KAIRO (Arrahmah.com) – Undang-undang anti-terorisme baru yang harus disetujui oleh presiden Mesir sangat cacat dan harus dibatalkan atau direvisi secara mendasar, kata Amnesty International, sebagaimana dilansir di situsnya, amnesty.org.
Dua rancangan undang-undang anti-teror, yang dikirim ke presiden sementara Adly Mansour pada 3 April dan bisa ditandatangani kapan saja, akan memberikan kepada pihak berwenang Mesir kekuasaan yang lebih untuk memberangus kebebasan berekspresi dan memenjarakan para penentangnya dan para kritikus.
“RUU yang sangat cacat ini dapat disalahgunakan karena mereka mencakup definisi yang semakin luas dan samar-samar tentang terorisme,” kata Wakil Direktur Amnesty International untuk Timur Tengah dan Afrika Utara Hassiba Hadj Sahraoui.
“Rancangan undang-undang ini melanggar hak untuk kebebasan berekspresi, melegalkan penyiksaan dan penahanan secara sewenang-wenang, dan memperluas ruang lingkup penerapan hukuman mati,” tambah Sahraoui.
Mesir telah menyaksikan peningkatan serangan bersenjata mematikan, terutama menargetkan gedung-gedung pemerintah, pos-pos pemeriksaan militer, serta institusi dan personel keamanan lainnya, sejak pencopotan Muhammad Mursi dari kursi kepresidenan pada 3 Juli 2013, khususnya di wilayah Sinai Utara yang bergolak.
“Pemerintah Mesir memiliki tugas untuk mencegah, menyelidiki dan menghukum serangan kekerasan, tetapi harus mematuhi kewajibannya di bawah hukum internasional,” kata Hassiba Hadj Sahraoui.
Dalam rancangan undang-undang yang dikirim ke Presiden sementara Adly Mansour, definisi terorisme yang ada diperluas untuk mencakup tindakan yang bertujuan untuk “merusak persatuan nasional, sumber daya alam, monumen … menghalangi kinerja badan peradilan … badan regional dan internasional di Mesir, serta diplomatik dan misi konsuler”.
Definisi terorisme berpotensi mengkriminalisasi pemogokan dan demonstrasi damai di sekolah, universitas dan mereka yang berasal dari masjid, dengan dalih bahwa kegiatan yang sah seperti itu membahayakan persatuan nasional, menghambat kerja-kerja lembaga nasional dan merusak perekonomian.
Definisi terorisme ini juga diperluas untuk “setiap perilaku atau persiapan dengan tujuan merusak sistem komunikasi, atau sistem informasi, atau sistem keuangan dan perbankan, atau ekonomi nasional”.
“Permasalahan yang bisa muncul dari definisi ‘pelanggaran terorisme’ yang tidak jelas ini adalah bahwa rumusan ini berpotensi memungkinkan pihak berwenang untuk membawa kasus terorisme terhadap hampir semua aktivis perdamaian,” kata Hassiba Hadj Sahraoui.
Banyak unjuk rasa sejak “Revolusi 25 Januari” yang diselenggarakan dengan cara damai, melakukan shalat atau berdoa, termasuk yang dilakukan oleh pendukung presiden terguling Muhammad Mursi.
Rancangan undang-undang anti-terorisme tersebut memperluas cakupan untuk menerapkan hukuman mati, bahkan untuk tindakan “terorisme” yang tidak menimbulkan korban jiwa. Ini juga mencakup kejahatan atas pendirian, pengelolaan, penyelenggaraan sebuah kelompok teroris.
“Bukannya mengurangi jumlah kejahatan yang besar, otoritas Mesir bahkan memperluas kejahatan tersebut dengan memasukkan kejahatan yang tidak menyebabkan korban jiwa. Yang memprihatinkan, ini dapat mengarah kepada lebih banyak hukuman mati massal,” kata Hassiba Hadj Sahraoui.
(ameera/arrahmah.com)