JAKARTA (Arrahmah.id) – Menanggapi beredarnya surat Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) kepada 200 warga di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, agar membongkar bangunan mereka di lokasi pembangunan IKN.
Direktur Eksekutif Amnesty Indonesia, Usman Hamid, mengatakan surat dari OIKN tak hanya melecehkan hak masyarakat Sepaku, termasuk hak warga adat suku Balik yang bermukim di sana, tapi juga membuat mereka terancam kehilangan tempat tinggal.
Menurutnya, langkah ini melanggar hak konstitusional warga dan hak atas tanah masyarakat adat yang diakui secara internasional.
“Kemana perginya janji pemerintah untuk membangun IKN tanpa penggusuran?” tanya Usman.
“Surat ini semakin menandakan sempitnya ruang partisipasi masyarakat Sepaku dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan dan tempat tinggal mereka,” lanjutnya.
Usman menjelaskan, masyarakat Sepaku berhak menentukan masa depan tempat tinggal mereka.
“Hak-hak warga harus dilindungi dan negara harus memastikan bahwa mereka tidak lagi menjadi korban dari kebijakan yang merugikan dan diskriminatif,” ujar Usman.
Sumber kredibel Amnesty Internasional Indonesia di Jaringan Advokasi Tambang Kalimatan Timur (Jatam Kaltim) – sebuah jejaring organisasi non-pemerintah dan organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang hak asasi manusia, lingkungan, dan masyarakat adat di Kalimantan Timur – mengungkapkan sekitar 200 warga empat desa di Kecamatan Sepaku, Kalimantan Timur, diminta untuk merobohkan bangunan mereka.
Alasannya, bangunan-bangunan tersebut dinilai tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Ibu Kota Nusantara (IKN). Para warga, yang terdiri dari masyarakat adat maupun yang sudah lama tinggal, diberi batas waktu tujuh hari sejak menerima teguran pertama.
Hal itu terungkap dalam dua lembar surat berkop OIKN tertanggal 4 Maret 2024 kepada para warga Sepaku yang tersebar di empat desa di Sukaraja, Bukit Raya, Pemaluan, dan Bumi Harapan, demikian ungkap sumber tersebut.
Laporan media juga mengungkapkan bahwa lembar pertama surat OIKN itu bernomor 179/DPP/OIKN/III/2024 terkait undangan kehadiran untuk menindaklanjuti pelanggaran pembangunan yang tidak berijin dan tidak sesuai dengan Tata Ruang IKN.
Berdasarkan surat tersebut, hasil identifikasi oleh Tim Gabungan Penertiban Bangunan Tidak Berizin pada Oktober 2023 menyebutkan bahwa ratusan rumah warga tidak mematuhi rencana tata ruang yang diatur dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Wilayah Perencanaan (WP) IKN.
OIKN juga mengeluarkan Surat Teguran Pertama No. 019/ST I-Trantib-DPP/OIKN/III/2024, yang memberi waktu 7×24 jam pada hari kerja bagi warga untuk merobohkan bangunan yang tidak sesuai dengan ketentuan tata ruang IKN dan peraturan perundang-undangan.
OIKN menggelar pertemuan pada 8 Maret 2024 untuk membahas isi surat tersebut dan dihadiri sekitar 200 warga yang rumahnya dianggap tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang IKN.
Sumber Amnesty menemui beberapa warga di Kampung Tua Sabut, yang terletak di Desa Pemaluan dan sebagian besar dihuni masyarakat adat suku Balik. Warga mengaku dua lembar surat OIKN itu diberikan mendadak, bahkan tidak sampai 24 jam dari jadwal pertemuan pada 8 Maret jam 9 pagi.
Menurut pengakuan warga, pertemuan dengan OIKN itu tidak mencapai kesepakatan. Salah satu sebabnya karena warga gelisah karena tiba-tiba diminta harus merobohkan rumah mereka padahal sudah tinggal jauh lebih lama sebelum IKN dibangun. Lalu mereka belum pernah dilibatkan dalam penyusunan RTRW di lokasi pembangunan IKN.
Ini yang membuat masyarakat geram pada pertemuan tersebut sehingga tidak tercapai kesepakatan dan secara sepihak OIKN menyampaikan pertemuan itu dibatalkan dan dianggap tidak terjadi dan pertemuan akan dijadwal ulang, ungkap sumber Amnesty.
Sementara itu Kepala OIKN di Jakarta pada 13 Maret kepada media mengatakan tidak akan menggusur semena-mena dalam rangka pembangunan IKN.
Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional pada 25 Januari 2022, juga pernah berjanji tidak akan menggusur warga setempat dan masyarakat adat di wilayah IKN, dan pengelolaan IKN akan memperhatikan hak atas tanah kelompok masyarakat adat.
Pada 1 Maret 2024, Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya PBB (CESCR) merekomendasikan Indonesia sebagai Negara Pihak untuk melakukan evaluasi dampak hak asasi manusia dan lingkungan hidup secara sistematis, transparan, dan independen dalam setiap proyek pembangunan dan kegiatan bisnis. Evaluasi tersebut harus menyediakan informasi tentang dampaknya terhadap kesejahteraan ekonomi, sosial, dan budaya, serta hak-hak masyarakat adat dan komunitas yang terdampak.
(ameera/arrahmah.id)
JAKARTA (Arrahmah.id) – Menanggapi beredarnya surat Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) kepada 200 warga di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, agar membongkar bangunan mereka di lokasi pembangunan IKN.
Direktur Eksekutif Amnesty Indonesia, Usman Hamid, mengatakan surat dari OIKN tak hanya melecehkan hak masyarakat Sepaku, termasuk hak warga adat suku Balik yang bermukim di sana, tapi juga membuat mereka terancam kehilangan tempat tinggal.
Menurutnya, langkah ini melanggar hak konstitusional warga dan hak atas tanah masyarakat adat yang diakui secara internasional.
“Kemana perginya janji pemerintah untuk membangun IKN tanpa penggusuran?” tanya Usman.
“Surat ini semakin menandakan sempitnya ruang partisipasi masyarakat Sepaku dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan dan tempat tinggal mereka,” lanjutnya.
Usman menjelaskan, masyarakat Sepaku berhak menentukan masa depan tempat tinggal mereka.
“Hak-hak warga harus dilindungi dan negara harus memastikan bahwa mereka tidak lagi menjadi korban dari kebijakan yang merugikan dan diskriminatif,” ujar Usman.
Sumber kredibel Amnesty Internasional Indonesia di Jaringan Advokasi Tambang Kalimatan Timur (Jatam Kaltim) – sebuah jejaring organisasi non-pemerintah dan organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang hak asasi manusia, lingkungan, dan masyarakat adat di Kalimantan Timur – mengungkapkan sekitar 200 warga empat desa di Kecamatan Sepaku, Kalimantan Timur, diminta untuk merobohkan bangunan mereka.
Alasannya, bangunan-bangunan tersebut dinilai tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Ibu Kota Nusantara (IKN). Para warga, yang terdiri dari masyarakat adat maupun yang sudah lama tinggal, diberi batas waktu tujuh hari sejak menerima teguran pertama.
Hal itu terungkap dalam dua lembar surat berkop OIKN tertanggal 4 Maret 2024 kepada para warga Sepaku yang tersebar di empat desa di Sukaraja, Bukit Raya, Pemaluan, dan Bumi Harapan, demikian ungkap sumber tersebut.
Laporan media juga mengungkapkan bahwa lembar pertama surat OIKN itu bernomor 179/DPP/OIKN/III/2024 terkait undangan kehadiran untuk menindaklanjuti pelanggaran pembangunan yang tidak berijin dan tidak sesuai dengan Tata Ruang IKN.
Berdasarkan surat tersebut, hasil identifikasi oleh Tim Gabungan Penertiban Bangunan Tidak Berizin pada Oktober 2023 menyebutkan bahwa ratusan rumah warga tidak mematuhi rencana tata ruang yang diatur dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Wilayah Perencanaan (WP) IKN.
OIKN juga mengeluarkan Surat Teguran Pertama No. 019/ST I-Trantib-DPP/OIKN/III/2024, yang memberi waktu 7×24 jam pada hari kerja bagi warga untuk merobohkan bangunan yang tidak sesuai dengan ketentuan tata ruang IKN dan peraturan perundang-undangan.
OIKN menggelar pertemuan pada 8 Maret 2024 untuk membahas isi surat tersebut dan dihadiri sekitar 200 warga yang rumahnya dianggap tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang IKN.
Sumber Amnesty menemui beberapa warga di Kampung Tua Sabut, yang terletak di Desa Pemaluan dan sebagian besar dihuni masyarakat adat suku Balik. Warga mengaku dua lembar surat OIKN itu diberikan mendadak, bahkan tidak sampai 24 jam dari jadwal pertemuan pada 8 Maret jam 9 pagi.
Menurut pengakuan warga, pertemuan dengan OIKN itu tidak mencapai kesepakatan. Salah satu sebabnya karena warga gelisah karena tiba-tiba diminta harus merobohkan rumah mereka padahal sudah tinggal jauh lebih lama sebelum IKN dibangun. Lalu mereka belum pernah dilibatkan dalam penyusunan RTRW di lokasi pembangunan IKN.
Ini yang membuat masyarakat geram pada pertemuan tersebut sehingga tidak tercapai kesepakatan dan secara sepihak OIKN menyampaikan pertemuan itu dibatalkan dan dianggap tidak terjadi dan pertemuan akan dijadwal ulang, ungkap sumber Amnesty.
Sementara itu Kepala OIKN di Jakarta pada 13 Maret kepada media mengatakan tidak akan menggusur semena-mena dalam rangka pembangunan IKN.
Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional pada 25 Januari 2022, juga pernah berjanji tidak akan menggusur warga setempat dan masyarakat adat di wilayah IKN, dan pengelolaan IKN akan memperhatikan hak atas tanah kelompok masyarakat adat.
Pada 1 Maret 2024, Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya PBB (CESCR) merekomendasikan Indonesia sebagai Negara Pihak untuk melakukan evaluasi dampak hak asasi manusia dan lingkungan hidup secara sistematis, transparan, dan independen dalam setiap proyek pembangunan dan kegiatan bisnis. Evaluasi tersebut harus menyediakan informasi tentang dampaknya terhadap kesejahteraan ekonomi, sosial, dan budaya, serta hak-hak masyarakat adat dan komunitas yang terdampak.
(ameera/arrahmah.id)