JAKARTA (Arrahmah.com) – Direktur Eksekutif Amnesti Internasional Indonesia Usman Hamid menilai, keputusan pemerintah yang melarang kegiatan, penggunaan simbol dan atribut serta penghentian kegiatan organisasi Front Pembela Islam (FPI) berpotensi mendiskriminasi dan melanggar hak berserikat dan berekspresi.
“Sehingga semakin menggerus kebebasan sipil di Indonesia,” kata Usman dalam keterangannya, Rabu (30/12/2020).
Menurut Usman, pelarangan ini bisa terjadi karena DPR menerima Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) No. 2/2017 sebagai UU baru.
Keputusan ini sebelumnya disesalkan karena memangkas prosedur hukum acara pelarangan maupun pembubaran ormas, dengan menghapus mekanisme teguran dan pemeriksaan pengadilan.
“UU ini bermasalah dan harus diubah. Menurut hukum internasional sebuah organisasi hanya boleh dilarang atau dibubarkan setelah ada keputusan dari pengadilan yang independen dan netral,” tandasnya.
Usman menegaskan, pemerintah tidak boleh membuat keputusan sepihak. Seharusnya, lanjut Usman, pemerintah mengutamakan pendekatan hukum dan peradilan. Misalnya, proses hukum pengurus ataupun anggota FPI yang diduga terlibat tindak pidana.
“Termasuk ujaran kebencian dan hasutan melakukan kekerasan berdasarkan agama, ras, asal usul kebangsaan maupun minoritas gender. Itu kewajiban negara,” jelasnya.
Usman tak memungkiri adanya unsur masyarakat yang menentang sikap intoleran berbasis kebencian agama, ras, atau asal usul kebangsaan yang kerap ditunjukkan oleh pengurus dan anggota FPI.
Namun, lanjut Usman, pemerintah harus menyadari bahwa hukum yang melindungi suatu organisasi dari tindakan sewenang-wenang negara merupakan hukum yang sama yang melindungi hak asasi manusia.
“Yang perlu diperbaiki adalah mekanismenya. Amnesti menyarankan pemerintah untuk membuat mekanisme yang lebih adil sesuai standar-standar hukum internasional, termasuk pelarangan dan pembubaran sebuah organisasi melalui pengadilan yang tidak berpihak,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.com)