TRIPOLI (Arrahmah.com) – Para milisi bersenjata yang saat ini menguasai banyak wilayah di Libya menyiksa para tahanan yang dianggap setia pada rezim Muammar Gaddafi dan menjadikan seluruh lingkungan dan kota-kota terasing, Amnesty International mengatakan, dikutip AP pada Kamis (16/2/2012).
Amnesti International mengutip penuturan para tahanan yang mengatakan bahwa mereka dipukuli selama berjam-jam dengan cambuk, kabel, selang plastik, rantai logam, dan tongkat besi, dan tongkat kayu serta disetrum dengan Taser, seperti senjata kejut listrik”
Setidaknya 12 tahanan tewas sejak September setelah penyiksaan, Amnesti mengatakan dalam sebuah laporan yang dirilis Rabu malam (15/2).
“Tubuh mereka penuh memar, luka-luka, dan beberapa dari mereka mengalami luka di bagian tangan yang cukup parah karena kuku mereka dicabut,” kata kelompok itu.
Laporan itu merupakan pukulan terbaru untuk pemerintahan baru Libya, Dewan Transisi Nasional (NTC), yang membantu memimpin pemberontakan anti-Gaddafi.
Sejak perang berakhir dengan penangkapan dan pembunuhan Gaddafi Oktober lalu, NTC telah berjuang untuk memperpanjang kontrol atas negara gurun yang luas itu. Namun, NTC dinilai telah gagal untuk mengendalikan ratusan brigade yang ikut bertempur dalam perang. Banyak di antara mereka saat ini menjalankan pusat penahanan mereka sendiri bagi orang-orang yang diklaim memiliki hubungan dengan rezim Gaddafi.
Amnesty mengatakan telah mengunjungi 11 kamp tahanan di Libya tengah dan barat pada bulan Januari dan Februari, serta menemukan bukti penyiksaan dan penganiayaan di hampir semua pusat penahanan.
“Tidak ada yang bertanggung jawab atas milisi-milisi ini,” kata Donatella Rovera, penasihat senior di Amnesti Internasional pada Associated Press melalui telepon dari Yordania hari Rabu (15/2), sehari setelah dia meninggalkan Libya.
Para pejabat tinggi Dewan HAM PBB dan Amnesti International, mendesak pemerintah Libya untuk mengendalikan semua penjara darurat demi mencegah kekejaman lebih lanjut terhadap para tahanan.
“Ada penyiksaan, eksekusi di luar hukum, dan pemerkosaan laki-laki dan perempuan,” Komisaris Tinggi Dewan HAM PBB, Navi Pillay, mengatakan pada 27 Januari.
Sekitar 2.400 tahanan masih mendekam di pusat penahanan yang dikendalikan oleh pemerintah baru Libya, tetapi milisi memegang lebih dari ribuan tahanan, kata Amnesti. Kebanyakan di dalam dan sekitar Tripoli serta Misrata, kota pesisir yang menjadi saksi pertempuran perang paling brutal, katanya.
Sementara itu, Komite Palang Merah Internasional melaporkan bahwa dari bulan Maret sampai Desember 2011, pihaknya mengunjungi lebih dari 8.500 tahanan di sekitar 60 pusat penahanan.
Delegasi Amnesti International menyaksikan para tahanan dipukuli dan diancam akan dibunuh di sebuah pusat penahanan di Misrata.
Sementara di pusat penahanan Tripoli sendiri, mereka menemukan tahanan yang disiksa parah oleh interogator yang mereka coba sembunyikan, kelompok itu melaporkan.
Rovera menuduh pemerintah Tripoli kurang memiliki kemauan politik. Mereka tidak bersedia untuk mengenali skala masalah. Ini adalah sikap yang tidak bertanggung jawab,” katanya.
Kelompok-kelompok milisi adalah salah satu kunci untuk pemberontakan yang berhasil menggulingkan 42-tahun pemerintahan Gaddafi tahun lalu, tetapi mereka mempertahankan kemerdekaan mereka dari Dewan Transisi Nasional.
Ratusan milisi Libya memperingati ulang tahun pemberontakan anti-Gaddafi minggu ini. Ribuan pejuang dari seluruh barat Libya mengadakan pawai massal di Tripoli pada Selasa (14/2), pamer senapan, mesin berat, dan peluncur roket serta melepaskan tembakan ke udara. Hal ini dimaksudkan sebagai peringatan bagi siapa saja yang mungkin melakukan serangan selama ulang tahun.
Beberapa tindakan pembalasan milisi juga menimpa warga berkulit hitam dan pekerja kontrak Afrika yang dinilai menjadi orang bayaran rezim Gaddafi untuk melakukan pekerjaan yang mendukung eksistensi rezim otoriter tersebut.
“Migran dan pengungsi Afrika juga menjadi sasaran dan serangan balas dendam sedang dilaksanakan,” kata Amnesti.
“Seluruh masyarakat telah dipaksa pindah dan pihak berwenang tidak melakukan apa pun untuk menyelidiki pelanggaran terhadap mereka,”
Amnesti juga mengatakan bahwa milisi dari Misrata “mengusir seluruh penduduk Tawargha, yang berjumlah sekitar 30.000 orang, menjarah dan membakar rumah mereka sebagai pembalasan atas kejahatan beberapa Tawargha yang dituduh telah mendukung Gaddafi selama konflik.”
“Ribuan anggota suku Mashashya juga dipaksa keluar dari desa mereka oleh milisi dari Zintan.”
Amnesti menyerukan tekanan Barat pada pemerintah dan milisi Libya.
Rovera mengatakan bahwa dari Amerika Serikat ke Eropa, “Ada banyak negara dan pemerintah yang mencari kontrak di Libya, jadi mereka seharusnya tidak kesulitan untuk melakukan kontak.”
“Eropa, AS, dan NATO harus mengatakan kepada mereka sudah saatnya untuk tidak lagi menunggu dan menyaksikan,” pungkas Rovera. (althaf/arrahmah.com)