JENEWA (Arrahmah.com) – Amnesty International menyerukan pada Selasa (10/9/2013) untuk penyelidikan independen atas pembunuhan oleh pasukan keamanan Mesir serta penyiksaan dan pelanggaran hak untuk kebebasan berbicara dan berkumpul, Reuters melaporkan.
Amnesti Internasional menyatakan pasukan keamanan Mesir telah menggunakan kekuatan secara berlebihan, tidak proporsional dan tidak beralasan terhadap massa demonstran sipil.
“Antara 14 dan 18 Agustus, setidaknya 1.089 orang tewas, kebanyakan karena penggunaan yang berlebihan, terlalu tidak proporsional dan tidak beralasan kekuatan mematikan oleh pasukan keamanan,” kata Peter Splinter, perwakilan Amnesti di Jenewa.
Situs berita Mesir Rassd menyebutkan angka korban yang lebih besar. Sedikitnya 4000 demonstran sipil gugur dan 6000 lainnya cedera oleh tindakan represif aparat keamanan Mesir saat membubarkan massa demonstran pendukung Presiden terguling Muhammad Mursi. Data tersebut bersumber dari tim dokter lapangan dan para aktivis kemanusiaan yang bekerja di lapangan.
Aparat keamanan Mesir tidak hanya menyerang massa sipil di Rabiah Square dan Nahdah Square. Beberapa masjid di berbagai kota diserbu oleh aparat keamanan. Pembunuhan dan kekerasan terhadap jama’ah yang mayoritasnya wanita dan anak-anak terjadi di dalam masjid-masjid tersebut.
Skala pelanggaran hak asasi manusia, termasuk hak untuk hidup, hak untuk pengadilan yang adil, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul, menuntut, tidak memihak, independen dan penuh penyelidikan mendesak,” Splinter mengatakan, menambahkan bahwa hasil penyelidikan harus dibuat publik.
Pada hari Senin (9/9/2013) Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Navi Pillay menegaskan kembali seruannyanya untuk penyelidikan independen atas pembunuhan, serta permintaannya untuk mengirim tim ke Mesir untuk menilai situasi.
“Jalan menuju stabilitas di Mesir terletak pada kemampuannya untuk menetapkan aturan hukum dalam cara yang inklusif yang memastikan bahwa semua orang Mesir, terlepas dari pandangan politik, gender, agama, atau status, diakui sebagai pemangku kepentingan yang sah di masa depan mereka negara,” katanya. (muhibalmajdi/arrahmah.com)