Ahmed al-Arqan (54), duduk di bawah atap yang dulunya merupakan rumah keluarganya. Rumah tiga lantai, di mana ia dan lima saudaranya tinggal bersama keluarga mereka di pemukiman Shujayea, kota Gaza, hampir seluruhnya hancur oleh rudal yang ditembakkan “Israel” dari sebuah pesawat tempur F16.
Seorang guru matematika, al-Arqan, seharusnya kembali ke sekolah dalam waktu kurang dari seminggu. Namun perang telah menghambat hal tersebut dan gagalnya pembicaraan gencatan senjata antara perunding “Israel” dan Palestina di Kairo membuat tahun ajaran baru di Gaza telah ditunda tanpa batas waktu yang jelas.
“Guru dan siswa membutuhkan setidaknya tiga minggu sebelum kembali ke sekolah,” ujar al Arqan kepada Al Jazeera
“Pihak berwenang juga harus menghapus beberapa bagian dari kurikulum untuk membuatnya lebih ringan bagi anak-anak.”
Serangan “Israel” di Gaza yang dimulai pada 8 Juli sampai saat ini telah membunuh lebih dari 2.000 warga Palestina termasuk 459 anak dan melukai 10.300 lainnya, menurut Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza.
Di Gaza, listrik telah terputus selama sedikitnya 12 jam setiap hari, ujar laporan PBB, setelah bom tank “Israel” menghantam pembangkit listrik satu-satunya di Jalur Gaza pada 29 Juli, sedangkan kerusakan infrastruktur air setempat yang diperkirakan akan menelan biaya sekitar 34 juta USD.
Tembakan “Israel” juga menghantam tiga sekolah yang dikelola PBB yang dijadikan sebagai penampungan di Jalur Gaza utara dan di kota perbatasan Rafah selama serangan pada bulan Agustus yang menewaskan sedikitnya 46 orang.
“Secara psikologis saya mengalami kelelahan karena perang belum berakhir. Kami tidak bisa bersantai selama liburan musim panas. Pakaian dan barang-barang kami tetap berada di bawah reruntuhan. Kami melarikan diri dengan pakaian yang kami kenakan,” ungkap al-Arqan.
Sedikitnya 231 sekolah telah dihancurkan selama agresi militer brutal “Israel” di Jalur Gaza di mana diperkirakan sekitar 380.000 warga Palestina mengungsi di sana.
“Guru perlu liburan setiap tahun sehingga mereka bisa mengajar dengan baik. Tahun ini, perjalanan kami adalah dengan kematian dan kehancuran,” lanjut al Arqan sambil menyaksikan puing-puing di sekitar rumahnya.
Tahun ajaran baru seharusnya dimulai pada 24 Agustus, namun dengan perang yang masih berkecamuk, hal itu ditunda tanpa batas waktu, menurut Ziad Thabet, wakil menteri pendidikan di Gaza. Thabet mengatakan kepada Al Jazeera bahwa siswa akan diberikan waktu dua minggu setelah pertempuran berakhir sebelum mereka diminta untuk datang kembali ke sekolah.
Seperti semua warga Palestina di Gaza, para siswa juga berjuang di bawah bombardir “Israel”.
“Kami tidak menikmati liburan musim panas kami, itu tidak terasa seperti liburan,” ujar Mohammed Abu Shehada, murid kelas delapan yang telah tinggal dengan keluarganya di sekolah persiapan Al-Remal di kota Gaza dalam sebulan terakhir.
Duduk di atas meja yang ditempatkan di luar kelas dengan 30 orang lainnya, Shehada mengatakan : “Kami butuh hari libur dalam pertukaran untuk setiap hari yang kami habiskan di sini, di sekolah. Saya tidak ingin meninggalkan sekolah sebagai seorang pengungsi dan kembali minggu depan sebagai siswa.”
Selama gencatan senjata lima hari baru-baru ini, Shehada pergi ke lingkungannya di Tofah, timur kota Gaza, menghibur temannya, Ziad, yang kehilangan beberapa anggota keluarganya dalam serangan udara yang menghantam rumah mereka.
“Di antara mereka adalah saudara Ziad, yang saya tahu,” kata Shehada.
Dua bulan setelah serangan besar terakhir militer “Israel” di Gaza pada November 2012, badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) menemukan tingkat penyakit stress dan trauma pada anak-anak Palestina naik 100 persen dan 42 persen pasien di bawah usia sembilan tahun. UNICEF juga melaporkan bahwa 91 persen anak yang di survei di Gaza mengalami kesulitan tidur, 85 persen tidak bisa berkonsentrasi, dan 82 persen melaporkan perasaan marah dan gejala ketegangan mental.
Menurut Fadel Abu Heen, profesor psikologi di Universitas Al Aqsa di Gaza, minggu pertama sekolah kemungkinan besar akan menjadi “seminggu yang menyakitkan dan kesedihan bagi siswa dan guru”. Abu Heen menjelaskan bahwa psikolog yang berkualitas diperluka untuk memberikan sesi dukungan untuk mendapatkan hasil yang efektif untuk guru dan siswa.
Al-Arqan yang kehilangan keponakan dalam serangan “Israel”, juga berjuang secara psikologis, karena ia pernah melihat seorang pria terluka parah membawa putrinya yang sudah meninggal dunia dan mengalami pendarahan hebat pada malam 20 Juli, ketika ia dan ribuan lainnya melarikan diri dari Shujayea.
“Wajahnya tak bisa dikenali. Saya bertanya dalam hati: ‘Bagaimana jika dia seseorang yang saya kenal? Bagaimana jika saya berada di posisinya?” Ungkap Al Arqan, menjelaskan bahwa ia tidak bisa berhenti untuk mengevakuasi orang karena mereka berlari saat rudal masih terus ditembakkan di belakang mereka.
Thabet, wakil menteri pendidikan mengatakan kepada Al Jazeera bahwa kementerian berencana untuk mengadakan sesi dengan psikolog untuk mendukung guru lokal selama seminggu pertama mereka kembali ke sekolah.
Dia mengatakan bahwa kementerian akan menghadapi pilihan sulit tentang pengungsi yang kehilangan rumah mereka dan saat ini tinggal di tempat penampungan di sekolah-sekolah. “Terus terang kami tidak bisa mengusir keluarga yang kehilangan rumah, tetapi pada saat yang sama, kami harus memulai tahun ajaran baru,” ujar Thabet.
Ia menambahkan bahwa kementerian bisa mengalokasikan dua sekolah di setiap kota untuk keluarga pengungsi tinggal selama dua atau tiga bulan sebagai solusi parsial.
“Ini tugas pemerintah untuk mencari solusi yang lebih langgeng.” (haninmazaya/arrahmah.com)