XINJIANG (Arrahmah.com) – Penjara massal, atau seperti yang disebut oleh Cina sebagai “‘kamp re-edukasi”‘, yang digunakan untuk menahan Uighur dan minoritas Muslim lainnya dikelola seperti kamp konsentrasi saat perang, kata kelompok hak asasi manusia Amnesti.
Lebih dari satu juta orang Uighur, Kazakh, dan kelompok minoritas lainnya telah ditahan secara sewenang-wenang di kamp-kamp interniran di wilayah Xinjiang, menurut kelompok-kelompok hak asasi manusia dan sebuah panel PBB.
Pihak berwenang Cina berulang kali menyatakan bahwa mereka menahan orang-orang yang dituduh melakukan kejahatan ringan dan mereka ditahan di pusat-pusat re-edukasi di mana mereka menikmati waktu mereka dan ‘bersyukur’ berada di sana.
Namun, aktivis Uighur, menurut Amnesti, telah mengatakan bahwa hingga 3 juta orang telah ditahan di kamp-kamp tersebut.
“Skala ini menakutkan. Kami belum melihat dalam sejarah Tiongkok baru-baru ini bahwa akan ada skala besar menahan orang di kamp dalam jumlah yang sangat besar,” kata Patrick Poon, seorang peneliti Cina di Amnesti Internasional, kepada The Independent.
“Jadi saya pikir itu sah orang-orang untuk menyampaikan keprihatinan tentang bagaimana kamp-kamp tersebut dijalankan serupa dengan kamp konsentrasi masa perang. Ini sebanding dalam skala,” jelasnya.
Poon mengatakan, Amnesti memiliki laporan dari mantan tahanan yang mengungkapkan bahwa mereka dipaksa untuk menghadiri pelajaran pendidikan ulang politik dan menyanyikan lagu-lagu politik.
Laporan sebelumnya mengatakan Muslim dipaksa untuk mengutuk Islam dan bersumpah setia kepada Partai Komunis Cina. Mereka juga dipaksa untuk makan daging babi dan minum alkohol – yang merupakan perkara yang dilarang oleh agama mereka.
Namun laporan baru tentang kehidupan di kamp atau wilayah yang lebih luas jarang terjadi, terutama karena mantan tahanan terlalu takut untuk membicarakan kasus mereka dan karena negara Cina mengontrol apa yang bisa dilakukan wartawan di wilayah tersebut, menurut Sophie Richardson, direktur Cina di Human Rights Watch.
“Ini adalah wilayah dimana dalam teori jurnalistik jurnalis bisa masuk untuk memperoleh informasi, tapi kontrol terhadap apa yang bisa jurnalis lakukan sangat ketat,” ujarnya kepada Independent.
“Ini adalah peristiwa besar yang menjadi perhatian orang-orang, tetapi sulit untuk mendapatkan informasi baru,” imbuhnya.
Dia juga mengatakan, sulitnya mendatkan informasi karena pemerintah Cina juga melarang mereka yang telah ditahan untuk meninggalkan negara itu.
“Ketika Anda melihat pemerintah menolak hak orang untuk pergi, itu berarti bahwa mereka mempunyai sesuatu yang harus disembunyikan,” tandasnya.
(ameera/arrahmah.com)