LONDON (Arrahmah.com) – Sebuah laporan dari seorang psikolog klinis dan forensik yang baru saja kembali dari Yaman menunjukkan gambaran menyedihkan tentang anak-anak di Negara tersebut. Mereka diketahui mengalami trauma akibat dengungan-dengungan pesawat tanpa awak, drone, salibis AS yang sering membombardir dan melintas di atas langit Yaman. Serangan ini dirasakan sebagai bentuk penyiksaan psikologis dan hukuman kolektif bagi masyarakat Yaman, seperti dilansir MuslimsToday pada Jumat (8/3/2013).
Temuan itu dipaparkan oleh seorang psikolog klinis dan forensik, Dr Peter Schaapveld, yang baru saja kembali dari kunjungannya selama seminggu ke Yaman. Hasil temuan tersebut dipresentasikan dalam konferensi pers pada Senin (5/3) dan berisi bukti-bukti mengenai kondisi darurat psikologis masyarakat Yaman sebagai akibat dari serangan drone. Korban terbanyak adalah anak-anak yang menderita gangguan kesehatan mental, mereka terserang PTSD yang merupakan penderitaan mental akibat kesedihan mendalam saat terjadi serangan mematikan yang berlangsung lama dan setelah terdengarnya suara drone yang melintas.
Penangguhan hukum HAM yang berbasis di London melaporkan bahwa Schaapveld mengatakan, “Apa yang saya lihat di Yaman itu sangat menyedihkan. Seluruh masyarakat –termasuk anak-anak muda yang merupakan generasi penerus Yaman– sedang mengalami trauma yang disebabkan oleh drone. Hal itu bukan hanya memberi efek langsung yang benar-benar mengerikan, tetapi juga kerusakan psikologis bisa lebih besar.”
Channel 4 News Inggris melaporkan bahwa Schaapveld menceritakan tentang seorang gadis kecil berusia 8 tahun yang rumahnya berada dekat dengan suara hantaman yang diduga berasal dari serangan drone. “Ayahnya mengatakan bahwa ia muntah setiap hari, ketika ia mendengar pesawat, atau dengungan, atau apapun yang terkait dengan drone,” kata Dr Schaapveld. “Ia berkata dengan kata-katanya sendiri, ‘Aku takut dengan mereka karena mereka semua melemparkan rudal-rudal.'”.
Dr Schaapveld juga mengatakan gadis itu menderita mimpi buruk. “Dia bangun dari tidurnya dengan ketakutan,” katanya. “Dia menunjuk ke langit-langit dan mengatakan ‘orang-orang di sana ingin aku mati lemas’. Mimpi-mimpinya adalah tentang orang-orang mati, pesawat, dan orang-orang yang berlarian ketakutan.” Kat Craig, Direktur Hukum di Penangguhan Hukum yang juga baru kembali dari Yaman, menambahkan.
Temuan ini merupakan bukti lebih lanjut bahwa pesawat-pesawat itu tidak hanya membunuh warga sipil yang tak berdosa, tetapi penggunaannya juga mendatangkan penyiksaan psikologis dan hukuman kolektif bagi masyarakat Yaman. Anak-anak takut untuk pergi ke sekolah dan orang dewasa tidak mampu bekerja, bersosialisasi atau berlaku dalam normalitas. Drone-drone hina-dina itu bukannya menjaga kemanan seperti yang mereka klaim, tetapi malah membentangkan permusuhan dan mengobrak-abrik komunitas yang malang dan terpinggirkan di dunia. Biaya untuk sebuah rudal hellfire menghabiskan lebih dari $ 60.000 atau setara dengan dana yang digunakan untuk membangun sekolah dan sumber air. Yaman membutuhkan bantuan dan dukungan, bukan drone.
Secara harfiah, drone berarti ‘lebah jantan’ atau ‘dengung’. Drone adalah istilah untuk Unmanned Aerial Vehicle (UAV) atau ‘kendaraan udara tanpa awak’. Drone bisa dipersenjatai, bisa juga tidak. Pada Oktober 2002, Pentagon untuk pertama kalinya mengakui bahwa mereka menggunakan drone yang dilengkapi misil untuk menyerang target yang mengancam patroli AS dan Inggris di Irak selatan. Awalnya, drone hanya digunakan sebagai pesawat mata-mata tanpa awak. Pada tahun 2002, Richard Myers, mengklaim, keuntungan menggunakan drone yang dipersenjatai dalam pertempuran adalah bahwa drone bisa tetap di udara untuk waktu yang lama dan kemudian segera merespon saat terlihat adanya target. AS juga mengklaim bahwa pertempuran dengan menggunakan drone lebih efektif, karena korbannya lebih “sedikit”. (banan/arrahmah.com)