(Arrahmah.id) – Berapa kali kita memberi tahu anak-anak untuk mengganti pakaian/menyikat gigi/mengerjakan pekerjaan rumah atau menaruh mainan pada tempatnya sehabis bermain? Sebenarnya tidak ada jawaban yang benar karena sebenarnya tidak ada batasan berapa kali kita harus meminta anak kita melakukan sesuatu.
Bagi kebanyakan dari kita, dan ini adalah rutinitas dari kehidupan kita sehari-hari, terus menyuruh mereka dan jika beruntung, anak-anak akan bergerak sama setelah permintaan keempat atau setelah omelan yang keras.
Tak jarang kita mengeluh bahwa anak-anak tidak pernah mendengarkan. Kita lalu bertanya kepada ibu-ibu lain bagaimana mereka membuat anak-anak mereka taat, mau makan sayur, atau tidur tepat waktu. Kita berkonsultasi dengan buku dan google setiap saat tentang pengasuhan anak yang lebih baik dan disiplin serta teknik pengasuhan anak lainnya. Namun, hasilnya tetap saja, anak-anak kita tidak mendengarkan.
Ya! Anak-anak tidak mendengarkan, akan tetapi mereka mengamati. Saat kita meneriaki mereka, mereka memperhatikan kita, saat kita berdebat dengan suami, mereka menonton, sementara kita mengumpat pelan pada pengemudi yang ugal-ugalan, mereka memperhatikan dan saat kita mengobrol dengan teman di telepon, mereka mengamati dengan seksama.
Balita seringkali melakukan percakapan fiksi di ponsel mainan. Mereka mondar-mandir di sekitar rumah dengan kepala dimiringkan, bahu kecil mereka berusaha mengangkat telepon palsu dan berekting seakan-akan sedang menerima telepon. Yup, anak-anak memperhatikan setiap gerakan kita, bahkan saat mereka tidak mendengarkan sepatah kata pun.
Pelajaran yang mereka pelajari
Sebenarnya, kita tidak perlu khawatir bahwa anak-anak tidak pernah mendengarkan kita. Sebaliknya kita harus khawatir bahwa mereka selalu mengawasi kita.
Ketika kita menyuruh anak-anak untuk mengambil mainan mereka, mereka tidak mendengarkan. Kita meninggikan suara dan mereka masih mengabaikan kita. Kemudian, kita menjadi marah dan berteriak, dan mereka mengamuk atau menangis. Namun, sebelumnya mereka telah mencatat tindakan kita dengan cermat.
Nyatanya, setiap kali kita “menyuruh” anak kita melakukan sesuatu, kita sedang memberi mereka pelajaran. Kita mengatakan kepada mereka untuk melakukan satu hal, dan di saat yang sama juga menunjukkan kepada mereka bagaimana melakukan sesuatu yang lain. Saat kita membentak mereka dengan marah, kita menunjukkan kepada mereka bagaimana membuat seseorang mendengarkan kita. Saat kita melempar mainan ke dalam kotak mainan atau menendang mainan keluar, kita menunjukkan kepada mereka cara menunjukkan kemarahan.
Dan saat kita mengantar anak-anak ke sekolah di pagi hari. Tiba-tiba ada pengemudi yang terburu-buru memotong jalan dan kita tiba-tiba mengerem untuk menghindari kecelakaan. “Bodoh!” kita berteriak, sembari memperbaiki kemudi. Kita diam-diam berterima kasih kepada Allah bahwa tidak ada yang terjadi. Anak-anak kita di belakang melihat apa yang terjadi. Dalam situasi ini, sebagian besar kita jarang menjelaskan situasi yang baru saja terjadi kepada anak-anak bahwa pengemudi lain melakukan kesalahan dengan berpindah jalur tanpa memberi sinyal atau berbelok ke kanan tepat saat kita melewati lampu hijau. Sebaliknya, kita menunjukkan kepada mereka bagaimana menangani situasi seperti itu: mengutuk dan mengeluh.
Pelajaran yang ingin kita ajarkan
Hampir tidak mungkin menangani setiap situasi di setiap hari dengan cara yang sesuai untuk mengajarkan pelajaran kepada anak-anak kita. Tetapi jika kita menyadari peluang (dan bahaya yang akan datang) dari situasi seperti itu, setidaknya kita dapat memanfaatkan sebanyak mungkin situasi. Misalnya, kita tahu bahwa mendisiplinkan anak-anak adalah salah satu aspek yang paling menantang setiap hari. Dan, selama satu hari pendisiplinan, kita menemukan diri kita berteriak, marah, memarahi, dan kemudian biasanya mencari semacam pertobatan untuk kata-kata atau perasaan marah. Jika kita hanya bisa melihat diri kita seperti yang mungkin dilakukan anak-anak kita, kita mungkin belajar satu atau dua hal.
Jelas, kita tidak bisa melihat diri kita sendiri dan kita jarang bisa menahan diri di tengah amarah, tapi kita bisa mempersiapkan diri untuk saat-saat ini. Jika kita dapat memutuskan sebelumnya apa yang ingin kita ajarkan kepada anak-anak kita, kita dapat membuat semacam rencana permainan untuk berbagai situasi.
Misalnya, kita ingin anak-anak belajar bahwa mereka tidak perlu berteriak untuk didengarkan. Jadi, lain kali Anda meminta putra Anda untuk mengambil potongan puzzlenya dan bersiap untuk makan malam, siapkan diri Anda. Jika Anda ingin dia mengerti bahwa dia perlu mendengarkan dan menuruti Anda, maka cari cara untuk membuatnya mendengarkan Anda. Minta dia untuk melihat Anda atau berlutut dan mulailah menunjukkan kepadanya cara mengambil potongan-potongan itu dan memasukkannya ke dalam kotak. Lakukan apa pun kecuali berteriak atau mengomel.
Pelajaran yang kita pelajari
Jika kita melakukan upaya sadar untuk mengingat bahwa anak-anak memperhatikan kita, itu akan membuat kita tetap terkendali. Kita akan memperhatikan tata krama, kita akan berbicara dengan lebih menenangkan, kita akan mengendalikan emosi, dan pada akhirnya kita akan melihat bahwa, dengan melihat anak-anak, kita mulai berperilaku seperti yang kita inginkan.
Dengan kata lain, itu adalah siklus yang pada akhirnya melatih orang tua dan anak-anak mereka menuju perilaku yang lebih baik dan pengendalian emosi. Jika kita tahu bahwa anak-anak memperhatikan setiap gerakan kita, kita akan memperhatikan perilaku kita dan memberi contoh dengan perilaku itu. Kemudian, anak-anak akan mencontoh perilaku baik itu.
Membuat janji adalah salah satu masalah yang menyebabkan situasi sulit bagi orang tua yang mencoba mencontohkan perilaku yang baik. Para orang tua, dari seluruh penjuru dunia, memiliki caranya masing-masing dalam membuat, menepati, dan mengingkari janji. Sangat mudah untuk membuat janji, dan bahkan lebih mudah untuk melanggarnya. Sering kali orang tua membuat janji dengan iseng dan kemudian mengetahui bahwa mereka tidak dapat menepati janji. Terkadang, bahkan lupa sama sekali bahwa mereka pernah membuat janji.
Berapa kali kita memberi tahu si buah hati, “Ya, ya, Insya Allah, nanti Ibu belikan mainan ya,” hanya untuk membuat anak kita diam? Saat kata-kata sudah terucap, kita harus mempertimbangkan janji itu. Seorang anak yang dijanjikan hadiah/mainan/perjalanan yang didambakan tidak akan pernah melupakan janji itu dan tidak akan pernah membiarkan kita melupakannya.
Sebenarnya, cukup menyedihkan, banyak anak seakan-akan kurang percaya ketika mereka mendengar orang tua mereka mengatakan “Insya’ Allaah” karena takut bahwa Insya’ Allaah berarti “mungkin” atau “ya, benar” atau sekadar “tidak”, hanya sebagai pemanis saja.
Sebagian besar perilaku kita bergantung pada niat kita. Jika kita benar-benar bermaksud memberikan mainan itu untuk anak kita, yakinkan dia bahwa kita akan melakukannya. Jika kita tidak berencana membelinya, maka jujurlah. Janji yang tidak jujur mungkin memberi kita beberapa menit waktu belanja yang tenang, tetapi pada akhirnya itu akan membawa kita lebih jauh ke kedalaman ketidakpercayaan anak.
Memimpin anak-anak dengan janji-janji palsu adalah cara yang pasti untuk menampilkan perilaku yang tidak akan pernah dilupakan anak-anak kita dan mungkin akan ditiru di masa dewasa mereka sendiri.
Intinya, kita sedang merancang masa depan anak-anak kita dengan perilaku kita sendiri. Mengapa mengabadikan perilaku pada anak-anak kita yang seharusnya tidak kita sembunyikan? Perlu diingat bahwa anak-anak kita tidak hanya memperhatikan kita tetapi belajar dari kita, dan ini seharusnya cukup menjadi alasan bagi kita untuk mengubah perilaku kita sebelum ‘menghancurkan’ generasi yang akan datang. (zarahamala/arrahmah.id)