tetapi teman-teman dan pengasuhnya menyebutnya “ketua kenakalan.”
Khalid kehilangan ayahnya lima tahun lalu ketika militan ISIS menangkap ayahnya di Idlib. Itulah terakhir kali Khalid melihat ayahnya.
“Ayah Khalid saat itu keluar dari rumah untuk shalat jum’at, kemudian menghilang. Kami mencarinya ke mana-mana. Kemudian akhirnya kami tahu bahwa para militan dari ISIS telah membawanya, dan kemudian ia menghilang begitu saja,” tutur ibu Khalid, yang tidak ingin disebut namanya, kepada VOA News.
Khalid, ibunya dan adik kembarnya yang berumur 6 tahun telah berpindah-pindah beberapa kali dari kamp pengungsian ke tempat lainnya karena pesawat-pesawat tempur rezim Suriah terus melancarkan serangan. Mereka kemudian menetap di kamp Utsman bin Affan untuk para pengungsi dan anak-anak yatim piatu, tempat di mana saat ini mereka hidup.
“Suatu hari, jet pemerintah Suriah menyerang desa kami. Kami selamat,” ujar ibu Kholid, mengenang pengalaman menakutkan yang ia dan anak-anaknya alami.
Khalid hanyalah salah satu dari ribuan anak-anak Suriah yang telah kehilangan orangtua mereka akibat perang di Suriah.
Omar Omar, seorang aktivis Suriah, yang bertugas menghibur anak-anak yang tinggal di kamp-kamp pengungsian di Idlib, mengatakan kepada VOA bahwa organisasi dimana ia bekerja mengasuh lebih dari 6.000 anak-anak di daerah tersebut yang telah kehilangan salah satu atau kedua orangtua mereka.
“Sebagian anak yatim piatu tinggal bersama keluarga mereka, seperti kakek nenek, paman dan bibi. Sebagian lagi benar-benar terpisah dari keluarga mereka, dan mereka dibantu oleh organisasi-organisasi kemanusiaan,” kata Omar.
Itu hanyalah anak-anak yang diasuh oleh organisasi Omar di satu daerah. Total anak-anak yang kehilangan orangtua mereka bisa mencapai sepuluh ribu anak.
Perang di Suriah telah memporak-porandakan hidup anak-anak tak berdosa. Tak hanya merebut orangtua mereka, perangpun merebut masa depan mereka.
Banyaknya bangunan yang hancur, tak terkecuali sekolah, memaksa anak-anak Suriah berhenti sekolah.
Menurut Save the Children, lebih dari 4.000 serangan telah menghantam sekolah-sekolah di Suriah sejak perang meletus pada 2011, yang berdampak serius pada pendidikan anak-anak Suriah. Organisasi kemanusiaan tersebut menekankan bila langkah-langkah perbaikan tidak dilakukan, hambatan pendidikan ini bisa berdampak serius bagi masyarakat Suriah pasca perang.
Dampak dari kehilangan pendidikan diperburuk dengan kondisi yatim piatu mereka, ketiadaan orangtua membuat mereka kekurangan bimbingan dan kasih sayang orangtua yang sangat dibutuhkan di masa pertumbuhan. (siraaj/arrahmah.com)