DAMASKUS (Arrahmah.com) – Disiksa, diperkosa, dan dibunuh, anak-anak Suriah merasakan beban penuh dalam dua tahun pertempuran mematikan yang disebabkan oleh kepemimpinan rezim brutal Assad.
“Ini adalah perang di mana perempuan dan anak-anak menjadi korban terbesar,” kata Justin Forsyth, kepala eksekutif dari derma Save the Children, kepada Reuters pada Rabu (13/3/2013).
Sebuah laporan dari kelompok yang berbasis di London mengatakan anak-anak menanggung beban penuh dalam konflik bersenjata yang sedang berlangsung di Suriah.
Ia mengatakan dua juta anak di Suriah mengalami kekurangan gizi, penyakit, penyiksaan, dan kekerasan.
Forsyth mengutip kasus seorang anak pengungsi yang berusia 12 tahun, yang melihat sahabatnya dibunuh di luar toko roti.
“Temannya ditembak di bagian jantung,” katanya.
“Tapi awalnya, dia pikir temannya sedang bercanda karena tidak ada darah. Mereka tidak menyadari bahwa ia telah dibunuh sampai mereka memeriksa bajunya.”
Save the Children melaporkan penelitian baru yang dilakukan diantara anak-anak pengungsi oleh Bahcesehir University di Turki, yang menemukan bahwa satu dari tiga anak yang telah dilaporkan pernah dipukul, ditendang, atau ditembak.
Disebutkan dua pertiga dari anak-anak yang disurvei mengatakan bahwa mereka telah terpisah dari anggota keluarga mereka akibat konflik.
Sepertiga dari responden mengatakan mereka telah menyaksikan kematian seorang teman dekat atau anggota keluarga.
“Semua anak-anak ini menceritakan kisah-kisah fakta yang mereka alami dan kemudian Anda menyadari bahwa ada lapisan dan lapisan trauma emosional di sana,” kata Forsyth.
Lebih dari 70.000 orang telah tewas dalam dua tahun selama konflik Suriah.
Pertempuran itu telah memaksa lebih dari satu juta warga Suriah meninggalkan rumah mereka ke negara-negara tetangga di samping perpindahan dari dua juta lainnya di dalam negeri.
Laporan tersebut juga mengatakan bahwa puluhan anak-anak juga dikirim ke penjara selama konflik berkecamuk di Suriah.
Save the Children menyatakan bahwa beberapa anak laki-laki juga diperlakukan oleh kelompok-kelompok bersenjata sebagai kuli, pelari dan perisai manusia, membawa mereka dekat ke garis depan.
Laporan itu juga memperingatkan bahwa pemerkosaan digunakan sebagai alat untuk menghukum warga Suriah.
“Dalam kebanyakan konflik, lebih dari 50 persen perkosaan menimpa anak-anak. Dan saya yakin kasus itu juga terjadi dalam konflik ini,” Kata Forsyth.
Laporan itu mengatakan takut akan kekerasan seksual menjadi salah satu alasan utama bagi keluarga Suriah untuk meninggalkan rumah mereka.
Dikatakan bahwa ada juga laporan dari pernikahan dini gadis-gadis muda oleh keluarga mereka karena mencoba untuk mengurangi jumlah mulut yang harus mereka memberi makan, atau berharap bahwa suami akan mampu memberikan keamanan yang lebih besar dari ancaman kekerasan seksual.
Forsyth mengatakan bahwa ia bertemu keluarga Suriah di Libanon yang mengatakan putri mereka yang berusia 16 tahun menikah dengan pria yang lebih tua.
“Ibunya bilang dia cantik dan setiap waktu tentara boneka Suriah datang ke rumah, dia berpikir: ‘Mereka akan memerkosanya.’ Pemerkosaan sengaja mereka gunakan untuk menghukum orang,” katanya, menambahkan bahwa gadis-gadis semuda 14 tahun pun sudah dinikahkan. (banan/arrahmah.com)